OLEH:
ZAKI ‘ULYA, S.H.,M.H.[1]
Abstrak
Pasca 8 (delapan) tahun berlakunya UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dengan diakomodirnya aturan
tentang penegakan Syari’at Islam, Aceh menjadikan tatanan sosial masyarakat
dalam bingkai norma agama. Guna memanifestasikan Syari’at Islam di Aceh,
Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa regulasi daerah (qanun) yang
bertujuan penegakan Syari’at Islam, yaitu Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003
terkait khamar, maisir, dan khalwat. Serta, ditetapkannya badan peradilan yang
berwenang mengadili pelanggaran Syari’at Islam, yaitu Mahkamah Syar’iyah.
Adapun tujuan pemberlakuan aturan hukum tersebut adalah terwujudnya Syari’at
Islam secara kaffah. Realita yang dihadapi justru bertolak belakang dari
cita-cita Syari’at Islam. Dimana begitu banyak pemberitaan saat ini terkait
buruknya moralitas masyarakat. Hal tersebut diakibatkan karena beberapa faktor
yang mendukung dan mengakibatkan minimnya moralitas masyarakat. Atas dasar
tersebut, dinilai penetapan hukum jinayah dan acara jinayah sangat urgen
diperlukan sehingga dapat meningkatkan kembali moralitas masyarakat Aceh sesuai
dengan norma-norma yang berlaku.
A.
Pendahuluan
Refleksi delapan
tahun keberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya
disebut UU PA), masih dinilai belum mampu mengakomodir cita-cita luhur,
khususnya dalam hal penegakan Syari’at Islam. Diketahui bahwa Aceh merupakan
salah satu provinsi di Negara Indonesia yang diberikan status istimewa dan juga
otonomi khusus. Secara hukum, keistimewaan Aceh diatur dalam UU No. 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dimana disebutkan salah satu
dari empat keistimewaan adalah adanya penegakan Syari’at Islam, selain bidang
pendidikan, adat istiadat dan peran ulama. Sebagai provinsi yang dikenal
sebagai “serambi mekkah”, Aceh menjadi daerah tolak ukur penegakan syari’at
Islam secara kaffah.
Cita-cita
mewujudkan syari’at Islam tersebut diwujudkan dalam aturan hukum daerah yang
disebut dengan Qanun. Salah satu unsur dari pengaturan Syari’at Islam dalam
aturan qanun adalah adanya unsur pidana islam (jinayah), yang bertujuan menimbulkan aspek “jera” bagi para pelaku
pelanggar Syari’at Islam. Selain itu juga, dengan ditetapkannya lembaga
peradilan yang berwenang mengadili dan menghukum pelaku pelanggar Syari;at
Islam, yaitu Mahkamah Syar’iyah, menjadikan gambaran bahwa setiap unsur dalam
pemerintahan Aceh berupaya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai Syari’at
Islam.
Keberadaan
beberapa qanun terkait penegakan Syari’at Islam, yaitu Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at
Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang
Maisir, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat, masih dinilai belum
mumpuni mencegah terjadinya pelanggaran syari’at Islam. Beberapa hal yang belum
diatur dalam ketiga qanun itu antara lain tentang mekanisme penahanan terhadap
pelanggar jinayat. Ketidakjelasan hal ini tentu akan membingungkan pihak Dinas
Syariah Islam manakala saat seorang pelanggar syariah melarikan diri ketika
penyelidikannya sedang diproses. Di samping itu ada pula interpretasi yang tidak
jelas tentang istilah khalwat. Selama ini khalwat hanya diartikan sebagai
berdua-duan di tempat yang gelap/sunyi. Lantas bagaimana jika khalwat itu dilakukan
lebih dari dua orang? Dalam qanun yang ada sekarang, definisi khalwat ini masih
rancu. Demikian juga halnya soal penjatuhan hukuman, jumlah dan bentuk hukuman
yang akan diberikan
Sehingga atas
dasar tersebut, pasca berlakunya UU PA, beberapa lembaga praktisi dan akademisi
telah berupaya menyusun naskah akademis (NA) dari rancangan qanun jinayah
maupun acara jinayah. Namun, hal tersebut hingga saat ini masih belum dapat
diwujudkan walau dengan alasan belum masuk dalam agenda program legislasi
daerah (Prolegda).
Merosotnya nilai
moralitas warga Aceh sendiri, tidak hanya pada kalangan dewasa namun juga
sampai pada kalangan remaja. Pergaulan bebas yang menjadi faktor awal
terjadinya khalwat merebak dan merajalela dengan begitu leluasa. Sosialisasi
dan penegakan Syari’at Islam melalui aparatur daerah/Wilayatul Hisbah dirasa
masih belum kentara menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana
dipaparkan oleh Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal mengaku
prihatin terjadinya pergeseran moral, terutama di kalangan generasi muda,
sebagai akibat perkembangan teknologi informasi yang tidak terkontrol.[2]
Untuk mengantisipasi
pergeseran moralitas tersebut, pemerintah kota terus berupaya mengambil
langkah-langkah konkret agar masyarakat maupun generasi muda tidak tergerus
sisi negatif dari pesatnya era globalisasi tersebut. Selain itu juga terdapat
beberapa pelencengan yang terjadi di Aceh sebagai cerminan pergeseran moral,
yaitu adanya bisnis penjaja seks komersil. Hal tersebut diungkapkan oleh Konselor
di BP3A Aceh, Endang Setianingsing.[3]
Pada pemberitaan yang sama, ditambahkan oleh Kepala Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh, Dahlia bahwa kecendrungan
bisnis/arisan seperti ini melibatkan kalangan remaja yang masih duduk di
tingkat sekolah menengah pertama hingga mahasiswa.[4]
Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh melansir data tingkat
kekerasan seksual yang dialami anak Banda Aceh sepanjang 2012. Pada tahun itu,
terdapat 77 kasus anak yang mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual. BP3A
juga menerima laporan dan mendata sebanyak 169 perempuan di Banda Aceh yang mengalami
tindak kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan,
dan penganiayaan.[5]
Atas dasar
tersebut di atas, banyak kalangan praktisi, akademisi hingga sekumpulan
organisasi mahasiswa sendiri sangat berharap kepada pihak legislatif dan
eksekutif Aceh untuk secepatnya membahas dan mengesahkan Rancangan Qanun
Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Badan Legislasi DPRA telah memasukkan
Rancangan Qanun Jinayat dalam program legislasi prioritas 2013.[6]
Sehingga penetapan rancangan kedua qanun untuk segera disahkan adalah suatu
kepentingan yang harus dipenuhi (urgen)
guna mengembalikan kembali nilai moral masyarakat Aceh berdasarkan norma-norma
yang ada.
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas dan melihat data yang telah ditunjukkan maka dapat ditentukan
beberapa identifikasi masalah yang menjadi lingkup pembahasan ini, yaitu:
1.
Seperti
apakah kedudukan qanun jinayah dan acara jinayah dalam
mengembalikan/memperbaiki nilai moralitas masyarakat Aceh terkait penegakan
Syari’at Islam?
2.
Bagaimanakah
nilai urgensi pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah dalam kaitannya dengan
penegakan Syari’at Islam di Aceh?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
masalah yang ditentukan di atas, maka tujuan pembahasan ini meliputi:
- Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan qanun jinayah dan acara jinayah dalam mengembalikan/memperbaiki nilai moralitas masyarakat Aceh terkait penegakan Syari’at Islam
- Untuk mengetahui dan menjelaskan nilai urgensi pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah dalam kaitannya dengan penegakan Syari’at Islam di Aceh.
D.
Kerangka Pikir
1.
Teori
Legal System
Masalah
penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya
masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam
kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang
sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan
hukum yang formil.
Penegakan
hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin
sekaPli disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan
perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena
hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu
dalam berbagai unsur sistem hukum. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan
(codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang
luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat (living law) dan
budaya hukum (legal structure). Menurut
Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[7]
Struktur
hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga
terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah
mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Dan, Budaya hukum adalah
meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai
pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan
perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang
bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa
budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati
yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is
inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).[8] Setiap masyarakat, negara dan komunitas
mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini
tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang
sama.
Hukum
adalah kontrol sosial dari pemerintah (law
is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang
mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang
buruk.[9] Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan
atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap
perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum. Tidak ada cara lain untuk memahami sistem
hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan keputusan
pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau
karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.[10]
Hukum
akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan
apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain
pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai
norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan
bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan
undang-undang.
Dalam
praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada
undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap
orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan
maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan
kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum,
termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan
hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian
hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri
dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap
norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak
mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh
atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma
hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga
timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum.
Sedangkan
“kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya
kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat
waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat
menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan
mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum
tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan
perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada
bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan
hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum
tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum
diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum
dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para
penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang
ada dalam undang-undang (law in book’s),
akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di
sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan
budaya hukum (legal culture), untuk
memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat
terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
2.
Konseptual
Penegakan Hukum
Penegakan
hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility)
bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat
kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu
adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum
tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam
kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian
hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa
menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini
memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis,
mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan
masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan
yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya
kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya
mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan
undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak
memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan
dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui
pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus
dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan
dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan
kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari
dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai
sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai
alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan
dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa
cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan
perasaan keadilan hukum masyarakat.[11]
Substansi
undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk
itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan
sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua
peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh
departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan
ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan
undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat,
bahkan sering bertentangan.
Pada
taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja
tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum
yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional
pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya
dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini.
Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri
maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral
tradisional.[12]
Dalam
pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak
identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan.
Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.[13]
E.
URGENSI
PENGESAHAN QANUN JINAYAH DAN ACARA JINAYAH DI ACEH
1.
Kedudukan
Qanun Jinayah Dan Acara Jinayah Dalam Mengembalikan/Memperbaiki Nilai Moralitas
Masyarakat Aceh Terkait Penegakan Syari’at Islam
Qanun hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat
delegasi suatu undang-undang dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Dengan
kata lain, Qanun hanya dapat mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan
undang-undang dalam penyelenggaraan otonomi khusus.[14]
Seperti yang diketahui
saat ini, adanya sebuah Qanun yang keberadaannya memicu pro dan kontra dalam
masyarakat yakni Qanun hukum jinayat. Ada pihak yang sangat mendukung dan
banyak pula pihak yang menolak Qanun hukum jinayat dengan alasan-alasan
masing-masing. Meskipun keberadaannya demikian kenyataannya Qanun hukum Jinayat ini telah disahkan secara
sepihak oleh DPRA meskipun Pemerintah Aceh belum menyetujui materi yang diatur dalam
Rancangan Qanun tersebut.
Selain itu,
kegagalan pengesahan rancangan qanun tersebut disebabkan masih kurangnya nilai
partisipasi publik serta masih dimuatnya ketentuan rajam, yang dinilai terlalu
memberatkan. Sehingga pembahasan rancangan qanun tersebut tertunda hingga saat
ini. Namun, jika melihat realita yang terjadi menurut pemberitaan media
elektronik dan hasil temuan dari lembaga daerah, sudah selayaknya hukum jinayah
disahkan secepat mungkin.
Penetapan
rancangan qanun jinayah dan acara jinayah yang telah dinilai sangat dibutuhkan
guna mengakomodir prihal pelanggaran syari’at Islam secara konkrit. Hal
tersebut ditekankan oleh Sulaiman Abda bahwa Kalau tidak bisa diselesaikan
dalam masa 2013, maka akan berdampak langsung kepada masyarakat. Masyarakat
tidak percaya lagi kepada wakilnya yang duduk di lembaga legislatif jika
prolega ini tidak bisa dituntaskan.[15]
Jelas bahwa keberadaan qanun tersebut dibutuhkan dari bidang politik maupun
hukum sendiri.
Menyadari
implementasi syari’at Islam di Aceh semakin melemah, sebanyak 33 ormas Islam
yang tergabung dalam Forum Komunikasi untuk Syariat (Fokus) mengumpulkan tanda
tangan masyarakat sebagai bukti dukungan agar Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah
segera diterapkan di Aceh.[16]
Artinya, seluruh lapisan masyarakat yang peduli dengan syari’at Islam dan
beberapa ormas Islam akan memberikan pengawalan hingga dalam tahun 2013, qanun
tersebut sah sebagaimana diharapkan.
Sebagaimana
ditambahkan oleh Anggota Badan Legislasi DPR Aceh Nurzahri menuturkan, dari 21
judul rancangan itu, 6 di antaranya merupakan inisiatif legislatif dan 15
sisanya merupakan usulan eksekutif. 21 Raqan tersebut yakni Raqan Perubahan
atas Qanun Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler
Pimpinan dan anggota DPRA, Raqan perubahan atas Qanun Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, Raqan Aceh tentang Ketenagakerjaan, Raqan tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Raqan tentang Syariat Islam, Raqan
perubahan atas Qanun Nomor Tahun 2009 tentang Penanaman Modal, Raqan Rencana
Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Raqan tentang perubahan atas Qanun Nomor 2 tahun
2008 tentang Tata Cara Pengalokasian dana bagi hasil Migas dan penggunaan dana
Otsus, Raqan Pengelolaan Pertambangan dan Mineral Batubara, Raqan
Kepariwisataan, dan Raqan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh, Raqan
tentang Bendera dan Lambang, Raqan tentang Himne Aceh, Raqan Kesejahteraan
Sosial, Raqan Aceh Pengelolaan Barang Milik Aceh, dan Raqan tentang Retribusi
Jasa Usaha, Raqan Retribusi Perizinan tertentu, Raqan Retribusi Jasa Umum, dan
Raqan Penyertaan Modal Pemerintah Aceh pada Perusahaan Daerah BPR Mustaqim
Sukamakmur..[17]
Terkait dengan
kebobrokan moral yang terjadi di Aceh merupakan manifestasi lemahnya pengawalan
maupun penegakan syari’at Islam. Menurut pengertian ‘Moralitas’ (dari kata sifat
Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada
nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi
moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah
sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan
buruk. Dapat ditekankan bahwa jika moral keseluruhan buruk maka cerminannya
adalah secara keseluruhan masyarakat telah jauh dari perbuatan baik yang
dilandaskan oleh agama.
Tentu secara
spesifik hal tersebut sangat berbahaya. Berbagai pandangan, baik tulisan maupun
pemberitaan pada media elektronik adalah cerminan terhadap gejolak yang terjadi
di dalam masyarakat. Baik buruknya masyarakat, dilandasi dengan tegaknya
perbuatan yang secara adab dan juga adat diterima maupun ditolak. Sementara
itu, prihal kasus-kasus hukum baik dari pelanggaran syari’at Islam hingga
pidana umum dalam bentuk pelecehan seksual marak terjadi merupakan suatu
realita yang sebenarnya dapat diminimalisir dengan syari’at Islam.
Penekanan budaya
barat yang cenderung secara “frontal” masuk dalam budaya timur juga menjadi
salah satu sebab. Kecanggihan teknologi tidak dibarengi dengan adanya
pendidikan agama yang mumpuni. Sehingga terjadi penyalah gunaan sarana
teknologi yang seharusnya mendukung informasi dan kinerja, justru menjerumuskan
moral masyarakat. Bahkan dalam hal kebudayaan yang berbeda tersebut, seharusnya
dapat “dijaring” terlebih dahulu sebelum diadopsi dalam budaya Indonesia yang
berlandaskan pada Pancasila.
Dalam kaitannya
pergaulan bebas yang terjadi pada kalangan remaja, baik tingkat siswa menengah
hingga mahasiswa merupakan perwujudan dari kesalahan mengadopsi budaya barat.
Sebagai negara Pancasila dan daerah Aceh yang berlandaskan Syari’at Islam sudah
tentu budaya tersebut tidak sesuai di Aceh. Namun, prilaku menyimpang tersebut
marak terjadi dan untuk saat ini seharusnya dilakukan pembatasan, baik secara
hukum maupun secara sosial.
Pembatasan
secara hukum adalah mengesahkan rancangan qanun jinayah dan acara jinayah.
Pembatasan secara sosial dilakukan dengan pendidikan agama yang dimulai dari
keluarga. Pendidikan dalam keluarga dapat menentukan wujud etika dan
pengetahuan anak untuk dapat bersikap dalam lingkungannya.[18]
Sebagaimana
pengertian hukum yang dipaparkan oleh Hans Kelsen bahwa hukum merupakan norma
yang memuat sanksi yang tegas.[19]
Ketegasan hukum dalam bentuk sanksi mempunyai arti adalah untuk membuat efek
jera bagi pelanggar hukum. Syari’at Islam adalah tolak ukur hukum di Aceh, yang
seharusnya diakomodir secara konkrit (hukum jinayah dan acara jinayah),
sehingga setiap pelanggaran syari’at Islam dapat diberikan sanksi tegas dan
jera, sehingga tidak melakukan perbuatan yang sama dikemudian hari.
Hingga pada
intinya adalah keberadaan hukum jinayah dan acara jinayah adalah untuk
ketertiban masyarakat dan menegakkan kembali nilai moral sesuai dengan kaedah
agama. Sehingga penegakan syari’at Islam secara kaffah dapat diwujudkan di bumi
serambi mekkah.
2.
Nilai
Urgensi Pengesahan Qanun Jinayah Dan Acara Jinayah Dalam Kaitannya Dengan
Penegakan Syari’at Islam Di Aceh
Berdasarkan
teori legal system di atas, maka guna
mencapai ketertiban hukum adalah dengan adanya hubungan baik dari ketiga
komponen hukum yaitu budaya hukum, struktur hukum dan substansi hukum. Prihal
budaya hukum yang dimaksud adalah pada aspek aturan hukum yang sesuai dengan
kondisi maupun budaya masyarakat. Artinya, suatu hukum yang telah disahkan
secara tertulis masih mengakomodir aturan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kemudian terkait dengan struktur hukum diketahui bahwa di Aceh segala
pelaksanaan tatanan hukum dilandasi dengan aturan daerah yang disebut dengan
qanun serta ditegakkan oleh aparatur daerahnya. Dan dilihat dari substansi
maupun muatan dari pengaturannya yang berimbang dan proporsional dengan
kepentingan masyarakat.
Masyarakat Aceh
dalam beberapa priode ini telah dinilai dari aspek moral yang merosot. Baik
akibat lemahnya pengawasan dan pengawalan dari pemerintah maupun terjadinya
akulturasi budaya yang dinilai salah. Sehingga banyak sekali perbuatan
masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana mestinya.
Maraknya
pelanggaran hukum baik dalam bentuk pergaulan bebas maupun lainnya adalah
bentuk kelemahan struktur hukum di Aceh baik akibat sosial maupun politik
daerah, maupun akibat kekurang patuhan masyarakat terhadap aturan syari’at
Islam yang telah ada. Sehingga dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih konkrit
mengatur dan lebih mampu menimbulkan aspek jera pada masyarakat.
Sebagai suatu
perbuatan yang dinilai bertentangan dengan hukum (pelanggaran) maka sudah
sepatutnya diproses berdasarkan hukum, guna mendapatkan kepastian hukum,
keadilan dan ketertiban hukum. Lembaga yang berwenang dalam mengadili pelanggar
syari’at Islam di Aceh adalah Mahkamah Syar’iyah.
Menurut Pasal 3
Ayat (1) Keppres No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah Dan Mahkamah
Syar'iyah Provinsi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan “kekuasaan
dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah
kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah
dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun”. Berdasarkan pasal
tersebut jelas bahwa dalam melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Syar’iyah
membutuhkan aturan hukum lebih lanjut guna mengetahui ruang lingkup kewenangan
dalam mengadili pelanggaran dalam bidang ibadah maupun syiar Islam.
Semenjak
disahkannya tiga qanun bidang pelanggaran syari’at Islam, yaitu khamar, maisir
dan khalwat, Mahkamah Syar’iyah hanya melaksanakan sidang menurut hukum acara
yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa jenis hukum meliputi hukum materiil dan
hukum formil. Ketiga qanun yang mencakup pelanggaran syari’at Islam adalah
hukum materiil sementara itu hukum formil adalah hukum acaranya. Maka atas
dasar tersebut, dibutuhkan qanun acara jinayah.
Dapat dipahami
bahwa sistem Hukum Pidana Islam (Jinayah) mengandung beberapa jenis sanksi
pidana yang antara lain: qisas, hadd dan ta’zir. Qanun Jinayat Aceh hanya
memberlakukan sebagian hukum hadd dan ta’zir. Hukuman hadd diaplikasikan dalam
ketentuan pelanggaran khamar, dan hukuman ta’zir diberlakukan bagi pelaku
khalwat, maisir. Ketiga perkara hukum jinayat tersebut telah diqanunkan ke
dalam tiga konsepsi Qanun Hukum Jinayat yaitu: 1). Qanun Jinayat No.12 Tahun
2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), 2). Qanun Jinayat No.13
Tahun 2003 tentang Maisir (judi), dan 3). Qanun Jinayat No.14 Tahun 2003
tentang Khalwat (mesum).
Terkait struktur
hukum lainnya selain lembaga peradilan agama/Mahkamah Syar’iyah, dapat dilihat
juga aparat penegak hukum lainnya yaitu Wilayatul Hisbah. Berdasarkan Pasal 244
UU PA menyebutkan “Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun Syar’iyah
dalam pelaksanaan syari’at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah
sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja”. Cita-cita pembentukan satuan
Polisi Wilyatul Hisbah semata-mata adalah guna menegakkan qanun syari’at Islam.
Pada awal terbentuknya satuan ini ditempatkan di bawah Dinas Syari’at Islam,
namun akhirnya dileburkan bersama satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan Qanun
No. 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis
Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi.
Pembentukan
Wilayatul Hisbah yang pada awalnya disambut dengan tangan terbuka, namun pada
saat dileburkan dengan satuan Polisi Pamong Praja, penilaian masyarakat sendiri
telah berubah. Bahkan banyak kritikan terhadap kinerja Wilayatul Hisbah pasca
dileburkan tersebut. Sebagaimana tujuan awal adalah penegakan dan pengawalan
syari’at Islam, keberadaan Wilayatul Hisbah, baik aparaturnya banyak yang
dinilai melenceng dari syari’at Islam.
Sudah tentu
prilaku aparatur Wilayatul Hisbah seharusnya sesuai dengan ketentuan qanun
syari’at Islam sendiri. Sehingga masyarakat dapat menilai bahwa aparatur patuh
hukum maka begitu juga dengan masyarakat. Dimana seharusnya perilaku aparatur
tersebut juga merupakan hukum, selain hukum dalam arti sebenarnya.
Perbaikan
tatanan tidak hanya pada masyarakat belaka, tetapi juga pada aspek prilaku
aparatur penegak hukum sendiri. Dalam kaitannya dengan qanun jinayah dan acara
jinayah, merupakan sebuah tatanan hukum yang baru guna alat mengontrol sosial (law as a tool of social enginering).[20]
Tujuan pengontrolan tersebut tentu untuk menciptakan ketertiban hukum. Dimana
setiap prilaku masyarakat sesuai dengan kaedah hukum yang ada. Khususnya
syari’at Islam.
Seperti
diketahui, hukum sebagai pengendalian sosial dimungkinkan untuk merumuskan
proposisi-proposisi yang menjelaskan tentang kuantitas hukum dan gaya hukum
pada setiap tempat. Masing-masing dari proposisi ini menunjukkan hubungan
antara hukum dan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial, yaitu: statifikasi,
morfologi, kultur, organisasi dan sosial
control.
Secara lebih
umum, kuantitas hukum diketahui dan mencakup sejumlah larangan, kewajiban dan
standar-standar lain dimana orang merupakan subjeknya. Kuantitas hukum beraneka
ragam dari waktu ke waktu, antara tempat yang satu dengan tempat lainnya.
Keanekaragaman kuantitas hukum juga terjadi dengan adanya perbedaan person yang
mengajukan tuntutan atau gugatan, adanya perbedaan sosok penegak hukum yang
menangani suatu kasus hukum.
Dengan adanya
ketentuan jinayah yang terakomodir konkrit maka secara formil, Mahkamah
Syar’iyah dapat menjalankan kewenangannya dalam mengadili dan memutuskan
perkara jinayah. Serta terkait kewenangan Wilayatul Hisbah terakomodir lengkap
hingga proses pengumpulan alat-alat bukti yang jelas. Sehingga dengan demikian
maka tujuan pengesahan dari qanun jinayah dan acara jinayah untuk penegakan
syari’at Islam akan sangat berarti dalam mengembalikan nilai moral masyarakat
sesuai dengan aturan yang berlaku.
F.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat belakangan ini, dengan ditandai
buruknya moral masyarakat khususnya kalangan remaja. Sehingga pelanggaran
syari’at Islam marak terjadi, maka dibutuhkan tindakan cepat dari pemerintah,
salah satunya dengan mengesahkan qanun jinayah dan acara jinayah. Tujuan
keberadaan dari qanun jinayah dan jinayah selain mengisi dan menguatkan aturan
hukum sebelumnya, juga sebagai perwujudan untuk implementasi dari efektifitas
penegakan syari’at Islam di Aceh.
2.
Adapun
nilai urgensi dari pengesahan qanun jinayah dan acara jinayah adalah untuk dapat
disegerakannya penertiban hukum dalam masyarakat, baik moralitas dan budaya
masyarakat sehingga sesuai dengan kaedah yang seharusnya. Selain itu juga untuk mengisi hukum formil bagi aparat
penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam bidang hukum
Islam. Menunda pengesahan dan pemberlakuannya justru sangat menghambat
upaya-upaya menerapkan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Kadir
Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, PT.
Citra Aditya, Bandung, 2008
Donald Black, “Behavior of Law”, Academic Press, New
York, San Fransisco, London, 1976
Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN, 2004
Khirani Arifin, et.al.,”Analisi Kebijakan Publik”,
PUSHAM. Banda Aceh, 2009
Lawrence
Friedman, “American Law”, W.W. Norton
& Company, London, 1984
Soetandyo
Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode
dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002
Solly Lubis M.,
“Serba-serbi Politik dan Hukum”,
Mandar Maju, Bandung, 1989
Sudikno
Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan
Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai
Buku Ichtiar, Jakarta, 1962
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Keputusan
Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah Dan Mahkamah Syar'iyah
Provinsi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at
Islam
Qanun No. 12
Tahun 2003 tentang Khamar
Qanun No. 13
Tahun 2003 tentang Maisir
Qanun No. 14
Tahun 2003 tentang Khalwat
Qanun No. 5
Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis
Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi.
C. Internet
http://www.acehkita.com/berita/selama-2012-77-anak-alami-kekerasan-seksual/
www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=hukum
jinayah di
aceh&source=web&cd=2&ved=0CC8QFjAB&url=http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013&ei=6OY6UYfZJseHrAf42YFI&usg=AFQjCNHdeqac7Vl05vDnqphIRgIthNmNhA&bvm=bv.43287494,d.bmk&cad=rja
[1] Adalah tenaga pengajar pada Fakultas
Hukum Universitas Jabal Ghafur, Sigli
[2]
http://www.bisnisaceh.com/umum/wakil-walikota-banda-aceh-prihatin-pergeseran-moral-generasi-muda/index.php
[3]
http://news.okezone.com/read/2013/03/08/340/772984/arisan-tante-girang-berhadiah-berondong-juga-ada-di-aceh
[4] Ibid.
[5]
http://www.acehkita.com/berita/selama-2012-77-anak-alami-kekerasan-seksual/
[6]
http://www.acehkita.com/berita/kisma-desak-dpra-segera-sahkan-qanun-jinayat/
[7] Lawrence Friedman, “American Law”, W.W. Norton &
Company, London, 1984, hal. 6
[8] Ibid., hal. 7
[9] Donald Black, “Behavior of Law”, Academic Press, New
York, San Fransisco, London, 1976, hal. 2.
[10] Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[11] Selanjutnya dijelaskan bahwa
faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah geopolitik; (2)
kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik; (3) kesatuan
cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah ekopolitik; (4)
kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik; dan (5) kesatuan
sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya adalah kratopolitik.
M. Solly Lubis, “Serba-serbi Politik dan
Hukum”, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 48 dan 94-96.
[12] Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama,
ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002, hal. 380.
[13] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra
Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hal. 2.
[15]
http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013
[16]http://www.analisadaily.com/news/read/2013/03/05/112133/50_ribu_warga_bubuhkan_tandatangan_dukung_qanun_jinayah/#.UTrn8tZTCSo
[17] www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=hukum
jinayah di
aceh&source=web&cd=2&ved=0CC8QFjAB&url=http://news.liputan6.com/read/527493/aceh-setujui-raqan-hukum-jinayah-jadi-prolega-2013&ei=6OY6UYfZJseHrAf42YFI&usg=AFQjCNHdeqac7Vl05vDnqphIRgIthNmNhA&bvm=bv.43287494,d.bmk&cad=rja
[18] Abdul Kadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, PT. Citra
Aditya, Bandung, 2008, hal. 16
[19] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia, MKRI-PSHTN, 2004, hal. 12
[20] Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai
Buku Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 43