Subscribe Us

Sabtu, 27 November 2010

PENGISIAN UNSUR PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH BERDASARKAN UU NO. 27 TAHUN 2009


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Aceh merupakan salah satu daerah dalam ruang lingkup negara kesatuan republik Indonesia yang mendapatkan status otonomi khusus.[1] Dalam pelaksanaan otonomi khusus di Aceh diselenggarakan oleh perangkat Aceh yaitu Gubernur sebagai kepala pemerintahan Aceh dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Penyelenggaraan otonomi tersebut diatur lebih jelas dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 1 angka 4 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Bila dilihat dari segi pengertian maka Gubernur Aceh bermakna Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.[2] Sedangkan DPRA merupakan unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.[3]
Sebagai salah satu perangkat pelaksana penyelenggaraan otonomi, DPRA mempunyai kedudukan dan kewenangan yang diatur tersendiri dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Setiap anggota DPRA dipilih secara langsung oleh rakyat Aceh melalui pemilu. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh harus berpedoman pada asas-asas umum dalam sistem pemerintahan yaitu diantaranya:
a.       asas ke-Islaman;
b.      asas kepastian hukum;
c.       asas kepentingan umum;
d.      asas tertib penyelenggaraan pemerintahan;
e.       asas keterbukaan;
f.       asas proporsionalitas;
g.      asas profesionalitas;
h.      asas akuntabilitas;
i.        asas efisiensi;
j.        asas efektivitas; dan
k.      asas kesetaraan.
Terkait susunan dan organisasi penyelenggara Pemerintahan Aceh diatur lebih lanjut dalam qanun. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebagai lembaga legislatif daerah, DPRA mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi anggaran, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Terkait jumlah anggota DPRA yang terpilih dalam pemilu yaitu paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan undang-undang.[4]
Terkait komposisi struktur organisasi DPRA berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu terdiri dari:
a.       pimpinan;
b.      komisi;
c.       panitia musyawarah;
d.      panitia anggaran;
e.       badan kehormatan;
f.       panitia legislasi; dan
g.      alat kelengkapan lain yang diperlukan.[5]
Komposisi Pimpinan DPRA tidak diatur secara rinci dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menentukan bahwa pimpinan DPRD terdiri dari:
a.       1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
b.      1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
c.       1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.[6]

Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi.[7] Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap anggota legislatif daerah yang dapat menjadi pimpinan yaitu bagi setiap partai politik yang telah mengikuti pelaksanaan pemilu dan meraih perolehan suara terbanyak.
Melihat dasar hukum yang telah mengatur tentang prihal pengisian unsur pimpinan DPRA yang tidak diatur secara rinci dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Permasalahan hukumnya terjadi pada saat pelaksanaan pemilu di Aceh pada tahun 2009, dimana polemik hukum terjadi pada saat pemilihan pimpinan DPRA terpilih.[8]
Kandidat ataupun calon pimpinan DPRA yang dipilih pada pemilu tahun 2009 terdiri dari 4 (empat) orang yaitu terdiri dari Hasbi Abdullah dari Partai Aceh (PA) diusulkan sebagai Ketua, Amir Helmi dari Partai Demokrat (Wakil Ketua I), Sulaiman Abda dari Partai Golkar (Wakil Ketua II), dan Ridwan Abubakar dari PA (Wakil Ketua III). Berdasarkan usulan ini, ada dua orang dari partai yang sama, yakni Hasbi Abdullah dan Ridwan Abubakar yang sama-sama dari PA.[9]
Penyelesaian permasalahan tersebut sebagaimana disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam suratnya kepada Gubernur Aceh No.171.11/4248/SJ tertanggal 1 Desember 2009, yang ditujukan kepada Gubernur Aceh menegaskan, megingat UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tidak mengatur secara khusus mengenai pengisian pimpinan DPRA, maka pengisian pimpinan DPRA harus mengacu pada pasal 303 Ayat (2) UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Penegasan Menteri Dalam Negeri terkait penyelesaian tersebut tetap mengacu pada UU No. 27 Tahun 2009, dan bagi kandidat calon pimpinan DPRA dari partai politik yang sama (yaitu Ridwan Abubakar dari PA) harus mundur dan digantikan dengan calon legislatif dari PAN yaitu Muslim Ayub, dimana PAN telah memperoleh suara terbanyak ke empat. Berdasarkan penegasan Menteri Dalam Negeri dalam suratnya, menyimpulkan bahwa kursi ketua tetap diisi dari Partai Aceh, Hasbi Abdullah, yang meraih kursi terbanyak pertama mencapai 33 kursi, Wakil Ketua I, Amir Helmi dari Partai Demokrat yang meraih 10 kursi dan Wakil Ketua III Sulaiman Abda dari Partai Golkar yang meraih delapan kursi.[10] pengaturan rinci tentang komposisi pimpinan, alat kelengkapan, tugas, fungsi dan wewenang DPRD telah diatur dalam PP No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
B.       Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1.             Apakah proses pemilihan pimpinan DPRA telah sesuai menurut perundang-undangan yang berlaku?
2.             Apakah dampak hukum yang terjadi terkait penyelesaian kasus pemilihan pimpinan DPRA yang diselesaikan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini terdiri dari :
1.             Untuk mengkaji dan menelaah proses pemilihan pimpinan DPRA telah sesuai menurut perundang-undangan yang berlaku.
2.             Untuk mengkaji dan menelaah dampak hukum yang terjadi terkait penyelesaian kasus pemilihan pimpinan DPRA yang diselesaikan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009.

D.      Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif. Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah terlebih dahulu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Dengan kata lain yaitu melihat hukum dari aspek normatif.
Spesifikasi penulisan ini yaitu deskriptif analitis. Deskriptif bermakna menggambarkan suatu permasalahan hukum dalam hal ini yaitu terkait proses pemilihan unsur pimpinan DPRA berdasarkan perundang-undangan terkait. Analitis berarti bahwa menganalisa suatu permasalahan hukum berdasarkan data-data yang dikumpulkan.
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data skunder yaitu yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari buku-buku mengenai lembaga legislatif, dokumen resmi, dan hasil penelitian ahli yang berwujud laporan.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan ini, dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library reseach), dengan mempelajari buku-buku literature, majalah-majalah, bulletin dan jurnal, paper serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas.

E.       Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan tesis ini terdiri dari beberapa bab, diantaranya yaitu sebagai berikut:
Bab I yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode pendekatan dan sistematika penulisan.
Bab II yaitu tinjauan umum tentang pimpinan lembaga legislatif daerah yang terdiri dari pengertian pimpinan legislatif daerah, sejarah pelaksanaan pemilihan pimpinan legislatif daerah, dan landasan yuridis legislatif daerah.
Bab III yaitu pengisian unsur pimpinan dewan perwakilan rakyat aceh berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 diantaranya yaitu proses pemilihan pimpinan DPRA telah sesuai menurut perundang-undangan yang berlaku, dan dampak hukum yang terjadi terkait penyelesaian kasus pemilihan pimpinan DPRA yang diselesaikan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009.
Bab IV yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan saran








BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PIMPINAN LEMBAGA LEGISLATIF DAERAH
A.      Pengertian Pimpinan Legislatif Daerah

Dalam era reformasi sekarang ini, yang ditandai dengan iklim politik yang lebih terbuka, dan munculnya banyak partai politik baru yang mencerminkan keinginan bagi partisipasi masyarakat. Pada era ini sesungguhnya merupakan peluang emas untuk memajukan kepentingan perempuan dan memperjuangkan keterwakilan mereka dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Partai politik adalah wadah yang penting untuk partisipasi politik dalam Negara demokrasi. Melalui partai politik aktivitas rekrutmen dilakukan, dan begitu pula pendidikan politik kepada para anggota dan kadernya.[11]
Pada tanggal 9 April 2010, para pemilih di Aceh akan mencontreng para calon anggota legislatif (caleg) partai baik untuk kursi DPR maupun DPRA dan DPRK serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bukan suatu hal mudah untuk menetapkan pilihan dengan jumlah partai dan anggota DPD demikian banyak. Keberadaan Partai Lokal (Parlok), menjadi hal paling monumental dalam Pemilu Legislatif 2009 di Aceh. Keberadaan parlok merupakan sebuah pencapaian demokrasi terbesar.[12]
Pelaksanaan pemilu secara nasional diselenggarakan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif. Sementara itu, pelaksanaan pemilu di Aceh dilaksanakan berdasarkan Qanun No. 7 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh.
Pasca pelaksanaan pemilu, KPU dan KIP Aceh melakukan rekapitulasi suara dan juga menentukan perolehan suara terbanyak. Setelah calon legislatif terpilih, maka dilakukan pemilihan Ketua dan juga Wakil Ketua lembaga legislatif. Berdasarkan Pasal 303 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi.
Berdasarkan PP No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 yaitu Pimpinan DPRD adalah Ketua dan Wakil Ketua DPRD. Pimpinan DPRD merupakan salah satu dari alat kelengkapan DPRD yang mempunyai sifat kolektif dan kolegial.[13] PP tersebut dapat dijadikan acuan sehubungan dengan perubahan komposisi Pimpinan DPRD yang disebabkan oleh perubahan jumlah kursi dan suara terbanyak anggota DPRD.
Penyampaian calon pimpinan DPRD dari partai politik ditanda tangani oleh Ketua dan Sekretaris Partai Politik yang sesuai dengan AD/ART Partai Politik yang bersangkutan.[14] Oleh karena itu, setiap calon Pimpinan DPRD masih mempunyai ikatan dengan partai politik yang mengikut sertakan calon tersebut dalam pelaksanaan pemilu.
Setiap Pimpinan DPRD yang terpilih mempunyai hak-hak politik yang melekat. Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep hak dan kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik pada tingkat tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak itu wajib bagi pimpinan DPRD. Hal itu disebabkan hak mutlak sebagaimana yang diterima membolehkan seseorang menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apa pun kecuali dalam menggunakannya menurut konstitusi.[15]
Atas dasar prinsip normatif demikian dalam kehidupan demokrasi sebagai lembaga legislatif memiliki posisi sentral yang biasanya tercermin dalam teori kedaulatan rakyat. Hal tersebut didasarkan pada pandangan bahwa badan legislatif yang dapat mewakili rakyat dan memiliki kompetensi untuk memenuhi kehendak rakyat.[16]
Wujud dari kedaulatan yang didasarkan pada musyawarah untuk mencapai mufakat terlihat dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR dan DPRD). Lembaga yang menjadi wakil rakyat ini menjalankan fungsi sebagai mitra, sekaligus sebagai pengontrol pemerintah. Melalui pemilu, rakyat dapat menjalankan peran politiknya.[17]
Dalam kaitannya sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD, maka dibentuklah Badan Kehormatan DPRD. Badan Kehormatan DPRD dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan DPRD. Tugas utama dari Badan Kehormatan DPRD adalah membentuk, menjaga dan mengawasi etika anggota DPRD termasuk pimpinan DPRD.[18]


B.       Sejarah Pelaksanaan Pemilihan Pimpinan Legislatif Daerah

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918). Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.[19]
Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen. Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:
a.       Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
b.      Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
c.       Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.[20]

Sebagai rinciannya dapat dilihat pada tahun 1927 struktur Volksraad yaitu Ketua yaitu 1 orang (diangkat oleh Raja) dan Anggota terdiri 55 orang (Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25 orang). Tahun 1930, Ketua yaitu 1 orang (diangkat oleh Raja) dan terjadi penambahan pada jumlah anggota yaitu 60 orang (Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30 orang).[21]
Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.[22]
Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.
Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.[23]
Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli.
Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
-            8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
-            5 orang mewakili P.P.B.B.
-            4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
-            4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
-            3 orang mewakili Parindra
-            2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)
-            2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
-            2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)
-            4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia
-            5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi    yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan    Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan    Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V).[24]

Berbeda halnya yang terjadi pada masa pasca kemerdekaan dimana terdapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang mempunyai peran dan fungsi sebagai lembaga legislatif sementara. Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.
Pada masa 1949 sampai dengan 1950, Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.[25]
Jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian dengan perincian sebagai berikut:
a.       Republik Indonesia 49 orang
b.      Indonesia Timur 17 orang
c.       Jawa Timur 15 orang
d.      Madura 5 orang
e.       Pasundan 21 orang
f.       Sumatera Utara 4 orang
g.      Sumatera Selatan 4 orang
h.      Jawa Tengah 12 orang
i.        Bangka 2 orang
j.        Belitung 2 orang
k.      Riau 2 orang
l.        Kalimantan Barat 4 orang
m.    Dayak Besar 2 orang
n.      Banjar 3 orang
o.      Kalimantan Tenggara 2 orang
p.      Kalimantan Timur 2 orang.[26]
Sementara itu, Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS.[27]
Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1950, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan.
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.
Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954):
1.      Masjumi 43 orang
2.      PNI 42 orang
3.      PIR-Hazairin 19 orang 22 orang
4.      PIR-Wongso 3 orang
5.      PKI 17 orang
6.      PSI 15 orang
7.      PRN 13 orang
8.      Persatuan Progresif 10 orang
9.      Demokrat 9 orang
10.  Partai Katolik 9 orang
11.  NU 8 orang
12.  Parindra 7 orang
13.  Partai Buruh 6 orang
14.  Parkindo 5 orang
15.  Partai Murba 4 orang
16.  PSII 4 orang
17.  SKI 4 orang
18.  SOBSI 2 orang
19.  BTI 1 orang
20.  GPI 1 orang
21.  Perti 1 orang
22.  Tidak berpartai 11 orang.[28]

DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS. Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.[29]
Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional).[30] Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.[31]

C.      Landasan Yuridis Legislatif Daerah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 40 Ayat (1), menyatakan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur peyelengaran pemerintahan daerah yang merupakan landasan yuridis bagi DPRD dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai Badan Legislatif Daerah. Menurut Wasistiono dilihat dari segi etimologis, kata legislatif berasal dari kata "to legislate", yang berarti mengatur atau membuat undang-undang. Dengan demikian fungsi utama badan legislatif adalah adalah membuat peraturan perundang-undangan. Sedangkan kata eksekutif berasal dari kata "to execute' yang artinya menjalankan, melaksanakan atau melakukan.[32]
Prihal pimpinan badan legislatif daerah dapat dilihat ketentuannya dalam UU No. 27 Tahun 2009 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana yaitu PP No. 16 Tahun 2010. Peraturan ini sangat penting bagi lembaga perwakilan rakyat tersebut, tidak hanya sekedar sebagai aturan hukum dalam penetapan alat kelengkapan DPRD seperti Pimpinan Dewan definitif, Komisi, Badan Musyawarah, Badan Anggaran, Badan Legislasi dan Badan Kehormatan, tetapi yang paling prinsip adalah tata tertib dan kode etik yang dapat mencerminkan apakah lembaga itu kelak pro rakyat atau hanya sekadar atribut politik.[33]
Jika dibandingkan dengan aturan tata tertib sebelumnya, tata tertib pada periode ini letaknya yakni ada pada perbedaan pada sistem pemilihan pimpinan. Dimana, Pemimpin kali berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 ditetapkan berdasarkan suara pemilih terbanyak sedangkan periode sebelumnya adalah hasil pemilihan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 57 Ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyebutkan bahwa Pimpinan DPRD Provinsi terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPRD Provinsi dalam sidang paripurna DPRD Provinsi.
Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 57 Ayat (3) UU No. 22 Tahun 2003 bahwa Pimpinan Sementara DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD Provinsi.
Bila melihat secara rinci dari keberadaan antara UU No. 22 Tahun 2003 dengan UU No. 27 Tahun 2009, jelas dapat disimpulkan bahwa pemilihan pimpinan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah lebih konkret dan jelas. Hal ini ditandai dengan sistem pemilihannya. Pada UU No. 22 Tahun 2003 ditentukan bahwa sistem pemilihan pimpinan dilakukan dari dan oleh anggota DPRD terpilih. Sementara itu, dalam UU No. 27 Tahun 2009 lebih ditekankan pada perolehan suara terbanyak.

















BAB III
PENGISIAN UNSUR PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH BERDASARKAN UU NO. 27 TAHUN 2009
A.      Proses Pemilihan Pimpinan DPRA Menurut Perundang-Undangan Yang Berlaku

Pasca pelantikan calon legislatif DPRA yang terpilih setelah pelaksanaan pemilu. Kebijakan ataupun hal pertama yang dilakukan adalah menyusun aturan hukum terkait tata tertib internal DPRA. Selain itu, yang dilakukan adalah pemilihan pimpinan DPRA sebagai salah satu alat kelengkapan DPRA.
Pelaksanaan pemilihan pimpinan DPRA dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, pelaksanaan pemilihan tersebut menimbulkan polemik hukum. Dimana unsur/ komposisi pimpinan DPRA tidak diatur dengan jelas dalam UU No. 11 Tahun 2006, sehingga disepakati penyelesaiannya dilakukan berdasarkan aturan tata tertib.
Polemik hukum lainnya yaitu pengaturan tentang pengisian pimpinan lembaga legislatif daerah telah diatur dengan jelas dalam UU No. 27 Tahun 2009. Unsur pimpinan DPRA sebagaimana diketahui yaitu Ketua, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, dan Wakil Ketua III. Untuk posisi Ketua, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 303 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 ditentukan berdasarkan perolehan suara partai politik yang memiliki suara terbanyak.
Perolehan suara terbanyak pada saat pelaksanaan pemilu legislatif pada saat itu adalah Partai Aceh. Maka, calon Ketua DPRA yang diusulkan adalah Hasbi Abdullah. Kemudian, Amir Helmi dari Partai Demokrat sebagai Wakil Ketua I, Sulaiman Abda dari Partai Golkar sebagai Wakil Ketua II, dan Ridwan Abubakar dari Partai Aceh  diusulkan menjadi Wakil Ketua III.
Permasalahan muncul bila dilihat dari calon Ketua DPRA dan Wakil Ketua III yang berasal dari partai yang sama, dan memperoleh hasil suara terbanyak. Polemik kursi Wakil Ketua III DPR Aceh, yang sampai sekarang masih dibiarkan kosong. Hal tersebut disebabkan karena adanya “tarik ulur” yang terjadi terkait dasar hukum yang akan dipakai menjadi acuannya. Partai Aceh menginginkan agar dilaksanakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006. Namun, anggota lainnya melihat harus diselesaikan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009.
Karena adanya tarik ulur tersebut, maka Menteri Dalam Negeri menegaskan dalam suratnya kepada DPRA agar pengisian jabatan pimpinan DPRA yang masih kosong dilakukan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009. Dalam Pasal 303 Ayat (6) UU No. 27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa: Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
Berdasarkan pasal tersebut partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga dan keempat adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional. Taqwaddin mengungkapkan bahwa proses pelaksanaan pengisian Wakil Ketua III DPRA tersebut seharusnya dilakukan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009, karena pengaturan dalam undang-undang tersebut lebih konkret.[34]
Pernyataan tersebut dapat juga dilihat berdasarkan Keputusan KIP Provinsi Aceh Nomor 16/SK/KIP/Tahun 2009 tanggal 26 Agustus 2009 menyatakan bahwa empat partai politik yang mememperoleh kursi terbanyak di DPRA periode 2009-2014 adalah Partai Aceh sebanyak 33 kursi, Partai Demokrat 10 kursi, Partai Golkar 8 kursi, dan PAN sebanyak 5 kursi. “Berdasarkan Pasal 303 ayat (2) UU No.27/2009 bahwa pimpinan DPRD Provinsi berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD Provinsi.
Seharusnya jatah kursi Wakil Ketua III DPR Aceh jatuh kepada wakil rakyat dari Partai Amanat Nasional, sebagai partai keempat pemenang pemilu di Aceh, yang berhasil menempatkan 5 (lima) wakilnya di DPR Aceh. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 303 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jelas jatah kursi Wakil Ketua III DPR Aceh milik PAN Aceh, sesuai dengan urutan perolehan suara dan kursi legislatif di DPR Aceh.
Dalam konteks perundang-undangan, sesuai UU No. 27 Tahun 2009, tetap dapat diberlakukan sebagai perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penetapan jumlah pimpinan DPRD (khusus Aceh DPRA dan DPRK), sebagaimana termaktub dalam Pasal 400 UU No. 27 tahun 2009 telah dijabarkan lebih lanjut mengenai ruang lingkup pemberlakuan undang-undang ini, yaitu : “Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam undang-undang tersendiri.” Karena di dalam UUPA tidak secara tegas disebutkan berapa jumlah pimpinan DPR Aceh. UUPA hanya mengatur jumlah komisi dan tambahan alat kelengkapan DPR Aceh sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan (2) UUPA.
Saut Situmorang, menyatakan pengaturan rinci tentang komposisi pimpinan, alat kelengkapan, tugas, fungsi dan wewenang DPRD telah diatur dalam PP No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.[35]
Untuk menghentikan polemik tentang kursi Wakil Ketua III DPR Aceh, tetap harus di kedepankan dialog dan alasan hukum untuk penyelesaian kelengkapan pimpinan DPR Aceh, karena apabila tidak, tentunya yang dirugikan adalah daerah dan rakyat Aceh sendiri, sebab nantinya akan melahirkan produk-produk hukum produksi pimpinan DPR Aceh yang tidak sah. Mengingat perolehan kursi PAN di DPR Aceh periode 2009-1014 sebanyak lima kursi dan sesuai keputusan KIP Aceh bahwa perolehan kursi PAN di DPRA periode 2009-2014 menduduki urutan ke empat, maka kekosongan satu orang wakil ketua DPRA periode 2009-2014 harus diisi dari anggota DPRA dari PAN.
Bila dikaji menurut kaedah yang berlaku dalam perundang-undangan, yaitu terdiri dari:
1)          Lex superior derogat legi inferiori.

Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.[36] 

2)          Lex specialis derogat legi generalis

Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:  
(a)           Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
(b)          Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
(c)           Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.[37]

3)          Asas lex posterior derogat legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru

Melihat asas tersebut, maka dapat dilihat pemberlakuan UU No. 27 Tahun 2009 dalam pengisian jabatan Wakil Ketua III DPRA adalah sebagai wujud dari lex posterior derogat legi priori. Hal ini karena, aturan mengenai kedudukan pimpinan DPRA tidak diatur jelas dalam UU No. 11 Tahun 2006, maka penyelesaiannya harus mengacu pada UU No. 27 Tahun 2009, walau diketahui bahwa UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang khusus/ lex specialis.
Bila telaahannya adalah lex specialis derogat legi generalis, maka tidak sesuai bila disejajarkan antara UU No. 11 Tahun 2006 dengan UU No. 27 Tahun 2009. Aturan dalam UU No. 11 Tahun 2006 adalah aturan terkait kekhususan daerah Aceh sebagai provinsi dengan otonomi khusus. Namun, pengaturan dalam UU No. 27 Tahun 2009 merupakan aturan tentang lembaga politik. Jadi bila disandingkan maka tidak ada harmonisasi hukum.
Lain halnya bila UU No. 11 Tahun 2006 disejajarkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena aturannya sama-sama terkait tentang masalah/ menyangkut daerah, maka keberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 dapat dikesampingkan dengan adanya UU No. 11 Tahun 2006.
Asas hukum lex superior derogat lex inferior, substansi hukum yang diatur dalam ketentuan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan materi yang ada dalam ketentuan yang lebih tinggi. Maka apapun aturannya, asalkan mengatur hal yang sama, asas ini harus menjadi acuannya. Untuk membuat suatu aturan juga perlu mempertimbangkan asas lex specialis derogat lex generalis. Artinya, peraturan khusus dapat mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Jika dalam peraturan khusus tak ada ketentuannya maka yang harus dijadikan acuan adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan bersifat umum (lex generalis). Ini perlu diperhatikan dalam membuat peraturan Tata Tertib (Tatib) DPRA. Peraturan internal yang utamanya berlaku mengikat bagi anggota dewan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagaimana mereka telah disumpah. Posisi Peraturan Tatib berada di bawah peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang bersifat legislasi maupun regulasi. Maka substansi Tatib harus mengacu pada peraturan perundangan-undangan dengan menggunakan kedua asas hukum tersebut.[38]
apa yang telah diatur dalam pasal 303 UU 27/2009 telah demikian tegas dan cukup akomodatif bagi perkembangan demokrasi di Aceh. Semestinya, tidak terjadi keributan untuk rebut soal pemilihan pimpinan dan kuantitas tunjangan. Ini kemudian membuat simpati rakyat makin jauh, karena anggota dewan hanya sibuk dan lelah memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri.
Undang-undang telah mengaturnya secara tegas. Lagi pula perlu diketahui bahwa Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri. Konsekuensinya, jika tatacara pemilihan pimpinan tidak sesuai peraturan perundang-undangan, maka sangat mungkin Keputusan Mendagri akan sulit terbit. Hal ini tentu saja akan berimplikasi pada semakin telatnya keberpihakan DPRA dalam penanganan percepatan kesejahteraan rakyat melalui APBA yang berdampak makro pada pertumbuhan ekonomi Aceh.[39]
Maka atas dasar hukum tersebut pula, penyelesaian polemik pengisian pimpinan DPRA berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 lebih realistis bila diselesaikan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 dan Peraturan Tata Tertib DPRA.  Penegasannya dapat dilihat dalam Pasal 400 UU No. 27 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa : Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dewan perwakilan rakyat Kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam undang-undang tersendiri. Oleh karena itu, UU No. 27 Tahun 2009 dapat mengikat dan berlaku di Aceh sepanjang UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak mengatur lebih rinci dan tegas.


B.       Dampak Hukum Yang Terjadi Terkait Penyelesaian Kasus Pemilihan Pimpinan DPRA Yang Diselesaikan Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009

Penyelesaian pengisian pimpinan DPRA yang dilakukan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009, lebih dilihat pada aspek hukum dari pada aspek politis. Bila suatu permasalahan hukum terjadi maka diselesaiakan secara hukum, akan menimbulkan dampak hukum.
Pengisian pimpinan DPRA dalam hal ini adalah Wakil Ketua III, yang mana penyelesaiannya menurut UU No. 27 Tahun 2009, maka kursi Wakil Ketua III DPRA jatuh ke Partai Amanat Nasional selaku partai politik yang memperoleh suara terbanyak keempat. Sejumlah kalangan menyayangkan sikap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang terkesan melawan Menteri Dalam Negeri, dalam pengisian kekosongan satu lagi pimpinan dewan yang seharusnya menjadi milik wakil dari Partai Amanat Nasional (PAN) selaku peraih kursi terbanyak keempat.[40]
Ketua DPRA Hasbi Abdullah menyatakan, dalam menyikapi persoalan seputar penetapan Wakil Ketua III DPRA, pihaknya tetap mengacu pada tata tertib (Tatib) yang telah dibuat dan hasil sidang paripurna DPRA pada pertengahan Desember 2009 lalu, dimana dalam penetapan pimpinan dewan menggunakan UU No. 11 Tahun 2006 meskipun tidak mengatur secara jelas.
Polemik seputar masih kosongnya satu kursi pimpinan DPRA ini juga menimbulkan keprihatinan dari para aktivis lembaga swadaya masyarakat. Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, persoalan ini harus segera dituntaskan dalam waktu dekat, karena sudah menyita banyak waktu, pikiran, serta dugaan terjadinya pelanggaran hukum.  Alfian bahkan menangkap adanya kesan bahwa pimpinan DPRA tidak taat hukum dalam persoalan Wakil Ketua III DPRA.[41]
Atas dasar tersebut, para pengurus partai politik meminta ketua DPRA dan Gubernur Aceh mengusulkan dan merekomendasikan pengangkatan peresmian Wakil Ketua III DPRA Aceh yang menjadi jatah Partai Amanat Nasional (PAN). Desakan ini tertuang dalam pernyataan sikap parpol yang dibacakan Sekjen Partai Rakyat Aceh (PRA) Thamren Ananda, dalam konferensi pers di Banda Aceh, Jumat (30/7). Dalam daftar hadir yang ada pada panitia, tercantum beberapa perwakilan dari PRA, PARA, PAN Aceh, PBA, Golkar, PDIP, Hanura, SIRA, dan PAAS.
Dalam pernyataan sikap itu, parpol meminta agar segera dilakukan peresmian pimpinan dewan sesuai pasal 301 ayat (1) dan pasal 303 ayat (2) UU Nomor 27 tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Mengingat, UUPA tidak mengatur secara khusus tentang mekanisme pengangkatan pimpinan DPRA.
Akibat adanya tarik ulur dari permasalahan posisi Wakil Ketua DPRA tersebut berakibat kepada mandeknya fungsi-fungsi DPRA salah satunya fungsi Budgeting (pembahasan RAPBA 2010), namun menunggu ataupun usaha-usaha diplomatis lainnya hanya akan membuang-buang waktu, biaya dan energi disamping itu juga tentunya akan mendapat perlawan pula dari pihak-pihak yang dirugikan (judicial review), juga akan menimbulkan perpecahan-percahan (internal & eksternal) dan akan berdampak selama lima tahun kedepan.
Untuk itu sebaiknya dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan sebaiknya DPRA merevisi kembali usulan pengesahan pimpinan tersebut dan mengacu pada perundang-undangan yang berlaku (sesuai dengan hukum) karena Indonesia adalah Negara Hukum, tidak sebaliknya mengedepankan Nafsu Politik, karena akan semakin mengikis tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPRA, dan sebaliknya dengan merevisi usulan tersebut akan menimbulkan simpati bagi masyarakat dan hal ini sebagai proses pembelajaran yang sangat berharga.
Mawardi Ismail menyatakan menghargai inisiatif DPRA yang mengajukan penafsiran berbeda dengan mengusulkan calon dari PA. Tapi karena Mendagri tidak setuju, apalagi SK untuk pimpinan dewan adalah dari Mendagri, masalah apa pun yang diintruksikan harus diikuti. Jika tidak, Aceh sendiri yang akan rugi. Pasalnya, efektifitas kinerja dewan akan terkendala dengan berkurangnya satu wakil ketua. Apa yang dikehendaki Mendagri yakni agar dewan mengusulkan nama ke gubernur untuk selanjutnya diteruskan kembali ke Mendagri harus segera dilaksanakan sesuai UU No. 27 Tahun 2009.[42]


BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikaji dan ditelaah diatas, maka kesimpulan yang didapat yaitu sebagai berikut:
a.         Pengisian pimpinan DPRA  dalam hal ini yaitu Wakil Ketua III sebagaimana disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 2006, dilakukan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009. Alasan digunakan UU No. 27 Tahun 2009 sebagai instrument hukum dalam penyelesaian kasus pengisian pimpinan DPRA adalah karena aturan dalam UU No. 27 Tahun 2009 lebih jelas dan rinci dari pada UU No. 11 Tahun 2006.
b.        Dampak yang timbul bilaman penyelesaian secara hukum pengisian pimpinan DPRA dalam hal ini adalah Wakil Ketua III DPRA, maka segala tugas dan kewenangan DPRA yang seharusnya telah berjalan tidak dapat bekerja secara efektif. Setiap kewenangan baik bidang legislasi, pengawasan dan anggaran tidak dapat berjalan sempurna, karena pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut dapat dilakukan bila unsur pimpinan DPRA telah lengkap.

B.       Saran
Berdasarkan kesimpulan yang menjawab permasalahan diatas, maka saran yang dapat diuraikan sebagai solusi dari permasalahan adalah sebagai berikut:
a.         Disarankan kepada Ketua DPRA terpilih agar dapat menyelesaikan polemik pengisian Wakil Ketua III berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009. Selanjutnya aturan hukum terkait tata tertib DPRA juga direvisi kembali agar sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2009.
b.        Disarankan kepada Ketua DPRA terpilih agar dapat menerima calon Wakil Ketua III dari Partai Amanat Nasional sebagai partai politik perolehan suara keempat terbanyak, sehingga Menteri Dalam Negeri dapat menetapkan secara hukum. Apabila unsur pimpinan DPRA telah lengkap maka pelaksanaan tugas dan kewenangan juga akan terlaksana dengan baik.




























DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985

Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta, 2004

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat (Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan  Negara-negara lain), Nusa Media, Bandung, 2007

Ichlasul Amal, Pemberdayaan DPR dalam Upaya Demokrasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1995

Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender Dalam Islam), Amzah, 2008

Jimmly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2005

Marbun B.N., DPR RI; Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1992

Ratna Batara Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan (Agenda Politik Untuk Demokrasi dan Kesetaraan),  TIFA Fondation, Jakarta, 2008

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Soehino, Hukum Tata Negara; Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1992

Wasistiono, Sadu, Essensi UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Alqaprint, Jatinangor, 2001


B.       Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

PP No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh

PP No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah

C.      Internet











http://www.serambinews.com/news/view/26860/satu-kursi-pimpinan-dari-pan


[1] Status otonomi khusus bagi provinsi Aceh secara historis dimulai pada saat diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
[2] Lihat dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[3] Lihat dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[4] Lihat dalam Pasal 22 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[5] Lihat dalam Pasal 30 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[6] Lihat dalam Pasal 303 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
[7] Lihat dalam Pasal 303 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
[8] Pelaksanaan pemilu di Aceh pada tahun 2009 selain diikuti oleh Partai Politik Nasional sebagai peserta pemilu, juga diikuti oleh Partai Politik Lokal berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh
[9] Perolehan suara untuk Partai Aceh (PA) rata-rata disetiap TPS mencapai 50% lebih dari jumlah pemilih yang memberikan suara. Persentase ini adalah suara yang disalurkan masyarakat pada PA maupun caleg dari PA untuk DPRK dan DPRA. Dihimpun dari http://borni.wordpress.com/2009/04/12/mengapa-partai-aceh-menang/
[10] Anonimous, Pimpinan DPRA Harus Mengacu Pada UU No. 27 Tahun 2009, http://www.gsfaceh.com/index.php/berita/berita-tahun-2009/1548-pimpinan-dpra-harus-mengacu-uu-272009
[11] Ratna Batara Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan (Agenda Politik Untuk Demokrasi dan Kesetaraan),  TIFA Fondation, Jakarta, 2008, hal. 30
[12] Saifuddin Bantasyam, Mempertaruhkan Aceh dalam Pemilu 2009, http://m.serambinews.com/news/view/23936/mempertaruhkan-aceh-dalam-pemilu-2009
[13] Lihat dalam Pasal 36 Ayat (3) PP No. 16 Tahun 2010
[14] Lihat dalam penjelasan Pasal 39 Ayat (1) PP No. 16 Tahun 2010
[15] Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender Dalam Islam), Amzah, 2008, hal. 36
[16] Ichlasul Amal, Pemberdayaan DPR dalam Upaya Demokrasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1995, hal. 4
[17] Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat (Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan  Negara-negara lain), Nusa Media, Bandung, 2007, hal. 38.
[18] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 70
[19] Eryanto Nugroho dan Reny Rawasita Parasibu, Sejarah DPR, http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpr
[20] Ibid.
[21] Soehino, Hukum Tata Negara; Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1992, hal. 22
[22] Ibid.
[23] Ibid, hal. 27
[24] Marbun B.N., DPR RI; Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1992, hal. 71
[25] Ibid.
[26] Eryanto Nugroho dan Reny Rawasita Parasibu, Loc., Cit.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Soehino, Op., Cit., hal. 30
[30] Jimmly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2005, hal. 42
[31] Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hal. 78
[32] Wasistiono, Sadu, Essensi UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Alqaprint, Jatinangor, 2001, hal. 10
[33] Kahumas, UU 27 Tahun 2009 Sibuknya DPRD Berbenah Diri, http://dprd-sidoarjokab.go.id/uu-27-tahun-2009-sibuknya-dprd-berbenah-diri.html

[34] Taqwaddin, DPRA Didesak Revisi Qanun Tata Tertib,  Tak Sesui UU 27/2009 dan PP 16/2010, http://www.serambinews.com/news/view/25462/dpra-didesak-revisi-qanun-tata-tertib
[35] Mendagri: Kekosongan Wakil Ketua DPRA Harus Diisi dari PAN, http://www.serambinews.com/news/view/25985/kekosongan-wakil-ketua-dpra-harus-diisi-dari-pan
[36] Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal.56. Periksa juga penjelasan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut; "dalam ketentuan ini  yang dimaksut dengan " hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi".
[37] Ibid. hal 58
[38] Taqwaddin, Aspek Hukum Tatib DPRA, Opini, http://www.gerakaceh.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=405
[39] Ibid.
[40] DPRA Jangan Melawan Mendagri, http://puspen.depdagri.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1807:dpra-jangan-melawan-mendagri&catid=60:aktual-media-elektronik&Itemid=76
[41] Soal Wakil Ketua III: DPRA Tetap Mengacu pada UUPA, http://www.gerakaceh.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=747
[42] Satu Kursi Pimpinan dari PAN, http://www.serambinews.com/news/view/26860/satu-kursi-pimpinan-dari-pan
Share:
Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten