Subscribe Us

Sabtu, 13 September 2014

EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI MENAFSIRKAN KONSTITUSI TERKAIT KEWENANGAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UUD 1945

ABSTRAK
Keberadaan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, yang kemudian dilanjutkan pengaturannya dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan terakhir telah diubah keduakalinya dengan UU No. 4 Tahun 2014. Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban, yang salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Pelaksanaan wewenang Mahkamah Konstitusi semenjak awal berdirinya telah menyelesaikan kasus konstitusional pengujian undang-undang dengan menerapkan jiwa sebagai “sole interpreter constitution”. Namun, dalam penyelesaian perkara Putusan No. 108/PUU-XI/2013, salah satu pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi, tidak berwenang dalam menafsirkan UUD 1945, terkait pokok permohonan dalam perkara tersebut, sehingga hal tersebut dinilai menyalahi semangat dan jiwa pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai “the sole interpreter constitution”.
Adapun tujuan penulisan ini yaitu menjelaskan dan mengkaji eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang. Menjelaskan dan mengkaji mekanisme penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang. Dan, akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi.

Kata kunci: Penafsiran konstitusi dan Pengujian undang-undang

A.     Pendahuluan
Salah satu agenda reformasi yaitu penegakan supremasi hukum yang dilandasi dengan semangat konstitusionalisme, yaitu dengan cara melaksanakan ketentuan konstitusi secara murni dan konsekuen. Hal tersebut merupakan manifestasi dari aspek muatan negara hukum. Adapun tujuan dari negara hukum adalah mewujudkan rasa keadilan bagi warga negara.[1] Konseptual negara hukum di Indonesia dikejewantahkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Muatan materi utama dari negara hukum mencakupi: a) adanya pembatasan kekuasaan Negara, b) perlindungan HAM, c) adanya peradilan yang bebas.[2] Manifestasi dari negara hukum tersebut selanjutnya diterapkan di Indonesia dengan wujud amandemen UUD 1945. Prihal utama yang ditekankan dalam amandemen UUD 1945, yaitu pembatasan kekuasaan Presiden, penguatan fungsi DPR, dan mewujudkan pembentukan peradilan konstitusi.[3] Cita-cita pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri telah terealisasi dengan diaturnya kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24C UUD 1945, yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,dan diubah kedua kalinya dengan UU No. 4 Tahun 2014.
Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 yaitu: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c) memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana disebutkan oleh Soehino, dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi juga disebut sebagai organ pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Dalam menjalankan fungsi peradilan, Mahkamah Konstitusi dapat menafsirkan UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi selain penjaga juga disebut sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).[4] 
Salah satu pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan oleh UUD 1945 yaitu pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review). Dimana dalam melakukan pengujian tersebut, Mahkamah Konstitusi menyandarkan frasa pasal, ayat dalam pasal, pasal maupun keseluruhan pasal dari undang-undang yang diuji tersbeut dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi yang disebut juga sebagai “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution.” Disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.[5] Kemudian disebut sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi dikarenakan kewenangan judicial review menciptakan kewenangan tersebut. Kewenangan menafsirkan itu timbul dari sebuah tafsir pula bahwa bagaimana bisa melakukan review terhadap sebuah undang-undang agar berkesesuaian dengan konstitusi apabila tidak diberi kewenangan memaknai dan menafsirkan konstitusi itu sendiri. Artinya kewenangan tafsir konstitusi itu lahir juga dari sebuah penafsiran.[6]
Argumentasi di atas terkait dasar penafsiran dalam pengujian undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, dikucilkan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri, terutama dalam penyelesaian perkara Putusan No. 108/PUU-XI/2013. Sungguhpun dalam amar putusan tersebut menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima dan ditolak, baik sebagian maupun seluruhnya, namun pada pertimbangan hukum putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengklaim diri tidak berwenang melakukan penafsiran sebagaimana yang dimohonkan pemohon.
Adapun undang-undang yang dimohonkan untuk ditafsirkan yaitu UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Permohonan pemohon terkait penafsiran terhadap UUD 1945 dicantumkan dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013, yaitu: “… dengan sengaja memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan secara langsung makna Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (1), (2), (3) UUD 1945, setelah menyatakan bahwa pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat…”. Adapun jawaban Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya: “… penafsiran yang dimohonkan pemohon dapat dikategorikan sebagai permohonan mengeluarkan fatwa kepada mahkamah melalui penafsiran terhadap UUD 1945, berdasarkan petitum menurut angka 3 dan 4, tidak menjadi kewenangan mahkamah”.
Atas prihal permohonan dengan pertimbangan hukum yang dipaparkan oleh Mahkamah Konstitusi, menimbulkan kontradiksi yuridis dari wewenang Mahkamah Konstitusi yang seharusnya sebagai penafsir konstitusi, maka Putusan No. 108/PUU-XI/2013 layak dikaji dari aspek hukum ketatanegaraan.

B.     Permasalahan
Sebagaimana uraian di atas, dapat ditentukan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut, yaitu:
  1. Seperti apakah eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945?
  2. Apakah akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi?


C.     Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan ini adalah:
  1. 1.   Untuk mengkaji dan menjelaskan eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
  2. 2.   Untuk mengkaji dan menjelaskan akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi.


D.     Kerangka Teori
1.   Teori Kewenangan
Wewenang (Authority) merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai penggerak dari pada kegiatan. Wewenang yang bersifat informal, untuk mendapatkan kerjasama yang baik dengan bawahan. Disamping itu wewenang juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan. Wewenang berfungsi untuk menjalankan kegiatan yang ada dalam organisasi.
Menurut Hani Handoko ada dua pandangan yang saling berlawanan mengenai sumber wewenang:
a.   Teori Formal(Pandangan klasik) adalah wewenang adalah dianugrahkan yakni wewenang ada karena seseorang diberikan atau dilimpahkan hal tersebut. Pandangan mengangap bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan kemudian secara hukum diturunkan dari tingkat ketingkat.
b.   Teori Penerimaan (acceptance theory of authority) adalah berpendapat bahwa wewenang seseorang timbul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima (reciver).[7] 

Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang:
a.   Atribusi, yaitu wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum  tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.
b.   Pelimpahan wewenang (delegasi), yakni Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.[8]

Sekilas merujuk pada definisi di atas, dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk melalui UUD 1945, khususnya melalui Pasal 24C dengan penegasan kewenangan langsung diberikan oleh UUD 1945. Artinya, dari macam kewenangan, Mahkamah Konstitusi memperoleh kewenangan secara atribusi dari UUD 1945, yang kemudian dilengkapi dengan undang-undang sendiri.
Perspektif pandangan tersebut dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945. Sebagai salah satu lembaga judicial, Mahkamah Konstitusi bersifat independen sesuai dengan Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Makna dari kekuasaan yang merdeka berarti, Mahkamah Konstitusi terbebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Sehingga Mahkamah Konstitusi dengan serta merta dapat melaksanakan wewenangnya sesuai dengan batas kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945. Tugas Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga dan penafsir konstitusi telah melekat dengan pelimpahan kewenangan dari UUD 1945.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memiliki makna bahwa setiap undang-undang yang diuji secara materil oleh Mahkamah Konstitusi berpedoman pada UUD 1945 sebagai rujukan dasar, dan melihat suatu undang-undang selaras ataukah bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Pelaksanaan pengujian tersebut tentu dengan melihat kaidah yang termuat dalam ayat, pasal maupun keseluruhan undang-undang yang dikaji dengan norma-norma UUD 1945.

2.   Teori Penafsiran Hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.[9]  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Padanan kata dari penafsiran adalah interpretasi.[10]
Menurut M.A Loth dalam bukunya menyebutkan bahwa Interpretasi dapat atau sama halnya dengan argumentasi yang menimbulkan suatu ambiguitas proses/ produk. Proses menginterpretasi harus dibedakan dari proses atau produk. Interpretasi sebagai proses adalah pemberian suatu makna kepada suatu pernyataan lain atau alternatif rumusan yang mempunyai makna termaksud. Kegiatan menginterpretasikan akan menghasilkan suatu interpretasi sebagai produk.[11]
Ketika hakim dihadapkan pada kasus konkret, menurut Loth yaitu tugasnya adalah menjelaskan apakah hal tersebut dapat tunduk pada undang-undang. Dalam rangka menetapkan wilayah cakupan undang-undang, hakim akan menginterpretasikan baik secara implisit maupun eksplisit istilah dari ketentuan undang-undang.  Namun, ketika hakim dihadapkan pada masalah hukum konkret yang tidak dapat disesuaikan dengan maksud pembentuk undang-undang sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang, maka hakim dari sudut pandang semantic adalah bebas untuk menyimpang. Apakah interpretasi yang menyimpang tersebut dapat dibenarkan juga dari sudut pandang yuridis, politik hukum atau moral, hal tersebut merupakan masalah yang sama sekali tidak berhubungan.[12]
Menafsirkan atau menginterpretasi menurut Arif Sidharta adalah kegiatan mengerti atau memahami, hakikatnya memahami sesuatu. Konsep ini disebut filsafat hermeneutika. Ilmu hukum adalah sebuah eksamplar hermeneutik in optima forma yang diaplikasikan dalam aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab dalam menerapkan ilmu hukum ketika menghadapi kasus hokum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis tetapi juga terhadap kenyataan yang memunculkan masalah hukum itu sendiri.[13]
Selanjutnya Arif Sidharta menguraikan jenis-jenis interpretasi diantaranya yaitu: teori penafsiran harfiah, teori penafsiran gramatikal, teori penafsiran historis, teori penafsiran sosiologis, teori penafsiran sosio- historis, teori penafsiran filosofis, teori penafsiran teleologis, teori penafsiran holistic, dan teori penafsiran holistic tematis-sistematis.[14]
   Apabila dikaji dari pendapat M.A Loth sendiri, menekankan bahwa hakim mempunyai kebebasan dalam menafsirkan suatu undang-undang, yang artinya hakim sendiri tidak terikat dengan ketentuan dari undang-undang. Hakim dapat menafsirkan, apabila dirasa perlu terkait keberadaan suatu undang-undang, sungguhpun dalam penanganan kasus yang konkret. Mahkamah Konstitusi sendiri, lahir akibat kehendak dari UUD 1945. Sementara hakim konstitusi yang notabene berjumlah Sembilan orang tersebut telah bersumpah pada saat pelantikannya untuk dapat menjaga kemurnian pancasila dan UUD 1945.

E.     Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
1.      Eksistensi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Konstitusi Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
Indonesia merupakan Negara ke-78 yang memiliki lembaga peradilan konstitusionalitas, yang diberikan kewenangan menguji undang-undang.[15] Sehingga dalam pengujian undang-undang, hakim dapat melakukan penafsiran hukum terhadap norma yang berlaku dalam undang-undang terhadap konstitusi. Sebagaimana pendapat K.C Wheare bahwa mekanisme perubahan konstitusi dilakukan dengan empat cara, salah satunya adalah judicial interpretation (penafsiran hukum).[16]
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang bertugas untuk menafsirkan konstitusi dan menjaga konstitusi melalui kewenangannya yang telah ditentukan oleh UUD 1945, khususnya judicial review undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi mempunyai peran sebagai negative legislator. Negative legislator dapat bermakna bahwa Mahkamah Konstitusi menjaga kemurnian konstitusi melalui penafsirannya atas undang-undang yang diuji terhadap UUD 1945.[17]
Terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan UUD 1945, telah terjadi dan diputuskan melalui Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang menyatakan amar putusan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam melakukan penafsiran UUD 1945. Tentu pengucapan putusan tersebut dinilai oleh banyak kalangan ahli bertentangan dengan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sendiri dalam menafsirkan UUD 1945.
Pemohon dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yaitu Yusril Ihza Mahendra, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan beberapa pasal dalam UUD 1945, khususnya terkait pemilu presiden dan wakil presiden setelah mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan Pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 19 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pertimbangan hukum Putusan No. 108/PUU-XI/2013 menyebutkan bahwa penafsiran yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dikategorikan dalam penafsiran konstitusionalitas, bermakna menafsirkan pasal yang akan ditafsirkan tersebut dengan menilai dari segi konstitusionalitas menurut UUD 1945.[18]
Sementara, pemohonan penafsiran yang dimohonkan dalam putusan tersebut, dinilai oleh Mahkamah Konstitusi sebagai permintaan “fatwa”. Sehingga Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa permohonan pemohon untuk menafsirkan konstitusi tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.[19] Adapun pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian yaitu pasal-pasal terkait persyaratan, mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui partai politik dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang dinilai pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya.[20]
Mekanisme penafsiran konstitusi dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, atau seiring dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Perubahan Ke-Tiga UUD 1945. Di luar kewenangan yang telah digariskan oleh UUD 1945 tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi tidak dapat melakukan penafsiran atas Konstitusi. Penafsiran Konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan dua implikasi terhadap UUD 1945, yaitu pertama, mengubah arti/makna rumusan pasal di dalam UUD 1945; dan kedua, tidak mengubah arti/makna rumusan pasal di dalam UUD 1945.[21]
Putusan yang mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945 dapat disebut judicial interpretation yang secara formil berbentuk Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengikat (erga omnes). Di dalam sistem norma hukum tata negara Indonesia putusan seperti ini berkedudukan sebagai salah satu sumber hukum formil yang disebut Jurisprudensi Ketatanegaraan. Secara materil, putusan tersebut adalah Judicial interpretation yang merupakan salah satu cara Perubahan UUD 1945 (secara materil), karenanya berkedudukan setara dengan UUD 1945/Perubahan UUD 1945 dan dapat dikategorikan sebagai konstitusi dalam arti luas; dalam arti hukum; dan dalam arti materil. Sedangkan Putusan yang tidak mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945, hanyalah pelengkap dan hanya tafsiran semata (Penjelasan), sehingga sifatnya tidak mengikat (sebagai Konstitusi) sebagaimana pada Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945.[22]
Berdasarkan pemahaman penafsiran di atas, dapat dihubungkan dengan Putusan No.108/PUU-XI/2013 yaitu permintaan pemohon untuk dapat dilakukannya penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (yang menurut Mahkamah Konstitusi merupakan kategori fatwa), apabila benar sekiranya dikabulkan maka Mahkamah Konstitusi telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hal tersebut disebabkan karena penafsiran terhadap pasal terkait pemilihan umum, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dapat menyebabkan perubahan makna sebenarnya dari maksud dan tujuan pasal UUD 1945 tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi menolak untuk melakukan penafsiran yang dimohonkan oleh pemohon, berikut juga menolak permohonan pemohon secara seluruhnya.[23]

2.      Akibat Hukum Pernyataan Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 Terkait Tidak Berwenangnya Sebagai Penafsir Konstitusi
Berbicara mengenai konteks akibat hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, dapat ditemukan dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “….putusannya bersifat final dan mengikat…”, dapat  dimaknai putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang final tanpa adanya upaya hukum lainnya, sebagaimana putusan pada badan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, dan sifatnya mengikat pada saat setelah pembacaan putusan didepan sidang terbuka untuk umum.[24]
Penentuan suatu putusan oleh Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.[25] Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.[26] Sebelum putusan dibacakan, Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 45 Ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 wajib memuat fakta yang terungkap, yaitu fakta-fakta hukum yang didapat berdasarkan alat bukti yang disampaikan oleh para pihak, yang kemudian fakta tersebut dituangkan secara rinci dalam pertimbangan hukum putusan.
Berdasarkan kasus yang dikaji yaitu Putusan No. 108/PUU-XI/2013,  Mahkamah Konstitusi memuat fakta hukum atas permohonan pemohon terkait pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum legislatif. Disebutkan dalam Pasal 6A UUD 1945 bahwa “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, serta Pasal 22E UUD 1945 tentang Pemilihan Umum. Dimana pendapat Mahkamah Konstitusi bila dikaitkan dengan pasal yang dimohon uji materil, Pasal 3 Ayat (5) terkait pelaksanaan pemilu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden setelah pemilu legislatif, Pasal 9 tentang syarat partai politik dan gabungan partai politik yang mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 14 Ayat (2) mengenai masa pendaftaran calon, dan Pasal 112 UU No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, terkait jadwal pemungutan suara setelah pemilu legislatif, tidak beralasan menurut hukum.[27] Selain itu Mahkamah juga menyatakan dalam pendapat hukumnya bahwa Mahkamah tidak berwenang mengabulkan permohonan pemohon terkait penafsiran konstitusi, khusus terhadap Pasal 4, Pasal 6A Ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3) UUD 1945, sehingga amar putusan menyebutkan tidak dapat diterima.
Menurut ketentuan Pasal 57 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara garis besarnya bahwa setiap ayat, pasal, maupun keseluruhan undang-undang yang diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi diterima permohonannya maka tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga makna dari pasal tersebut adalah bagi permohonan yang diterima. Namun, bagi putusan yang menyebutkan permohonan ditolak, tidak dapat diterima dalam perkara pengujian undang-undang, maka secara hukum, undang-undang tersebut masih dinyatakan berlaku.
Menyimak dari Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang dinyatakan tidak dapat diterima, maka keberlakuan UU No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih tetap berlaku sebagaimana mestinya, sehingga tidak menimbulkan dampak hukum apapun secara praktis. Namun, secara teoritis, dapat dikaji bahwa setiap putusan yang telah diputuskan maka akan menjadi jurisprudence bagi perkara selanjutnya. Masalah yang didapatkan dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013, bukanlah dari amar putusannya, melainkan dari prihal permohonan yang dimohonkan, khususnya tentang permohonan penafsiran konstitusi.
Permohonan penafsiran terhadap pasal dalam UUD 1945 yang dimohonkan pemohon, digolongkan sebagai fatwa. Sungguhpun, pelaksanaan penafsiran UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi sejalan dengan pelaksanaan kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945, namun penafsiran yang dimohonkan seharusnya tetap dilaksanakan walaupun dalam bentuk fatwa.
Akibat hukum secara teoritis yang dapat ditekankan adalah apabila ke depannya, Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dimintai untuk menafsirkan konstitusi walaupun dalam bentuk fatwa, menjadikan Putusan No. 108/PUU-XI/2013 sebagai yurisprudensi sehingga semua permintaan/permohonan penafsiran terhadap UUD 1945, ditolak. Padahal salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Mahkamah Konstitusi menyalahi fungsi utamanya sebagai penafsir konstitusi.

F.     Penutup
1.   Kesimpulan
1)      Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang berfungsi sebagai penegak konstitusi dan penafsir konstitusi. Sehingga dalam pelaksanaan kewenangannya Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran konstitusi, khususnya dalam perkara pengujian undang-undang (judicial review). Terkait Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak permintaan penafsiran konstitusi dan menggolongkannya dalam bentuk fatwa merupakan sebuah kesalahan. Dimana Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran walaupun dalam bentuk fatwa apabila diminta, dengan mencantumkan hasil penafsiran tersebut dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
2)      Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang menyebutkan permohonan pemohon ditolak sebagian maupun selebihnya, dapat menjadi yurisprudensi bagi perkara selanjutnya. Dimana timbul kekhawatiran akan ditolaknya permohonan melakukan penafsiran konstitusi ke depannya. Sehingga Mahkamah Konstitusi dinilai mengenyampingkan fungsinya sebagai penafsir konstitusi.


2.   Saran
1)      Disarankan kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat mengakomodir permohonan penafsiran konstitusi ke depannya, sungguhpun dalam bentuk fatwa dengan jalan menuangkan hasil penafsiran tersebut dalam pertimbangan hukum maupun pendapat mahkamah sendiri, atau dapat menuangkannya dalam bentuk terpisah dari muatan putusan.
2)      Disarankan kepada Mahkamah Konstitusi agar tidak mempedomani Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang muatan terkait permohonan penafsiran konstitusi di tolak sebagai yurisprudensi pada perkara selanjutnya, sehingga apa bila ada pemohon yang hendak meminta penafsiran dari Mahkamah Konstitusi, baik dalam bentuk fatwa, dapat terakomodir sebagaimana mestinya.



 DAFTAR PUSTAKA
1.      Buku
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. 2006
----------------------, Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan, PT. Sumber Agung, Jakarta, 2006
Loth M.A., Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi Kecil, dialih bahasakan oleh Linus Doludjawa, Direktorak Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007
Mahfud MD Moh., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998
Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara Perubahan UUD 1945, BPFE, Yogyakarta, 2005
Sri Soemantri M.R., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992
Taufiqurrahman Syahiri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011

2.      Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan No. 108/PUU-XI/2013

3.      Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990

4.      Makalah dan Jurnal
Anonimous, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, (Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini), Bahan Tayang, Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, tth
Anonimous, Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU Negara RI Tahun 1945, Jurnal Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007
Leli Tibaka, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tesis, Universitas Padjajaran, Bandung, 2013

5.      Internet
Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html, diakses pada tanggal 1 April 2014



[1] Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro,  Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, hal 109
[2] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. 2006, hal. 4
[3] Anonimous, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, (Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini), Bahan Tayang, Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, tth, hal. 2
[4] Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara Perubahan UUD 1945, BPFE, Yogyakarta, 2005, hal 21
[5] Anonimous, Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU Negara RI Tahun 1945, Jurnal Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007, hal 72
[6] Jimly mengungkapkan bahwa kewenangan MK dalam mengawal dan menafsirkan konstitusi dengan artian bahwa MK harus melaksanakan apa saja yang ada dan diatur dalam konstitusi dan menafsirkan hal-hal yang tidak jelas ketentuan dalam konstitusi. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan, PT. Sumber Agung, Jakarta, 2006, hal 37
[7]   Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hal 376
[8] R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal  29
[9] Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html, diakses pada tanggal 1 April 2014
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990, hal. 336.
[11] M.A. Loth, Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi Kecil, dialih bahasakan oleh Linus Doludjawa, Direktorak Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007, hal. 81
[12] Ibid., hal. 84
[13] Jimly Asshiddiqie, Pengantar …, Op., Cit., hal. 308
[14] Ibid, hal. 279
[15] Taufiqurrahman Syahiri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, hal.109
[16] Ibid., hal. 109-110
[18] Lihat Putusan No. 108/PUU-XI/2013, hal. 21
[19] Ibid.
[20] Ibid.,hal. 32-34
[21] Leli Tibaka, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tesis, Universitas Padjajaran, Bandung, 2013, hal. i
[22] Ibid.
[23] Lihat Putusan MK No. 108/PUU-XI/2013, hal. 33
[24] Lihat Pasal 28 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[25] Lihat Pasal 45 Ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[26] Lihat Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[27] Lihat Konklusi angka 4.4 Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan No. 108/PUU-XI/2013, hal. 33
Share:

Sabtu, 04 Mei 2013

URGENSI PENETAPAN HUKUM JINAYAH DAN ACARA JINAYAH DI ACEH (Suatu Wujud Mengembalikan Moralitas Masyarakat Aceh)


OLEH:

ZAKI ‘ULYA, S.H.,M.H.[1]

Abstrak

Pasca 8 (delapan) tahun berlakunya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dengan diakomodirnya aturan tentang penegakan Syari’at Islam, Aceh menjadikan tatanan sosial masyarakat dalam bingkai norma agama. Guna memanifestasikan Syari’at Islam di Aceh, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa regulasi daerah (qanun) yang bertujuan penegakan Syari’at Islam, yaitu Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 terkait khamar, maisir, dan khalwat. Serta, ditetapkannya badan peradilan yang berwenang mengadili pelanggaran Syari’at Islam, yaitu Mahkamah Syar’iyah. Adapun tujuan pemberlakuan aturan hukum tersebut adalah terwujudnya Syari’at Islam secara kaffah. Realita yang dihadapi justru bertolak belakang dari cita-cita Syari’at Islam. Dimana begitu banyak pemberitaan saat ini terkait buruknya moralitas masyarakat. Hal tersebut diakibatkan karena beberapa faktor yang mendukung dan mengakibatkan minimnya moralitas masyarakat. Atas dasar tersebut, dinilai penetapan hukum jinayah dan acara jinayah sangat urgen diperlukan sehingga dapat meningkatkan kembali moralitas masyarakat Aceh sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

A.       Pendahuluan

Refleksi delapan tahun keberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UU PA), masih dinilai belum mampu mengakomodir cita-cita luhur, khususnya dalam hal penegakan Syari’at Islam. Diketahui bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi di Negara Indonesia yang diberikan status istimewa dan juga otonomi khusus. Secara hukum, keistimewaan Aceh diatur dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dimana disebutkan salah satu dari empat keistimewaan adalah adanya penegakan Syari’at Islam, selain bidang pendidikan, adat istiadat dan peran ulama. Sebagai provinsi yang dikenal sebagai “serambi mekkah”, Aceh menjadi daerah tolak ukur penegakan syari’at Islam secara kaffah.
Cita-cita mewujudkan syari’at Islam tersebut diwujudkan dalam aturan hukum daerah yang disebut dengan Qanun. Salah satu unsur dari pengaturan Syari’at Islam dalam aturan qanun adalah adanya unsur pidana islam (jinayah), yang bertujuan menimbulkan aspek “jera” bagi para pelaku pelanggar Syari’at Islam. Selain itu juga, dengan ditetapkannya lembaga peradilan yang berwenang mengadili dan menghukum pelaku pelanggar Syari;at Islam, yaitu Mahkamah Syar’iyah, menjadikan gambaran bahwa setiap unsur dalam pemerintahan Aceh berupaya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai Syari’at Islam.
Keberadaan beberapa qanun terkait penegakan Syari’at Islam, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat, masih dinilai belum mumpuni mencegah terjadinya pelanggaran syari’at Islam. Beberapa hal yang belum diatur dalam ketiga qanun itu antara lain tentang mekanisme penahanan terhadap pelanggar jinayat. Ketidakjelasan hal ini tentu akan membingungkan pihak Dinas Syariah Islam manakala saat seorang pelanggar syariah melarikan diri ketika penyelidikannya sedang diproses. Di samping itu ada pula interpretasi yang tidak jelas tentang istilah khalwat. Selama ini khalwat hanya diartikan sebagai berdua-duan di tempat yang gelap/sunyi. Lantas bagaimana jika khalwat itu dilakukan lebih dari dua orang? Dalam qanun yang ada sekarang, definisi khalwat ini masih rancu. Demikian juga halnya soal penjatuhan hukuman, jumlah dan bentuk hukuman yang akan diberikan
Sehingga atas dasar tersebut, pasca berlakunya UU PA, beberapa lembaga praktisi dan akademisi telah berupaya menyusun naskah akademis (NA) dari rancangan qanun jinayah maupun acara jinayah. Namun, hal tersebut hingga saat ini masih belum dapat diwujudkan walau dengan alasan belum masuk dalam agenda program legislasi daerah (Prolegda).
Merosotnya nilai moralitas warga Aceh sendiri, tidak hanya pada kalangan dewasa namun juga sampai pada kalangan remaja. Pergaulan bebas yang menjadi faktor awal terjadinya khalwat merebak dan merajalela dengan begitu leluasa. Sosialisasi dan penegakan Syari’at Islam melalui aparatur daerah/Wilayatul Hisbah dirasa masih belum kentara menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana dipaparkan oleh Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal mengaku prihatin terjadinya pergeseran moral, terutama di kalangan generasi muda, sebagai akibat perkembangan teknologi informasi yang tidak terkontrol.[2]
Untuk mengantisipasi pergeseran moralitas tersebut, pemerintah kota terus berupaya mengambil langkah-langkah konkret agar masyarakat maupun generasi muda tidak tergerus sisi negatif dari pesatnya era globalisasi tersebut. Selain itu juga terdapat beberapa pelencengan yang terjadi di Aceh sebagai cerminan pergeseran moral, yaitu adanya bisnis penjaja seks komersil. Hal tersebut diungkapkan oleh Konselor di BP3A Aceh, Endang Setianingsing.[3] Pada pemberitaan yang sama, ditambahkan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh, Dahlia bahwa kecendrungan bisnis/arisan seperti ini melibatkan kalangan remaja yang masih duduk di tingkat sekolah menengah pertama hingga mahasiswa.[4]
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh melansir data tingkat kekerasan seksual yang dialami anak Banda Aceh sepanjang 2012. Pada tahun itu, terdapat 77 kasus anak yang mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual. BP3A juga menerima laporan dan mendata sebanyak 169 perempuan di Banda Aceh yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan penganiayaan.[5]
Atas dasar tersebut di atas, banyak kalangan praktisi, akademisi hingga sekumpulan organisasi mahasiswa sendiri sangat berharap kepada pihak legislatif dan eksekutif Aceh untuk secepatnya membahas dan mengesahkan Rancangan Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Badan Legislasi DPRA telah memasukkan Rancangan Qanun Jinayat dalam program legislasi prioritas 2013.[6] Sehingga penetapan rancangan kedua qanun untuk segera disahkan adalah suatu kepentingan yang harus dipenuhi (urgen) guna mengembalikan kembali nilai moral masyarakat Aceh berdasarkan norma-norma yang ada.

B.       Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas dan melihat data yang telah ditunjukkan maka dapat ditentukan beberapa identifikasi masalah yang menjadi lingkup pembahasan ini, yaitu:
1.      Seperti apakah kedudukan qanun jinayah dan acara jinayah dalam mengembalikan/memperbaiki nilai moralitas masyarakat Aceh terkait penegakan Syari’at Islam?
2.      Bagaimanakah nilai urgensi pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah dalam kaitannya dengan penegakan Syari’at Islam di Aceh?

C.       Tujuan Pembahasan
Berdasarkan masalah yang ditentukan di atas, maka tujuan pembahasan ini meliputi:
  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan qanun jinayah dan acara jinayah dalam mengembalikan/memperbaiki nilai moralitas masyarakat Aceh terkait penegakan Syari’at Islam
  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan nilai urgensi pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah dalam kaitannya dengan penegakan Syari’at Islam di Aceh.


 D.      Kerangka Pikir
1.    Teori Legal System

Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sekaPli disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure). Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[7]
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Dan, Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).[8]  Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.[9]  Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum.  Tidak ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.[10]
Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.

2.      Konseptual Penegakan Hukum

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.[11]
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.[12]
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.  Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.[13]


E.       URGENSI PENGESAHAN QANUN JINAYAH DAN ACARA JINAYAH DI ACEH
1.         Kedudukan Qanun Jinayah Dan Acara Jinayah Dalam Mengembalikan/Memperbaiki Nilai Moralitas Masyarakat Aceh Terkait Penegakan Syari’at Islam

Qanun hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat delegasi suatu undang-undang dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata lain, Qanun hanya dapat mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang dalam penyelenggaraan otonomi khusus.[14]
Seperti yang diketahui saat ini, adanya sebuah Qanun yang keberadaannya memicu pro dan kontra dalam masyarakat yakni Qanun hukum jinayat. Ada pihak yang sangat mendukung dan banyak pula pihak yang menolak Qanun hukum jinayat dengan alasan-alasan masing-masing. Meskipun keberadaannya demikian kenyataannya  Qanun hukum Jinayat ini telah disahkan secara sepihak oleh DPRA meskipun Pemerintah Aceh belum menyetujui materi yang diatur dalam Rancangan Qanun tersebut.
Selain itu, kegagalan pengesahan rancangan qanun tersebut disebabkan masih kurangnya nilai partisipasi publik serta masih dimuatnya ketentuan rajam, yang dinilai terlalu memberatkan. Sehingga pembahasan rancangan qanun tersebut tertunda hingga saat ini. Namun, jika melihat realita yang terjadi menurut pemberitaan media elektronik dan hasil temuan dari lembaga daerah, sudah selayaknya hukum jinayah disahkan secepat mungkin.
Penetapan rancangan qanun jinayah dan acara jinayah yang telah dinilai sangat dibutuhkan guna mengakomodir prihal pelanggaran syari’at Islam secara konkrit. Hal tersebut ditekankan oleh Sulaiman Abda bahwa Kalau tidak bisa diselesaikan dalam masa 2013, maka akan berdampak langsung kepada masyarakat. Masyarakat tidak percaya lagi kepada wakilnya yang duduk di lembaga legislatif jika prolega ini tidak bisa dituntaskan.[15] Jelas bahwa keberadaan qanun tersebut dibutuhkan dari bidang politik maupun hukum sendiri.
Menyadari implementasi syari’at Islam di Aceh semakin melemah, sebanyak 33 ormas Islam yang tergabung dalam Forum Komunikasi untuk Syariat (Fokus) mengumpulkan tanda tangan masyarakat sebagai bukti dukungan agar Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah segera diterapkan di Aceh.[16] Artinya, seluruh lapisan masyarakat yang peduli dengan syari’at Islam dan beberapa ormas Islam akan memberikan pengawalan hingga dalam tahun 2013, qanun tersebut sah sebagaimana diharapkan.
Sebagaimana ditambahkan oleh Anggota Badan Legislasi DPR Aceh Nurzahri menuturkan, dari 21 judul rancangan itu, 6 di antaranya merupakan inisiatif legislatif dan 15 sisanya merupakan usulan eksekutif. 21 Raqan tersebut yakni Raqan Perubahan atas Qanun Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan anggota DPRA, Raqan perubahan atas Qanun Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Raqan Aceh tentang Ketenagakerjaan, Raqan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Raqan tentang Syariat Islam, Raqan perubahan atas Qanun Nomor Tahun 2009 tentang Penanaman Modal, Raqan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Raqan tentang perubahan atas Qanun Nomor 2 tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian dana bagi hasil Migas dan penggunaan dana Otsus, Raqan Pengelolaan Pertambangan dan Mineral Batubara, Raqan Kepariwisataan, dan Raqan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh, Raqan tentang Bendera dan Lambang, Raqan tentang Himne Aceh, Raqan Kesejahteraan Sosial, Raqan Aceh Pengelolaan Barang Milik Aceh, dan Raqan tentang Retribusi Jasa Usaha, Raqan Retribusi Perizinan tertentu, Raqan Retribusi Jasa Umum, dan Raqan Penyertaan Modal Pemerintah Aceh pada Perusahaan Daerah BPR Mustaqim Sukamakmur..[17]
Terkait dengan kebobrokan moral yang terjadi di Aceh merupakan manifestasi lemahnya pengawalan maupun penegakan syari’at Islam. Menurut pengertian ‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Dapat ditekankan bahwa jika moral keseluruhan buruk maka cerminannya adalah secara keseluruhan masyarakat telah jauh dari perbuatan baik yang dilandaskan oleh agama.
Tentu secara spesifik hal tersebut sangat berbahaya. Berbagai pandangan, baik tulisan maupun pemberitaan pada media elektronik adalah cerminan terhadap gejolak yang terjadi di dalam masyarakat. Baik buruknya masyarakat, dilandasi dengan tegaknya perbuatan yang secara adab dan juga adat diterima maupun ditolak. Sementara itu, prihal kasus-kasus hukum baik dari pelanggaran syari’at Islam hingga pidana umum dalam bentuk pelecehan seksual marak terjadi merupakan suatu realita yang sebenarnya dapat diminimalisir dengan syari’at Islam.
Penekanan budaya barat yang cenderung secara “frontal” masuk dalam budaya timur juga menjadi salah satu sebab. Kecanggihan teknologi tidak dibarengi dengan adanya pendidikan agama yang mumpuni. Sehingga terjadi penyalah gunaan sarana teknologi yang seharusnya mendukung informasi dan kinerja, justru menjerumuskan moral masyarakat. Bahkan dalam hal kebudayaan yang berbeda tersebut, seharusnya dapat “dijaring” terlebih dahulu sebelum diadopsi dalam budaya Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila.
Dalam kaitannya pergaulan bebas yang terjadi pada kalangan remaja, baik tingkat siswa menengah hingga mahasiswa merupakan perwujudan dari kesalahan mengadopsi budaya barat. Sebagai negara Pancasila dan daerah Aceh yang berlandaskan Syari’at Islam sudah tentu budaya tersebut tidak sesuai di Aceh. Namun, prilaku menyimpang tersebut marak terjadi dan untuk saat ini seharusnya dilakukan pembatasan, baik secara hukum maupun secara sosial.
Pembatasan secara hukum adalah mengesahkan rancangan qanun jinayah dan acara jinayah. Pembatasan secara sosial dilakukan dengan pendidikan agama yang dimulai dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga dapat menentukan wujud etika dan pengetahuan anak untuk dapat bersikap dalam lingkungannya.[18]
Sebagaimana pengertian hukum yang dipaparkan oleh Hans Kelsen bahwa hukum merupakan norma yang memuat sanksi yang tegas.[19] Ketegasan hukum dalam bentuk sanksi mempunyai arti adalah untuk membuat efek jera bagi pelanggar hukum. Syari’at Islam adalah tolak ukur hukum di Aceh, yang seharusnya diakomodir secara konkrit (hukum jinayah dan acara jinayah), sehingga setiap pelanggaran syari’at Islam dapat diberikan sanksi tegas dan jera, sehingga tidak melakukan perbuatan yang sama dikemudian hari.
Hingga pada intinya adalah keberadaan hukum jinayah dan acara jinayah adalah untuk ketertiban masyarakat dan menegakkan kembali nilai moral sesuai dengan kaedah agama. Sehingga penegakan syari’at Islam secara kaffah dapat diwujudkan di bumi serambi mekkah.

2.         Nilai Urgensi Pengesahan Qanun Jinayah Dan Acara Jinayah Dalam Kaitannya Dengan Penegakan Syari’at Islam Di Aceh

Berdasarkan teori legal system di atas, maka guna mencapai ketertiban hukum adalah dengan adanya hubungan baik dari ketiga komponen hukum yaitu budaya hukum, struktur hukum dan substansi hukum. Prihal budaya hukum yang dimaksud adalah pada aspek aturan hukum yang sesuai dengan kondisi maupun budaya masyarakat. Artinya, suatu hukum yang telah disahkan secara tertulis masih mengakomodir aturan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kemudian terkait dengan struktur hukum diketahui bahwa di Aceh segala pelaksanaan tatanan hukum dilandasi dengan aturan daerah yang disebut dengan qanun serta ditegakkan oleh aparatur daerahnya. Dan dilihat dari substansi maupun muatan dari pengaturannya yang berimbang dan proporsional dengan kepentingan masyarakat.
Masyarakat Aceh dalam beberapa priode ini telah dinilai dari aspek moral yang merosot. Baik akibat lemahnya pengawasan dan pengawalan dari pemerintah maupun terjadinya akulturasi budaya yang dinilai salah. Sehingga banyak sekali perbuatan masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana mestinya.
Maraknya pelanggaran hukum baik dalam bentuk pergaulan bebas maupun lainnya adalah bentuk kelemahan struktur hukum di Aceh baik akibat sosial maupun politik daerah, maupun akibat kekurang patuhan masyarakat terhadap aturan syari’at Islam yang telah ada. Sehingga dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih konkrit mengatur dan lebih mampu menimbulkan aspek jera pada masyarakat.
Sebagai suatu perbuatan yang dinilai bertentangan dengan hukum (pelanggaran) maka sudah sepatutnya diproses berdasarkan hukum, guna mendapatkan kepastian hukum, keadilan dan ketertiban hukum. Lembaga yang berwenang dalam mengadili pelanggar syari’at Islam di Aceh adalah Mahkamah Syar’iyah.
Menurut Pasal 3 Ayat (1) Keppres No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah Dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan “kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun”. Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa dalam melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Syar’iyah membutuhkan aturan hukum lebih lanjut guna mengetahui ruang lingkup kewenangan dalam mengadili pelanggaran dalam bidang ibadah maupun syiar Islam.
Semenjak disahkannya tiga qanun bidang pelanggaran syari’at Islam, yaitu khamar, maisir dan khalwat, Mahkamah Syar’iyah hanya melaksanakan sidang menurut hukum acara yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa jenis hukum meliputi hukum materiil dan hukum formil. Ketiga qanun yang mencakup pelanggaran syari’at Islam adalah hukum materiil sementara itu hukum formil adalah hukum acaranya. Maka atas dasar tersebut, dibutuhkan qanun acara jinayah.
Dapat dipahami bahwa sistem Hukum Pidana Islam (Jinayah) mengandung beberapa jenis sanksi pidana yang antara lain: qisas, hadd dan ta’zir. Qanun Jinayat Aceh hanya memberlakukan sebagian hukum hadd dan ta’zir. Hukuman hadd diaplikasikan dalam ketentuan pelanggaran khamar, dan hukuman ta’zir diberlakukan bagi pelaku khalwat, maisir. Ketiga perkara hukum jinayat tersebut telah diqanunkan ke dalam tiga konsepsi Qanun Hukum Jinayat yaitu: 1). Qanun Jinayat No.12 Tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), 2). Qanun Jinayat No.13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi), dan 3). Qanun Jinayat No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Terkait struktur hukum lainnya selain lembaga peradilan agama/Mahkamah Syar’iyah, dapat dilihat juga aparat penegak hukum lainnya yaitu Wilayatul Hisbah. Berdasarkan Pasal 244 UU PA menyebutkan “Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun Syar’iyah dalam pelaksanaan syari’at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja”. Cita-cita pembentukan satuan Polisi Wilyatul Hisbah semata-mata adalah guna menegakkan qanun syari’at Islam. Pada awal terbentuknya satuan ini ditempatkan di bawah Dinas Syari’at Islam, namun akhirnya dileburkan bersama satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan Qanun No. 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi.
Pembentukan Wilayatul Hisbah yang pada awalnya disambut dengan tangan terbuka, namun pada saat dileburkan dengan satuan Polisi Pamong Praja, penilaian masyarakat sendiri telah berubah. Bahkan banyak kritikan terhadap kinerja Wilayatul Hisbah pasca dileburkan tersebut. Sebagaimana tujuan awal adalah penegakan dan pengawalan syari’at Islam, keberadaan Wilayatul Hisbah, baik aparaturnya banyak yang dinilai melenceng dari syari’at Islam.
Sudah tentu prilaku aparatur Wilayatul Hisbah seharusnya sesuai dengan ketentuan qanun syari’at Islam sendiri. Sehingga masyarakat dapat menilai bahwa aparatur patuh hukum maka begitu juga dengan masyarakat. Dimana seharusnya perilaku aparatur tersebut juga merupakan hukum, selain hukum dalam arti sebenarnya.
Perbaikan tatanan tidak hanya pada masyarakat belaka, tetapi juga pada aspek prilaku aparatur penegak hukum sendiri. Dalam kaitannya dengan qanun jinayah dan acara jinayah, merupakan sebuah tatanan hukum yang baru guna alat mengontrol sosial (law as a tool of social enginering).[20] Tujuan pengontrolan tersebut tentu untuk menciptakan ketertiban hukum. Dimana setiap prilaku masyarakat sesuai dengan kaedah hukum yang ada. Khususnya syari’at Islam.
Seperti diketahui, hukum sebagai pengendalian sosial dimungkinkan untuk merumuskan proposisi-proposisi yang menjelaskan tentang kuantitas hukum dan gaya hukum pada setiap tempat. Masing-masing dari proposisi ini menunjukkan hubungan antara hukum dan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial, yaitu: statifikasi, morfologi, kultur, organisasi dan sosial control.
Secara lebih umum, kuantitas hukum diketahui dan mencakup sejumlah larangan, kewajiban dan standar-standar lain dimana orang merupakan subjeknya. Kuantitas hukum beraneka ragam dari waktu ke waktu, antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Keanekaragaman kuantitas hukum juga terjadi dengan adanya perbedaan person yang mengajukan tuntutan atau gugatan, adanya perbedaan sosok penegak hukum yang menangani suatu kasus hukum.
Dengan adanya ketentuan jinayah yang terakomodir konkrit maka secara formil, Mahkamah Syar’iyah dapat menjalankan kewenangannya dalam mengadili dan memutuskan perkara jinayah. Serta terkait kewenangan Wilayatul Hisbah terakomodir lengkap hingga proses pengumpulan alat-alat bukti yang jelas. Sehingga dengan demikian maka tujuan pengesahan dari qanun jinayah dan acara jinayah untuk penegakan syari’at Islam akan sangat berarti dalam mengembalikan nilai moral masyarakat sesuai dengan aturan yang berlaku.


F.        Kesimpulan

1.         Berdasarkan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat belakangan ini, dengan ditandai buruknya moral masyarakat khususnya kalangan remaja. Sehingga pelanggaran syari’at Islam marak terjadi, maka dibutuhkan tindakan cepat dari pemerintah, salah satunya dengan mengesahkan qanun jinayah dan acara jinayah. Tujuan keberadaan dari qanun jinayah dan jinayah selain mengisi dan menguatkan aturan hukum sebelumnya, juga sebagai perwujudan untuk implementasi dari efektifitas penegakan syari’at Islam di Aceh.
2.         Adapun nilai urgensi dari pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah adalah untuk dapat disegerakannya penertiban hukum dalam masyarakat, baik moralitas dan budaya masyarakat sehingga sesuai dengan kaedah yang seharusnya. Selain itu  juga untuk mengisi hukum formil bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam bidang hukum Islam. Menunda pengesahan dan pemberlakuannya justru sangat menghambat upaya-upaya menerapkan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh ini.





DAFTAR PUSTAKA

A.       Buku

Abdul Kadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, PT. Citra Aditya, Bandung, 2008

Donald Black, “Behavior of Law”, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN, 2004

Khirani Arifin, et.al.,”Analisi Kebijakan Publik”, PUSHAM. Banda Aceh, 2009

Lawrence Friedman, “American Law”, W.W. Norton & Company, London, 1984

Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002

Solly Lubis M., “Serba-serbi Politik dan Hukum”, Mandar Maju, Bandung, 1989

Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962


B.       Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah Dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam

Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar

Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir

Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat

Qanun No. 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi.


C.       Internet



http://www.acehkita.com/berita/selama-2012-77-anak-alami-kekerasan-seksual/




www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=hukum jinayah di aceh&source=web&cd=2&ved=0CC8QFjAB&url=http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013&ei=6OY6UYfZJseHrAf42YFI&usg=AFQjCNHdeqac7Vl05vDnqphIRgIthNmNhA&bvm=bv.43287494,d.bmk&cad=rja


[1] Adalah tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur, Sigli
[2] http://www.bisnisaceh.com/umum/wakil-walikota-banda-aceh-prihatin-pergeseran-moral-generasi-muda/index.php
[3] http://news.okezone.com/read/2013/03/08/340/772984/arisan-tante-girang-berhadiah-berondong-juga-ada-di-aceh
[4] Ibid.
[5] http://www.acehkita.com/berita/selama-2012-77-anak-alami-kekerasan-seksual/
[6] http://www.acehkita.com/berita/kisma-desak-dpra-segera-sahkan-qanun-jinayat/
[7] Lawrence Friedman, “American Law”, W.W. Norton & Company, London, 1984, hal. 6
[8] Ibid., hal. 7
[9] Donald Black, “Behavior of Law”, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976, hal. 2.
[10] Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[11] Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah geopolitik; (2) kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik; (3) kesatuan cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah ekopolitik; (4) kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik; dan (5) kesatuan sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya adalah kratopolitik. M. Solly Lubis, “Serba-serbi Politik dan Hukum”, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 48 dan 94-96.
[12] Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002, hal. 380.
[13] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hal. 2.
[14] Khirani Arifin, et.al.,”Analisi Kebijakan Publik”, PUSHAM. Banda Aceh, 2009, hal. 15.

[15] http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013
[16]http://www.analisadaily.com/news/read/2013/03/05/112133/50_ribu_warga_bubuhkan_tandatangan_dukung_qanun_jinayah/#.UTrn8tZTCSo
[17] www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=hukum jinayah di aceh&source=web&cd=2&ved=0CC8QFjAB&url=http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013&ei=6OY6UYfZJseHrAf42YFI&usg=AFQjCNHdeqac7Vl05vDnqphIRgIthNmNhA&bvm=bv.43287494,d.bmk&cad=rja
[18] Abdul Kadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, PT. Citra Aditya, Bandung, 2008, hal. 16
[19] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN, 2004, hal. 12
[20] Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 43
Share:
Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten