Subscribe Us

Sabtu, 04 Mei 2013

URGENSI PENETAPAN HUKUM JINAYAH DAN ACARA JINAYAH DI ACEH (Suatu Wujud Mengembalikan Moralitas Masyarakat Aceh)


OLEH:

ZAKI ‘ULYA, S.H.,M.H.[1]

Abstrak

Pasca 8 (delapan) tahun berlakunya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dengan diakomodirnya aturan tentang penegakan Syari’at Islam, Aceh menjadikan tatanan sosial masyarakat dalam bingkai norma agama. Guna memanifestasikan Syari’at Islam di Aceh, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa regulasi daerah (qanun) yang bertujuan penegakan Syari’at Islam, yaitu Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 terkait khamar, maisir, dan khalwat. Serta, ditetapkannya badan peradilan yang berwenang mengadili pelanggaran Syari’at Islam, yaitu Mahkamah Syar’iyah. Adapun tujuan pemberlakuan aturan hukum tersebut adalah terwujudnya Syari’at Islam secara kaffah. Realita yang dihadapi justru bertolak belakang dari cita-cita Syari’at Islam. Dimana begitu banyak pemberitaan saat ini terkait buruknya moralitas masyarakat. Hal tersebut diakibatkan karena beberapa faktor yang mendukung dan mengakibatkan minimnya moralitas masyarakat. Atas dasar tersebut, dinilai penetapan hukum jinayah dan acara jinayah sangat urgen diperlukan sehingga dapat meningkatkan kembali moralitas masyarakat Aceh sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

A.       Pendahuluan

Refleksi delapan tahun keberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UU PA), masih dinilai belum mampu mengakomodir cita-cita luhur, khususnya dalam hal penegakan Syari’at Islam. Diketahui bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi di Negara Indonesia yang diberikan status istimewa dan juga otonomi khusus. Secara hukum, keistimewaan Aceh diatur dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dimana disebutkan salah satu dari empat keistimewaan adalah adanya penegakan Syari’at Islam, selain bidang pendidikan, adat istiadat dan peran ulama. Sebagai provinsi yang dikenal sebagai “serambi mekkah”, Aceh menjadi daerah tolak ukur penegakan syari’at Islam secara kaffah.
Cita-cita mewujudkan syari’at Islam tersebut diwujudkan dalam aturan hukum daerah yang disebut dengan Qanun. Salah satu unsur dari pengaturan Syari’at Islam dalam aturan qanun adalah adanya unsur pidana islam (jinayah), yang bertujuan menimbulkan aspek “jera” bagi para pelaku pelanggar Syari’at Islam. Selain itu juga, dengan ditetapkannya lembaga peradilan yang berwenang mengadili dan menghukum pelaku pelanggar Syari;at Islam, yaitu Mahkamah Syar’iyah, menjadikan gambaran bahwa setiap unsur dalam pemerintahan Aceh berupaya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai Syari’at Islam.
Keberadaan beberapa qanun terkait penegakan Syari’at Islam, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat, masih dinilai belum mumpuni mencegah terjadinya pelanggaran syari’at Islam. Beberapa hal yang belum diatur dalam ketiga qanun itu antara lain tentang mekanisme penahanan terhadap pelanggar jinayat. Ketidakjelasan hal ini tentu akan membingungkan pihak Dinas Syariah Islam manakala saat seorang pelanggar syariah melarikan diri ketika penyelidikannya sedang diproses. Di samping itu ada pula interpretasi yang tidak jelas tentang istilah khalwat. Selama ini khalwat hanya diartikan sebagai berdua-duan di tempat yang gelap/sunyi. Lantas bagaimana jika khalwat itu dilakukan lebih dari dua orang? Dalam qanun yang ada sekarang, definisi khalwat ini masih rancu. Demikian juga halnya soal penjatuhan hukuman, jumlah dan bentuk hukuman yang akan diberikan
Sehingga atas dasar tersebut, pasca berlakunya UU PA, beberapa lembaga praktisi dan akademisi telah berupaya menyusun naskah akademis (NA) dari rancangan qanun jinayah maupun acara jinayah. Namun, hal tersebut hingga saat ini masih belum dapat diwujudkan walau dengan alasan belum masuk dalam agenda program legislasi daerah (Prolegda).
Merosotnya nilai moralitas warga Aceh sendiri, tidak hanya pada kalangan dewasa namun juga sampai pada kalangan remaja. Pergaulan bebas yang menjadi faktor awal terjadinya khalwat merebak dan merajalela dengan begitu leluasa. Sosialisasi dan penegakan Syari’at Islam melalui aparatur daerah/Wilayatul Hisbah dirasa masih belum kentara menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana dipaparkan oleh Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal mengaku prihatin terjadinya pergeseran moral, terutama di kalangan generasi muda, sebagai akibat perkembangan teknologi informasi yang tidak terkontrol.[2]
Untuk mengantisipasi pergeseran moralitas tersebut, pemerintah kota terus berupaya mengambil langkah-langkah konkret agar masyarakat maupun generasi muda tidak tergerus sisi negatif dari pesatnya era globalisasi tersebut. Selain itu juga terdapat beberapa pelencengan yang terjadi di Aceh sebagai cerminan pergeseran moral, yaitu adanya bisnis penjaja seks komersil. Hal tersebut diungkapkan oleh Konselor di BP3A Aceh, Endang Setianingsing.[3] Pada pemberitaan yang sama, ditambahkan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh, Dahlia bahwa kecendrungan bisnis/arisan seperti ini melibatkan kalangan remaja yang masih duduk di tingkat sekolah menengah pertama hingga mahasiswa.[4]
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh melansir data tingkat kekerasan seksual yang dialami anak Banda Aceh sepanjang 2012. Pada tahun itu, terdapat 77 kasus anak yang mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual. BP3A juga menerima laporan dan mendata sebanyak 169 perempuan di Banda Aceh yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan penganiayaan.[5]
Atas dasar tersebut di atas, banyak kalangan praktisi, akademisi hingga sekumpulan organisasi mahasiswa sendiri sangat berharap kepada pihak legislatif dan eksekutif Aceh untuk secepatnya membahas dan mengesahkan Rancangan Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Badan Legislasi DPRA telah memasukkan Rancangan Qanun Jinayat dalam program legislasi prioritas 2013.[6] Sehingga penetapan rancangan kedua qanun untuk segera disahkan adalah suatu kepentingan yang harus dipenuhi (urgen) guna mengembalikan kembali nilai moral masyarakat Aceh berdasarkan norma-norma yang ada.

B.       Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas dan melihat data yang telah ditunjukkan maka dapat ditentukan beberapa identifikasi masalah yang menjadi lingkup pembahasan ini, yaitu:
1.      Seperti apakah kedudukan qanun jinayah dan acara jinayah dalam mengembalikan/memperbaiki nilai moralitas masyarakat Aceh terkait penegakan Syari’at Islam?
2.      Bagaimanakah nilai urgensi pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah dalam kaitannya dengan penegakan Syari’at Islam di Aceh?

C.       Tujuan Pembahasan
Berdasarkan masalah yang ditentukan di atas, maka tujuan pembahasan ini meliputi:
  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan qanun jinayah dan acara jinayah dalam mengembalikan/memperbaiki nilai moralitas masyarakat Aceh terkait penegakan Syari’at Islam
  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan nilai urgensi pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah dalam kaitannya dengan penegakan Syari’at Islam di Aceh.


 D.      Kerangka Pikir
1.    Teori Legal System

Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sekaPli disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure). Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[7]
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Dan, Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).[8]  Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.[9]  Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum.  Tidak ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.[10]
Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.

2.      Konseptual Penegakan Hukum

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.[11]
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.[12]
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.  Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.[13]


E.       URGENSI PENGESAHAN QANUN JINAYAH DAN ACARA JINAYAH DI ACEH
1.         Kedudukan Qanun Jinayah Dan Acara Jinayah Dalam Mengembalikan/Memperbaiki Nilai Moralitas Masyarakat Aceh Terkait Penegakan Syari’at Islam

Qanun hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat delegasi suatu undang-undang dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata lain, Qanun hanya dapat mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang dalam penyelenggaraan otonomi khusus.[14]
Seperti yang diketahui saat ini, adanya sebuah Qanun yang keberadaannya memicu pro dan kontra dalam masyarakat yakni Qanun hukum jinayat. Ada pihak yang sangat mendukung dan banyak pula pihak yang menolak Qanun hukum jinayat dengan alasan-alasan masing-masing. Meskipun keberadaannya demikian kenyataannya  Qanun hukum Jinayat ini telah disahkan secara sepihak oleh DPRA meskipun Pemerintah Aceh belum menyetujui materi yang diatur dalam Rancangan Qanun tersebut.
Selain itu, kegagalan pengesahan rancangan qanun tersebut disebabkan masih kurangnya nilai partisipasi publik serta masih dimuatnya ketentuan rajam, yang dinilai terlalu memberatkan. Sehingga pembahasan rancangan qanun tersebut tertunda hingga saat ini. Namun, jika melihat realita yang terjadi menurut pemberitaan media elektronik dan hasil temuan dari lembaga daerah, sudah selayaknya hukum jinayah disahkan secepat mungkin.
Penetapan rancangan qanun jinayah dan acara jinayah yang telah dinilai sangat dibutuhkan guna mengakomodir prihal pelanggaran syari’at Islam secara konkrit. Hal tersebut ditekankan oleh Sulaiman Abda bahwa Kalau tidak bisa diselesaikan dalam masa 2013, maka akan berdampak langsung kepada masyarakat. Masyarakat tidak percaya lagi kepada wakilnya yang duduk di lembaga legislatif jika prolega ini tidak bisa dituntaskan.[15] Jelas bahwa keberadaan qanun tersebut dibutuhkan dari bidang politik maupun hukum sendiri.
Menyadari implementasi syari’at Islam di Aceh semakin melemah, sebanyak 33 ormas Islam yang tergabung dalam Forum Komunikasi untuk Syariat (Fokus) mengumpulkan tanda tangan masyarakat sebagai bukti dukungan agar Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah segera diterapkan di Aceh.[16] Artinya, seluruh lapisan masyarakat yang peduli dengan syari’at Islam dan beberapa ormas Islam akan memberikan pengawalan hingga dalam tahun 2013, qanun tersebut sah sebagaimana diharapkan.
Sebagaimana ditambahkan oleh Anggota Badan Legislasi DPR Aceh Nurzahri menuturkan, dari 21 judul rancangan itu, 6 di antaranya merupakan inisiatif legislatif dan 15 sisanya merupakan usulan eksekutif. 21 Raqan tersebut yakni Raqan Perubahan atas Qanun Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan anggota DPRA, Raqan perubahan atas Qanun Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Raqan Aceh tentang Ketenagakerjaan, Raqan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Raqan tentang Syariat Islam, Raqan perubahan atas Qanun Nomor Tahun 2009 tentang Penanaman Modal, Raqan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Raqan tentang perubahan atas Qanun Nomor 2 tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian dana bagi hasil Migas dan penggunaan dana Otsus, Raqan Pengelolaan Pertambangan dan Mineral Batubara, Raqan Kepariwisataan, dan Raqan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh, Raqan tentang Bendera dan Lambang, Raqan tentang Himne Aceh, Raqan Kesejahteraan Sosial, Raqan Aceh Pengelolaan Barang Milik Aceh, dan Raqan tentang Retribusi Jasa Usaha, Raqan Retribusi Perizinan tertentu, Raqan Retribusi Jasa Umum, dan Raqan Penyertaan Modal Pemerintah Aceh pada Perusahaan Daerah BPR Mustaqim Sukamakmur..[17]
Terkait dengan kebobrokan moral yang terjadi di Aceh merupakan manifestasi lemahnya pengawalan maupun penegakan syari’at Islam. Menurut pengertian ‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Dapat ditekankan bahwa jika moral keseluruhan buruk maka cerminannya adalah secara keseluruhan masyarakat telah jauh dari perbuatan baik yang dilandaskan oleh agama.
Tentu secara spesifik hal tersebut sangat berbahaya. Berbagai pandangan, baik tulisan maupun pemberitaan pada media elektronik adalah cerminan terhadap gejolak yang terjadi di dalam masyarakat. Baik buruknya masyarakat, dilandasi dengan tegaknya perbuatan yang secara adab dan juga adat diterima maupun ditolak. Sementara itu, prihal kasus-kasus hukum baik dari pelanggaran syari’at Islam hingga pidana umum dalam bentuk pelecehan seksual marak terjadi merupakan suatu realita yang sebenarnya dapat diminimalisir dengan syari’at Islam.
Penekanan budaya barat yang cenderung secara “frontal” masuk dalam budaya timur juga menjadi salah satu sebab. Kecanggihan teknologi tidak dibarengi dengan adanya pendidikan agama yang mumpuni. Sehingga terjadi penyalah gunaan sarana teknologi yang seharusnya mendukung informasi dan kinerja, justru menjerumuskan moral masyarakat. Bahkan dalam hal kebudayaan yang berbeda tersebut, seharusnya dapat “dijaring” terlebih dahulu sebelum diadopsi dalam budaya Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila.
Dalam kaitannya pergaulan bebas yang terjadi pada kalangan remaja, baik tingkat siswa menengah hingga mahasiswa merupakan perwujudan dari kesalahan mengadopsi budaya barat. Sebagai negara Pancasila dan daerah Aceh yang berlandaskan Syari’at Islam sudah tentu budaya tersebut tidak sesuai di Aceh. Namun, prilaku menyimpang tersebut marak terjadi dan untuk saat ini seharusnya dilakukan pembatasan, baik secara hukum maupun secara sosial.
Pembatasan secara hukum adalah mengesahkan rancangan qanun jinayah dan acara jinayah. Pembatasan secara sosial dilakukan dengan pendidikan agama yang dimulai dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga dapat menentukan wujud etika dan pengetahuan anak untuk dapat bersikap dalam lingkungannya.[18]
Sebagaimana pengertian hukum yang dipaparkan oleh Hans Kelsen bahwa hukum merupakan norma yang memuat sanksi yang tegas.[19] Ketegasan hukum dalam bentuk sanksi mempunyai arti adalah untuk membuat efek jera bagi pelanggar hukum. Syari’at Islam adalah tolak ukur hukum di Aceh, yang seharusnya diakomodir secara konkrit (hukum jinayah dan acara jinayah), sehingga setiap pelanggaran syari’at Islam dapat diberikan sanksi tegas dan jera, sehingga tidak melakukan perbuatan yang sama dikemudian hari.
Hingga pada intinya adalah keberadaan hukum jinayah dan acara jinayah adalah untuk ketertiban masyarakat dan menegakkan kembali nilai moral sesuai dengan kaedah agama. Sehingga penegakan syari’at Islam secara kaffah dapat diwujudkan di bumi serambi mekkah.

2.         Nilai Urgensi Pengesahan Qanun Jinayah Dan Acara Jinayah Dalam Kaitannya Dengan Penegakan Syari’at Islam Di Aceh

Berdasarkan teori legal system di atas, maka guna mencapai ketertiban hukum adalah dengan adanya hubungan baik dari ketiga komponen hukum yaitu budaya hukum, struktur hukum dan substansi hukum. Prihal budaya hukum yang dimaksud adalah pada aspek aturan hukum yang sesuai dengan kondisi maupun budaya masyarakat. Artinya, suatu hukum yang telah disahkan secara tertulis masih mengakomodir aturan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kemudian terkait dengan struktur hukum diketahui bahwa di Aceh segala pelaksanaan tatanan hukum dilandasi dengan aturan daerah yang disebut dengan qanun serta ditegakkan oleh aparatur daerahnya. Dan dilihat dari substansi maupun muatan dari pengaturannya yang berimbang dan proporsional dengan kepentingan masyarakat.
Masyarakat Aceh dalam beberapa priode ini telah dinilai dari aspek moral yang merosot. Baik akibat lemahnya pengawasan dan pengawalan dari pemerintah maupun terjadinya akulturasi budaya yang dinilai salah. Sehingga banyak sekali perbuatan masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana mestinya.
Maraknya pelanggaran hukum baik dalam bentuk pergaulan bebas maupun lainnya adalah bentuk kelemahan struktur hukum di Aceh baik akibat sosial maupun politik daerah, maupun akibat kekurang patuhan masyarakat terhadap aturan syari’at Islam yang telah ada. Sehingga dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih konkrit mengatur dan lebih mampu menimbulkan aspek jera pada masyarakat.
Sebagai suatu perbuatan yang dinilai bertentangan dengan hukum (pelanggaran) maka sudah sepatutnya diproses berdasarkan hukum, guna mendapatkan kepastian hukum, keadilan dan ketertiban hukum. Lembaga yang berwenang dalam mengadili pelanggar syari’at Islam di Aceh adalah Mahkamah Syar’iyah.
Menurut Pasal 3 Ayat (1) Keppres No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah Dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan “kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun”. Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa dalam melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Syar’iyah membutuhkan aturan hukum lebih lanjut guna mengetahui ruang lingkup kewenangan dalam mengadili pelanggaran dalam bidang ibadah maupun syiar Islam.
Semenjak disahkannya tiga qanun bidang pelanggaran syari’at Islam, yaitu khamar, maisir dan khalwat, Mahkamah Syar’iyah hanya melaksanakan sidang menurut hukum acara yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa jenis hukum meliputi hukum materiil dan hukum formil. Ketiga qanun yang mencakup pelanggaran syari’at Islam adalah hukum materiil sementara itu hukum formil adalah hukum acaranya. Maka atas dasar tersebut, dibutuhkan qanun acara jinayah.
Dapat dipahami bahwa sistem Hukum Pidana Islam (Jinayah) mengandung beberapa jenis sanksi pidana yang antara lain: qisas, hadd dan ta’zir. Qanun Jinayat Aceh hanya memberlakukan sebagian hukum hadd dan ta’zir. Hukuman hadd diaplikasikan dalam ketentuan pelanggaran khamar, dan hukuman ta’zir diberlakukan bagi pelaku khalwat, maisir. Ketiga perkara hukum jinayat tersebut telah diqanunkan ke dalam tiga konsepsi Qanun Hukum Jinayat yaitu: 1). Qanun Jinayat No.12 Tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), 2). Qanun Jinayat No.13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi), dan 3). Qanun Jinayat No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Terkait struktur hukum lainnya selain lembaga peradilan agama/Mahkamah Syar’iyah, dapat dilihat juga aparat penegak hukum lainnya yaitu Wilayatul Hisbah. Berdasarkan Pasal 244 UU PA menyebutkan “Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun Syar’iyah dalam pelaksanaan syari’at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja”. Cita-cita pembentukan satuan Polisi Wilyatul Hisbah semata-mata adalah guna menegakkan qanun syari’at Islam. Pada awal terbentuknya satuan ini ditempatkan di bawah Dinas Syari’at Islam, namun akhirnya dileburkan bersama satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan Qanun No. 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi.
Pembentukan Wilayatul Hisbah yang pada awalnya disambut dengan tangan terbuka, namun pada saat dileburkan dengan satuan Polisi Pamong Praja, penilaian masyarakat sendiri telah berubah. Bahkan banyak kritikan terhadap kinerja Wilayatul Hisbah pasca dileburkan tersebut. Sebagaimana tujuan awal adalah penegakan dan pengawalan syari’at Islam, keberadaan Wilayatul Hisbah, baik aparaturnya banyak yang dinilai melenceng dari syari’at Islam.
Sudah tentu prilaku aparatur Wilayatul Hisbah seharusnya sesuai dengan ketentuan qanun syari’at Islam sendiri. Sehingga masyarakat dapat menilai bahwa aparatur patuh hukum maka begitu juga dengan masyarakat. Dimana seharusnya perilaku aparatur tersebut juga merupakan hukum, selain hukum dalam arti sebenarnya.
Perbaikan tatanan tidak hanya pada masyarakat belaka, tetapi juga pada aspek prilaku aparatur penegak hukum sendiri. Dalam kaitannya dengan qanun jinayah dan acara jinayah, merupakan sebuah tatanan hukum yang baru guna alat mengontrol sosial (law as a tool of social enginering).[20] Tujuan pengontrolan tersebut tentu untuk menciptakan ketertiban hukum. Dimana setiap prilaku masyarakat sesuai dengan kaedah hukum yang ada. Khususnya syari’at Islam.
Seperti diketahui, hukum sebagai pengendalian sosial dimungkinkan untuk merumuskan proposisi-proposisi yang menjelaskan tentang kuantitas hukum dan gaya hukum pada setiap tempat. Masing-masing dari proposisi ini menunjukkan hubungan antara hukum dan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial, yaitu: statifikasi, morfologi, kultur, organisasi dan sosial control.
Secara lebih umum, kuantitas hukum diketahui dan mencakup sejumlah larangan, kewajiban dan standar-standar lain dimana orang merupakan subjeknya. Kuantitas hukum beraneka ragam dari waktu ke waktu, antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Keanekaragaman kuantitas hukum juga terjadi dengan adanya perbedaan person yang mengajukan tuntutan atau gugatan, adanya perbedaan sosok penegak hukum yang menangani suatu kasus hukum.
Dengan adanya ketentuan jinayah yang terakomodir konkrit maka secara formil, Mahkamah Syar’iyah dapat menjalankan kewenangannya dalam mengadili dan memutuskan perkara jinayah. Serta terkait kewenangan Wilayatul Hisbah terakomodir lengkap hingga proses pengumpulan alat-alat bukti yang jelas. Sehingga dengan demikian maka tujuan pengesahan dari qanun jinayah dan acara jinayah untuk penegakan syari’at Islam akan sangat berarti dalam mengembalikan nilai moral masyarakat sesuai dengan aturan yang berlaku.


F.        Kesimpulan

1.         Berdasarkan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat belakangan ini, dengan ditandai buruknya moral masyarakat khususnya kalangan remaja. Sehingga pelanggaran syari’at Islam marak terjadi, maka dibutuhkan tindakan cepat dari pemerintah, salah satunya dengan mengesahkan qanun jinayah dan acara jinayah. Tujuan keberadaan dari qanun jinayah dan jinayah selain mengisi dan menguatkan aturan hukum sebelumnya, juga sebagai perwujudan untuk implementasi dari efektifitas penegakan syari’at Islam di Aceh.
2.         Adapun nilai urgensi dari pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah adalah untuk dapat disegerakannya penertiban hukum dalam masyarakat, baik moralitas dan budaya masyarakat sehingga sesuai dengan kaedah yang seharusnya. Selain itu  juga untuk mengisi hukum formil bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam bidang hukum Islam. Menunda pengesahan dan pemberlakuannya justru sangat menghambat upaya-upaya menerapkan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh ini.





DAFTAR PUSTAKA

A.       Buku

Abdul Kadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, PT. Citra Aditya, Bandung, 2008

Donald Black, “Behavior of Law”, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN, 2004

Khirani Arifin, et.al.,”Analisi Kebijakan Publik”, PUSHAM. Banda Aceh, 2009

Lawrence Friedman, “American Law”, W.W. Norton & Company, London, 1984

Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002

Solly Lubis M., “Serba-serbi Politik dan Hukum”, Mandar Maju, Bandung, 1989

Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962


B.       Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah Dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam

Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar

Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir

Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat

Qanun No. 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi.


C.       Internet



http://www.acehkita.com/berita/selama-2012-77-anak-alami-kekerasan-seksual/




www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=hukum jinayah di aceh&source=web&cd=2&ved=0CC8QFjAB&url=http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013&ei=6OY6UYfZJseHrAf42YFI&usg=AFQjCNHdeqac7Vl05vDnqphIRgIthNmNhA&bvm=bv.43287494,d.bmk&cad=rja


[1] Adalah tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur, Sigli
[2] http://www.bisnisaceh.com/umum/wakil-walikota-banda-aceh-prihatin-pergeseran-moral-generasi-muda/index.php
[3] http://news.okezone.com/read/2013/03/08/340/772984/arisan-tante-girang-berhadiah-berondong-juga-ada-di-aceh
[4] Ibid.
[5] http://www.acehkita.com/berita/selama-2012-77-anak-alami-kekerasan-seksual/
[6] http://www.acehkita.com/berita/kisma-desak-dpra-segera-sahkan-qanun-jinayat/
[7] Lawrence Friedman, “American Law”, W.W. Norton & Company, London, 1984, hal. 6
[8] Ibid., hal. 7
[9] Donald Black, “Behavior of Law”, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976, hal. 2.
[10] Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[11] Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah geopolitik; (2) kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik; (3) kesatuan cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah ekopolitik; (4) kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik; dan (5) kesatuan sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya adalah kratopolitik. M. Solly Lubis, “Serba-serbi Politik dan Hukum”, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 48 dan 94-96.
[12] Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002, hal. 380.
[13] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hal. 2.
[14] Khirani Arifin, et.al.,”Analisi Kebijakan Publik”, PUSHAM. Banda Aceh, 2009, hal. 15.

[15] http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013
[16]http://www.analisadaily.com/news/read/2013/03/05/112133/50_ribu_warga_bubuhkan_tandatangan_dukung_qanun_jinayah/#.UTrn8tZTCSo
[17] www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=hukum jinayah di aceh&source=web&cd=2&ved=0CC8QFjAB&url=http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013&ei=6OY6UYfZJseHrAf42YFI&usg=AFQjCNHdeqac7Vl05vDnqphIRgIthNmNhA&bvm=bv.43287494,d.bmk&cad=rja
[18] Abdul Kadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, PT. Citra Aditya, Bandung, 2008, hal. 16
[19] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN, 2004, hal. 12
[20] Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 43
Share:
Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten