Subscribe Us

Jumat, 28 Januari 2011

MENGAWAL CALON INDEPENDEN MENUJU AJANG PESTA POLITIK 2011 “Refleksi Keberadaan Calon Independen Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2011”


Ditulis Oleh:
Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.[1]
(Kadiv. Litbang Lembaga Analisis Qanun Hukum dan Perundang-Undangan)

A.    Pendahuluan

Ketentuan mengenai calon independen di Aceh diatur dalam Pasal 256 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Calon independen untuk pertama kali maju dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh yaitu pada tahun 2007. Pasal 256 UUPA menyebutkan bahwa “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
 Kekisruhan politik pasca pelaksanaan Pemilukada Aceh pada tahun 2007 terkait keberadaan calon independen adalah pelaksanaannya hanya diberlakukan satu kali setelah UUPA diundangkan. Oleh karena itu, dinilai oleh sejumlah pihak, pengaturan mengenai batas waktu keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh dinilai melanggar hak konstitusionalitas yang telah diatur dalam UUD 1945.
Dasar lainnya yang menjadi pertimbangan yaitu terkait dengan adanya amandemen UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah sebanyak dua kali dan terakhir yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004. Dalam ketentuan undang-undang tersebut pelaksanaan Pemilukada dengan keikutsertaan calon independen telah diakui secara nasional.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam putusan MK menyatakan Pasal 256 UUPA tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan meyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.[2] Berdasarkan putusan tersebut maka pintu demokrasi Aceh dalam pelaksanaan Pemilukada terbuka kembali untuk megikutsertakan calon independen.
Permasalahan dalam politik kian memanas ketika sebagian anggota DPRA dinilai menolak Putusan MK tersebut dengan dasar melanggar keistimewaan yang ada di Aceh dan juga UUPA khususnya.[3] Pernyataan demikian dinilai menutup pintu demokrasi di Aceh, sehingga mengakibatkan ketidaksinambungan dalam program legislasi daerah kedepan terkait revisi qanun tentang penyelenggaraan pemilukada.
Tulisan kecil ini akan menelaah lebih lanjut terkait persiapan yang dilakukan oleh lembaga daerah terkait pasca Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, seperti Pemerintah Aceh, DPRA dan juga KIP Aceh tentunya sebagai lembaga penyelenggara pilkada.

B.     Dampak Kekuatan Hukum Putusan MK dan Pengawalan Terhadap Calon Independen
Pasca keluarnya Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa lembaga yang terkait dan termuat dalam putusan tersebut “wajib” mengikuti dan menaati putusan tersebut. Keberadaan Pasal 256 UUPA sudah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi, sehingga pedoman pelaksanaan pilkada di Aceh kembali merujuk pada UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Taqwaddin mengungkapkan terkait putusan MK mempunyai sifat diantaranya:
1.                  Putusan final dan mengikat, akibatnya adalah putusan ini menjadi yurisprudensi. Sebagaimana diketahui, judicial review UU No. 32 Tahun 2004, yang pada awalnya merujuk pada UUPA mengenai calon idependen. Dimana penilaian MK saat itu calon independen merupakan jalan bagi setiap warga untuk ikut dipilih dalam pesta demokrasi (pilkada) dengan acuan UUPA. Sehingga lahirlah Putusan MK No. 5/PUU-V/2007. Kini pada saat judicial review Pasal 256 UUPA, MK kembali menjadikan Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 sebagai pertimbangan dalam judicial review UUPA.
2.                  Bersifat declatoir;
3.                  Tidak boleh retroaktif;
4.                  Bersifat erga omnes;
5.                  Pembatalan suatu UU, maka UU yang dibatalkan akan tidak berlaku sehingga UU yang lama berlaku kembali kembali.[4]

Implikasinya adalah Apabila suatu undang-undang yang diuji tidak ditindak lanjuti akan menjadikan aturan hukum tersebut tidak berjalan. Maka, secara yuridis formal, segala perundang-undangan dari undang-undang yang diuji (bersifat turunan) harus direvisi/ disesuaikan dengan putusan MK, khusus untuk ini maka diharuskan revisi qanun Pemilukada. Taqwaddin juga memaparkan bahwa Ada dua hal yang menjadikan putusan tentang calon independen tersebut jalan:
1.                  Dukungan publik terhadap putusan tersebut;
2.                  Kesadaran warga Negara akan ada kelalaian pembuat undang-undang sehingga perlu diberikan teguran
Atas dasar tersebut dan demi kelancaran berdemokrasi di Aceh, maka seluruh komponen masyarakat Aceh, dapat mengawal putusan MK tersebut guna menjaga kestabilan politik di Aceh.
C.    Bentuk Persiapan Lembaga Daerah Pasca Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010
Pemerintah Aceh menanggapi putusan MK tersebut dengan mengajukan langsung pada pihak legislatif Aceh (DPRA) draft rancangan qanun pilkada yang baru. Sebagaimana diketahu aturan hukum pelaksanaan pilkada terdahulu diatur dalam Qanun No. 2 Tahun 2004, hingga qanun tersebut perlu dicabut. Namun, M. Jafar menyebutkan bahwa ketentuan calon perseorangan dalam Qanun No. 2 Tahun 2004 dapat diberlakukan dalam pilkada 2011 ini.[5]
Merujuk pada putusan MK, maka pasangan calon perseorangan dapat mengikuti pilkada 2011. Terkait dengan penolakan sebagian anggota DPRA, M. Jafar mengungkapkan bahwa tidak mengetahui secara pasti prihal tersebut. Namun, Pemerintah Aceh berdasarkan petunjuk yang dikeluarkan oleh Gubernur menyatakan bahwa setiap pihak termasuk Pemerintah Aceh wajib mengikuti putusan MK dan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun dalam draft baru tidak banyak perubahan, namun hal yang terlihat berubah hanyalah pada penyelesaian sengketa hasil pilkada yang mana pada ketentuan sebelumnya diselesaikan oleh MA , kini dialihkan kepada MK sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2008. Strategi-strategi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2011, dan dalam rangka menuju proses Pilkada yang berkualitas di Aceh harus terus dilanjutkan setiap pemerintahan kabupaten dan pemerintahan kota untuk bekerja sama dengan KIP untuk membahas masalah penyelenggaraan Pilkada 2011 secara berkesinambungan.
Selanjutnya, persiapan yang dilakukan oleh KIP Aceh yaitu mengeluarkan peraturan KIP terbaru guna menyongsong pelaksanaan Pilkada. Sementara itu, KIP masih terkendala dalam penyusunan aturan baru. Zainal Abidin mengungkapkan bahwa dalam pelaksanaan Pilkada memerlukan peraturan/keputusan KIP dan Qanun. Namun, Peraturan/keputusan KIP dibuat berdasarkan Qanun. Secara logika hukumnya, kendala yang dihadapi KIP adalah tidak mungkin membuat peraturan maupun keputusan tanpa adanya qanun, dan qanun sendiri belum dibahas hingga saat ini.[6]
Bila ditinjau dari perundang-undangan, Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Qanun No. 3 Tahun 2005 dan Qanun No. 7 Tahun 2006 terkait dengan tahapan masih sebagai hukum positif Pemilukada di Aceh. Ketiga qanun tersebut terlihat mulai tertinggal seiring Pilkada ditarik menjadi rezim Pemilu melalui UU No.22 Tahun 2007. Beberapa perubahan dalam perundang-undangan Pemilukada belum terlihat dalam Qanun.
Dalam penyusunan peraturan dan keputusan KIP menurut Peraturan KPU No.09/2010, harus sudah dilakukan paling lama 210 hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Pemilukada. Kalaulah pemungutan suara diasumsikan awal Oktober 2011, maka berbagai peraturan/keputusan KIP harus sudah selesai 210 sebelum oktober 2011. Artinya awal Maret peraturan dan keputusan KIP harus sudah selesai.[7]
Terkait kendala dalam masa persiapan penyelenggaraan pilkada, Zainal Abidin juga mengungkapkan bahwa singkronisasi dan harmonisasi Qanun dengan peraturan perundang undangan masih kurang hingga sekarang ini.[8]

D.    Harapan Political Will Legislatif Aceh Dalam Pembahasan Prolegda Tentang Pilkada dan Keikutsertaan Calon Independen
Berdasarkan wacana yang berkembang, dengana adanya penolakan dari anggota DPRA terkait keberadaan calon independen pasca putusan MK No. 35/ PUU-VIII/2011, menjadikan kekhawatiran semua elemen dalam masyarakat Aceh. Kekhawatiran yang dimaksud paling utama adalah terkait pelaksanaan pembahasan revisi qanun yang telah disampaikan Pemerintah Aceh akan berlarut-larut.
Pembahasan aturan hukum daerah yang menjadi kewenangan legislatif daerah dinilai terlalu lama, sudah menjadi rahasia umum. Banyak pengamat hukum dan politik di Aceh yang menegur pihak legislatif karena terlalu lama dalam melakukan pembahasan, terutama pembahasan anggaran daerah. Oleh karena itu, kekhawatiran yang muncul prihal calon independen ini adalah pihak legislatif Aceh akan memperlambat pembahasan dan substansi qanun/ putusan MK tidak diakomodir dalam rancangan qanun baru.
Kepada para politisi di DPRA yang menolak putusan  MK, seyogianya menerima keputusan ini. Semoga tidak ada gerakan-gerakan atau upaya-upaya menghalangi keputusan MK tersebut. Sangat diharapkan agar seluruh lembaga terkait, dalam hal ini yaitu Pemerintah Aceh, DPRA dan juga KIP Aceh agar dapat “duek pakat” agar dapat segera merumuskan aturan daerah yang baru serta mengakomodir nilai-nilai dari putusan MK. Jalan bagi calon independen di Aceh dapat terbuka dengan adanya political will dari elemen Pemerintahan Aceh, sehingga pada pelaksanaan Pilkada 2011 dapat terselenggara dengan langsung.
Proses demokrasi di Aceh akan terselenggara dengan baik, bila keikutsertaan calon independen terlaksana. Baik partai politik, partai politik lokal, dan juga calon independen dapat bersaing dengan bersih dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Sehingga pesta demokrasi 2011 nantinya, akan menjadi pendidikan politik bagi rakyat Aceh dalam berdemokrasi lebih baik lagi. []

Referensi:
UUD 1945

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004

Qanun No. 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Qanun No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Qanun No. 2 Tahun 2004

Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Qanun No. 2 Tahun 2004

Putusan MK No. 35/ PUU-VIII/ 2011

M. Jafar, Calon Perseorangan Dalam Pilkada Aceh Pasca Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011

Taqwaddin, Kekuatan dan Sifat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011

Zainal Abidin, Persiapan Dan Kendala Dalam Pemilukada 2011, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011

Blog Harian Aceh, Pilkada Aceh Bakal Semarak, http://blog.harian-aceh.com/pilkada-aceh-bakal-semarak.jsp, diakses pada tanggal 29 Januari 2011


[1] Juga merupakan Tenaga Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan pada UPPT-MKU Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
[2] Lihat dalam putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010
[3] Blog Harian Aceh, Pilkada Aceh Bakal Semarak, http://blog.harian-aceh.com/pilkada-aceh-bakal-semarak.jsp, diakses pada tanggal 29 Januari 2011
[4] Taqwaddin, Kekuatan dan Sifat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
[5] M. Jafar, Calon Perseorangan Dalam Pilkada Aceh Pasca Putusan MK
No. 35/PUU-VIII/2010
, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
[6] Zainal Abidin, Persiapan Dan Kendala Dalam Pemilukada 2011, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.
Share:

Jumat, 21 Januari 2011

PENOLAKAN ANGGOTA DPRA TERHADAP PUTUSAN MK TENTANG PENGUJIAN UU NO. 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH TERKAIT KEBERADAAN CALON INDEPENDEN

Oleh:

Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.
(Ka. Litbang Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang-undangan)


A.    Pengantar

Ketentuan mengenai calon independen di Aceh diatur dalam Pasal 256 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh(UUPA). Calon independen untuk pertama kali maju dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh yaitu pada tahun 2007. Pasal 256 UUPA menyebutkan bahwa “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Kekisruhan politik pasca pelaksanaan Pemilukada Aceh pada tahun 2007 terkait keberadaan calon independen adalah pelaksanaannya hanya diberlakukan satu kali setelah UUPA diundangkan. Oleh karena itu, dinilai oleh sejumlah pihak bahwa pengaturan mengenai batas waktu keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh dinilai melanggar hak konstitusionalitas yang telah diatur dalam UUD 1945.
Dasar lainnya yang menjadi pertimbangan bahwa pemberlakuan calon independen hanya satu kali di Aceh bertentang dengan konstitusi, juga terkait dengan adanya amandemen UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah sebanyak dua kali dan terakhir yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004. Dalam ketentuan undang-undang tersebut pelaksanaan Pemilukada dengan keikutsertaan calon independen telah diakui secara nasional.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam putusan MK menyatakan Pasal 256 UUPA tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan meyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.[1] Berdasarkan putusan tersebut maka pintu demokrasi Aceh dalam pelaksanaan Pemilukada terbuka kembali untuk megikutsertakan calon independen.

B.     Pertimbangan Hukum Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010

Pasal 256 UU 11/2006 telah menghilangkan makna demokrasi yang sesungguhnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, karena dipilih secara “demokratis” dalam pasal tersebut bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara saja, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon. Oleh karenanya masyarakat harus mendapatkan akses yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam mengusung pasangan calon. Pembatasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 256 UU 11/2006 sama sekali tidak mencerminkan asas demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, karena Pasal 256 UU 11/2006 tersebut tidak memberikan peluang untuk calon perseorangan dalam Pemilukada di Provinsi Aceh setelah tahun 2006, dan dengan sendirinya akan menutup alternatif akan adanya pasangan calon yang lebih variatif dari berbagi sumber. Ketentuan Pasal a quo telah menghambat dan merugikan hak konstitusional bagi warga negara yang tidak mempunyai kendaraan politik atau yang tidak diusulkan oleh partai politik baik nasional ataupun lokal termasuk para Pemohon sebagai perseorangan warga negara.
Ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU 11/2006, menurut Mahkamah, membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan juga pemberian peluang dari pembentuk Undang-Undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Selain itu juga membuka peluang calon perseorangan dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga Aceh dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat daerah, serta mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa tidak memberikan kesempatan kepada calon perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan UUD 1945, padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007 calon perseorangan diakui dan diperbolehkan. Dalam putusan a quo, Mahkamah memberi pertimbangan bahwa Pasal 256 UU 11/2006 dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang justru dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan putusan a quo, pembentuk Undang-Undang kemudian mengakomodasi calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008). Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia;
Bahwa apabila memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan a quo dihubungkan dengan adanya perubahan hukum yang berlaku secara nasional mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada, maka keberlakuan norma Pasal 256 Undang-Undang a quo menjadi tidak relevan lagi. Apalagi jika pasal tersebut tetap dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu Komisi Independen Pemilihan (KIP Provinsi/Kabupaten/Kota) maka justru akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil kepada setiap orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang akan mencalonkan diri melalui calon perseorangan, karena hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945 menjadi terlanggar;
Bahwa Mahkamah tidak menafikan adanya otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, namun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Dari keseluruhan pertimbangan tersebut, MK memutuskan bahwa ketentuan Pasal 265 UUPA bertentangan dengan konstitusi. Pernyataan MK tersebut dibacakan didepan sidang terbuka untuk umum yang ditanda tangani oleh keseluruhan hakim MK.

C.    Realita Politik Aceh Pasca Putusan MK Terkait Calon Independen

Implikasi  putusan MK yang telah membatalkan Pasal 265 UUPA mengahdirkan suasana baru dalam politik Aceh menjelang Pemilukada. Refleksi hukum yang dapat dilihat adalah pergelaran akbar di Aceh untuk memperebutkan kursi Aceh satu, tidak hanya dilakukan oleh sejumlah kandidat dari partai politik, namun juga setiap orang yang mempunyai visi dan misi merubah Aceh lebih baik, dapat memajukan diri sebagai calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada.
Tanggapan sebagaimana disebutkan oleh elit politik DPRA, menolak putusan MK dengan penilaian bahwa pelaksanaan pemilukada dengan mengikutsertakan calon independen bertentangan dengan konstitusi. Selanjutnya juga disampaikan bahwa putusan tersebut mencederai nilai keistimewaan yang berlaku di Aceh. Dengan dikabulkannya uji materi pasal 256 UUPA yang mengatur calon perseorangan kepala daerah tentunya harus diterima oleh semua pihak, khususnya oleh mereka yang sebelumnya menyatakan sikap penolakan.[2]
Penolakan yang dilakukan oleh beberapa pihak DPRA, dapat dilihat sebagai langkah politik untuk menggagalkan keberadaan calon independen. Alasan bahwa calon independen dapat menghalangi status keistimewaan Aceh sebagaimana tertuang dalam UUPA dan juga UU No. 44 Tahun 1999, merupakan retorika politik yang dilakukan oleh sebagian pihak DPRA. Sebagaimana dipahami bahwa pernyataan penolakan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengann upaya hukum, dengan dasar putusan MK yang final dan mengikat,  maka tidak ada upaya hukum lainnya yang dapat dilakukan. Hal ini dapat ditindak- lanjuti dengan political will pemerintah Aceh dan juga pemerintah Indonesia dalam melaksanakan putusan MK.
Kepada kalangan di DPRA, Adli Abdullah menyatakan tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan penolakan terhadap putusan MK. Hal demikian karena putusan MK adalah the highest law in the land yaitu hukum tertinggi di negeri ini.[3] Fadjroel Rachman menyebutkan sebagai keberadaan calon independen pada pelaksanaan pemilukada merupakan kemenangan demokrasi, kemenangan kedaulatan rakyat di Indonesia. Dengan adanya keputusan tersebut, setidaknya, semua orang di Aceh memiliki hak yang sama di mata hukum untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin di Aceh. Aceh tidak akan lagi krisis pemimpin.[4]
Kehadiran calon independen merupakan corak khusus dari demokrasi di Aceh. Calon independen bisa memicu kebangkitkan dari gerakan masyarakat sipil di Aceh. Bentuk gerakan itu akan ditunjukkan dengan membangun social movement bersama seluruh rakyat Aceh yang berkeinginan melakukan restorasi terhadap sebuah keadaan menuju Aceh Baru yang gemilang. Dari kekhususan itulah, maka daerah lain mengikuti Aceh. Intinya Aceh telah menjadi episentrum perubahan sistem politik Indonesia.

D.    Kesimpulan

Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 merupakan sebuah pencapaian sukses dalam menegakkan demokrasi di Aceh. Pelaksanaan pemilukada tidak hanya dilakukan oleh calon dari partai politik nasional maupun partai politik lokal, namun juga dapat diikutsertakannya calon independen. Keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan pemilukada sebelumnya juga telah dapat dilakukan oleh daerah lainnya dengan adanya putusan MK sebelumnya tentang pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.
Penolakan yang terjadi yang disampaikan oleh sebagian pihak DPRA dapat dikatan sebagai manuver politik untuk menggagalkan keberadaan calon independen dalam pelaksanaan pemilukada. Hal tersebut dapat dilihat dengan jumlah keanggotaan yang dominan dari satu partai lokal. Urgensi tindak lanjut dari putusan MK hanyalah dengan adanya political will bagi pemerintah guna mengubah ketentuan Pasal 256 UUPA, dan juga bagi pemerintah Aceh dalam menindak lanjuti dengan menentukan ketentuan daerah yang baru tentang keberadaan calon independen.


E.     Saran

Kepada para politisi Partai Aceh (PA) juga seyogianya menerima keputusan ini. Semoga tidak ada gerakan-gerakan atau upaya-upaya menghalangi keputusan MK tersebut. Yakin dan percayalah, rakyat Aceh memiliki memori yang tidak pendek, dan bisa mengenali mana saja sosok yang layak memimpin Aceh. Biarlah soal siapa yang dipilih nanti menjadi keputusan final rakyat Aceh selaku pemilik kedaulatan (suara).
Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan juga Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh harus segera merumuskan hal-hal terkait keputusan MK, seperti Qanun soal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota. Jika waktu terlalu sempit, tak ada salahnya menggunakan kembali perangkat hukum (Qanun) lama saat Pilkada 2006 lalu.

F.     Referensi

UUD 1945
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda
Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010








[1] Lihat dalam Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, hal. 18-19
[2] http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=20406
[3] Ibid.
[4] http://blog.harian-aceh.com/pilkada-aceh-bakal-semarak.jsp
Share:
Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten