Subscribe Us

Selasa, 13 Desember 2011

DPRA Versus KIP ACEH


Oleh:

Zaki ‘Ulya, S.H.,M.H.
brazzo_jack@yahoo.com

(adalah Alumni Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, unsyiah dan juga sebagai Tenaga Pengajar pada UPT MKU-Unsyiah serta Tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Abulyatama)

A.      Pendahuluan
Konflik regulasi terkait pelaksanaan pemilukada di Aceh hingga saat ini masih menjadi perdebatan politik tingkat tinggi. Berbagai macam bentuk penyelesaian juga telah dilakukan, baik dengan pendekatan politik maupun pendekatan secara hukum. Isu utama yang diperdebatkan yaitu calon independen, lembaga yang berwenang dalam penyelesaian hasil pemilukada, serta surat ketetapan KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 juncto SK KIP Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh.
Penyelesaian tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011, yang pada inti amar putusannya menyebutkan memerintahkan KIP Aceh/KIP kabupaten/kota untuk melanjutkan tahapan pemilukada, menyatakan calon independen tidak bertentangan dengan MoU Helsinki, serta menegaskan bahwa MK adalah lembaga yang berhak dalam penyelesaian pemilukada.
Besar harapan dengan adanya putusan MK tersebut dapat menjadikan acuan untuk menghentikan konflik regulasi pemilukada serta pelaksanaan pemilukada dapat dilanjutkan tanpa kendala. Namun, realita yang terjadi di luar dugaan. Dimana pihak DPRA masih mempertanyakan keabsahan putusan MK tersebut tanpa menyebutkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011. Di satu sisi, KIP Aceh dan Pemerintah Aceh menyatakan siap melaksanakan putusan MK untuk melanjutkan tahapan pemilukada.
Perjuangan DPRA sendiri tidak hanya berhenti pada permohonan penyelesaian pemilukada saja. Namun, upaya tersebut dialihkan ke dalam permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi. Perkara ini didaftarkan dengan Nomor 6/SKLN-IX/2011.

B.       Definisi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Kajian Hukum Atas Legal Standing Antara DPRA vs KIP Aceh)
Pelaksanaan pemilukada di Aceh dapat diselenggarakan apabila telah disahkannya qanun tentang penyelenggaraan pemilukada. Proses pembahasan qanun ini terhenti, sehingga tidak mencapai kata sepakat antara legislatif dan eksekutif. Sehingga landasan hukum yang digunakan adalah qanun sebelumnya, yaitu Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penggunaan Qanun No. 7 Tahun 2006, disatu sisi pun masih menimbulkan perselisihan, yaitu ketentuan calon independen yang hanya berlaku satu kali pemilihan dan Mahkamah Agung merupakan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pilkada, pada masa tersebut. Namun, perselisihan tersebut telah diselesaikan dengan terbitnya Putusan Sela Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011, bertanggal 2 November 2011, serta putusan akhirnya yaitu No. 108/PHPU.D-IX/2011, bertanggal 24 November 2011.
Apabila dilihat menurut Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No.  8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat terhadap beberapa kewenangan absolut, termasuk putusan atas penyelesaian perselisihan hasil pemilu/pemilukada. Atas dasar tersebut, KIP secara tegas menentukan sikap untuk patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan melanjutkan tahapan pelaksanaan pemilukada Aceh.
Upaya pihak DPRA untuk menenegakkan UU No. 11 Tahun 2006 dan MoU, serta mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, dilakukan dengan mengalihkan permohonan menjadi permohonan sengketa kewenangan lembaga negara. Tepatnya dengan Perkara Nomor 6/SKLN-IX/2011. Substansi sengketa yang dimaksud pemohon yaitu KIP sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum dinilai telah melanggar kewenangan dalam menetapkan tahapan dan jadwal pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh tanpa berkoordinasi dengan DPRA.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf b juncto Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003, sebagaimana telah diubah dengan UU No.  8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5, 6, dan 7 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 menyebutkan bahwa Lembaga Negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945. Dan, Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. Secara harfiah jelas bahwa yang dimaksud dengan lembaga negara yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Artinya, yang berhak dan dapat menjadi pemohon maupun termohon adalah lembaga negara yang disebutkan secara konkret dalam UUD 1945. Sementara itu, kewenangan konstitusional merupakan kewenangan yang diberikan secara langsung oleh UUD 1945.
Bila ditinjau dari perselisihan antara DPRA dan KIP Aceh, maka dapat ditelusuri dengan meninjau status kelembagaan atas kedua lembaga tersebut. DPRA merupakan lembaga legislatif daerah yang disebutkan dengan jelas dalam UUD 1945. Dimana secara kelembagaan, DPRA merupakan bagian dari pemerintahan daerah yang disebutkan dalam Pasal 18, Pasal 18A UUD 1945. Sementara KIP Aceh yang mana disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KPU Nasional. Dan, KPU merupakan lembaga negara yang disebutkan dalam Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (5) UUD 1945. Walau kewenangan KIP Aceh ditentukan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KPU Nasional, maka secara kelembagaan antara KIP Aceh dan KPU merupakan satu kesatuan, sebagai lembaga negara yang juga kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu menyelenggarakan pelaksanaan pemilu dan pemilukada.
Walaupun antara kedua lembaga negara tersebut merupakan lembaga negara yang kewenangannya disebutkan maupun diberikan oleh UUD 1945, kedudukan hukum (legal standing) antara kedua lembaga tersebut dapat dinilai dari materi/muatan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon. Dan, penekanannya adalah materi/muatan permohonan tersebut merupakan kewenangan konstitusional yang disebutkan/diberikan oleh UUD 1945, dan mengakibatkan pihak pemohon tidak dapat menjalankan kewenangannya dikarenakan adanya intervensi dari termohon.
Perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut telah didaftarkan dengan nomor 6/SKLN-IX/2011, serta telah dilaksanakan sidang perdana pada tanggal 2 Desember 2011. Alasan utama yang dimohonkan oleh DPRA bahwa KIP tidak mempunyai wewenang dalam menetapkan aturan tahapan Pilkada jika bertentangan dengan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh terkait Pemilihan Kepala Daerah. KIP Aceh adalah lembaga yang diberikan kewenangan oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Karenanya, dalam mekanisme dan pelaksanaan tugasnya harus mengacu pada aturan Undang-Undang tersebut. Dan DPRA menyayangkan sikap  KPU Pusat mengeluarkan peraturan Pilkada dengan surat Nomor 235/2011 tanggal 2 Mei 2011 karena telah menganggu mekanisme pengaturan Pilkada di Aceh. (http://www.jpnn.com/read/2011/12/02/109903/KIP-Aceh-Diminta-Taati-Qanun-).
Alasan permohonan yang dimohonkan oleh DPRA (pemohon) disatu sisi justru tidak beralasan dan juga tidak tepat dalam bentuk sengketa kewenangan lembaga negara. Ketidak tepatan tersebut dapat dipahami dari materi/muatan permohonan tersebut. Dimana yang dimohonkan secara garis besar adalah pelaksanaan pemilukada yang mutlak merupakan kewenangan KIP Aceh. Sementara DPRA adalah lembaga legislatif daerah yang merupakan bagian dari pemerintahan daerah yang mempunyai kewenangan/fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, bukan menentukan pelaksanaan tahapan pemilukada. Sementara hubungan kedua lembaga tersebut hanya sebatas koordinasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 Ayat (1) huruf k UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berbunyi “melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”, juncto Pasal 59 huruf c UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu “menyampaikan laporan setiap tahap pelaksanaan pemilihan kepada DPRA untuk KIP Aceh dan DPRK untuk KIP kabupaten/kota dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat”.
Berdasarkan ketentuan dari kedua pasal tersebut, bahwa hubungan antara DPRA dan KIP Aceh hanya sebatas koordinasi terhadap pelaksanaan tahapan pemilukada dalam wujud evaluasi dan memberikan/menyampaikan laporan belaka, bukan diharuskan bertanggung jawab. Sebagai lembaga daerah yang ditentukan dan disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 2006, baik DPRA maupun KIP mempunyai kedudukan yang sama. Bukan sebagai atasan dengan bawahan. Logika hukum yang dapat dibangun adalah koordinasi tersebut terjadi dikarenakan dalam pelaksanaan tahapan pemilukada dilakukan dengan adanya penggunaan anggaran daerah yang merupakan salah satu fungsi DPRA dibidang anggaran. Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 65 Ayat (3) dan Ayat (4) UU No. 11 Tahun 2006. Maka, DPRA selaku lembaga penyedia anggaran menyalurkan anggaran kepada KIP Aceh sebagai lembaga pelaksana penyelenggaraan pemilukada, dan anggaran tersebut digunakan oleh KIP untuk keseluruhan tahapan pemilukada dari awal hingga selesai. Oleh karena itu, penekanannya adalah KIP sebagai lembaga yang menggunakan anggaran diharuskan memberikan laporan berkala kepada pemegang anggaran, yaitu DPRA terhadap keseluruhan tahapan pemilukada.
Kemudian dalam hal materi permohonan yang menyebutkan bahwa KIP Aceh tidak berwenang menetapkan tahapan pemilukada yang bertentangan dengan qanun. Dapat disimak dari asas perundang-undangan bahwa apa bila suatu rancangan qanun yang tidak mencapai kata sepakat antara legislatif dan eksekutif, maka qanun sebelumnya dapat digunakan sebagai dasar hukum. KIP menilai bahwa pelaksanaan tahapan pemilukada yang telah tertuang dalam beberapa surat keputusan dan ketetapan KIP telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk qanun. Maka dapat dibangun logika hukum yaitu dengan adanya Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, KIP telah menetapkan ketentuan tahapan pelaksanaan pemilukada. Kendala materi yang termuat dalam qanun tersebut dari calon independen hingga lembaga yang berwenang menyelesaikan pemilukada telah di tetapkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011.
Artinya, beberapa  ketentuan pasal dalam Qanun No. 7 Tahun 2006 terkait calon independen dan lembaga penyelesaian sengketa pemilukada dibaca dengan menyandingkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011. Maka, pelaksanaan pemilukada dengan adanya keikutsertaan calon independen dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang sebagai lembaga penyelesai sengketa pemilukada, telah terakomodir. Oleh karena itu, KIP sebagai lembaga yang berwenang menentukan jadwal dan tahapan pemilukada menggunakan Qanun No. 7 Taun 2006 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011, sebagai dasar hukum konkret.
Atas dasar analisa hukum di atas, bentuk kerugian kewenangan konstitusional yang dinilai oleh DPRA telah dihambat oleh KIP, tidak beralasan. Karena dari semua kewenangan maupun fungsi DPRA yang ditentukan dalam UU No. 11 Tahun 2006, tidak ada yang terhambat baik atas sikap dan kebijakan KIP yang telah menentukan jadwal tahapan pelaksanaan pemilukada.

C.      Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011 Merupakan Solusi Dalam Pelaksanaan Pemilukada Aceh
Berdasarkan hasil seminar yang di adakan oleh Asian Law Student’s Association (ALSA) pada Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala yang diselenggarakan pada tanggal 28 November 2011 menunjukkan bahwa kendala utama dalam pelaksanaan pemilukada hanya terletak pada anggaran. Hal tersebut diungkapkan oleh Husni Jalil, selaku pemateri dalam seminar tersebut.
Terdapat perbedaan penafsiran hukum dalam penggunaan anggaran atas tahapan pemilukada. Dimana kendala yang diperdebatkan yaitu penggunaan anggaran 2011 apakah bisa digunakan untuk tahun anggaran 2012, apabila pemilukada dilaksanakan pada februari 2012?. Artinya, seluruh instansi terkait diharapkan dapat segera merealisasikan pembahasan RAPBA tahun 2012 guna kelancaran pelaksanaan pemilukada. Hal tersebut ditujukan apabila penggunaan anggaran 2011 tidak dapat digunakan pada pelaksanaan pemilukada. (Husni Jalil: 2011 (4)).
Terkait dasar hukum dalam pelaksanaan pemilukada, telah jelas dan konkret disebutkan dalam Putusan No. 108/PHPU.D-IX/2011. Maka seharusnya, dari sudut regulasi peraturan perundang-undangan tidak ada permasalahan hukum lagi yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran. Bahkan salah satu pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menyebutkan MoU Helsinki sebagai bagian dari amar putusan.
Selain itu, dengan adanya Putusan No. 108/PHPU.D-IX/2011 tersebut. DPRA diharapkan “taat asas” dengan melaksanakan muatan putusan tersebut. Dan usulan penundaan pelaksanaan pemilukada pun dihentikan, dengan harapan tidak menimbulkan gejolak politik yang lebih panas lagi, dan masyarakat Aceh pun dapat menggunakan “hak dipilih dan hak memilih” sebagai wujud tujuan utama bagi otonomi di Aceh. []


DAFTAR PUSTAKA

Husni Jalil, Pro dan Kontra Pemilukada Aceh Ditinjau Dari Perspektif Hukum Tata Negara, Disampaikan Pada Seminar Nasional “Konflik Regulasi Pemilukada Aceh dan Solusinya”, Asian Law Student’s Association, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 28 November 2011

Anonimous, KIP Aceh Diminta Taati Qanun, http://www.jpnn.com/read/2011/12/02/109903/KIP-Aceh-Diminta-Taati-Qanun-, diakses pada tanggal 4 Desember 2011

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang No.  8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011
Share:
Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten