Subscribe Us

Selasa, 02 November 2010

TINJAUAN YURIDIS PENAFSIRAN KONSTITUSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LEMBAGA NEGARA (Suatu Penelaahan Hukum Sengketa Antara MA dan KY)


A.    Pengertian Penafsiran Konstitusi
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Padanan kata dari penafsiran adalah interpretasi.[2]
Menurut M.A Loth dalam bukunya menyebutkan bahwa:
Interpretasi dapat atau sama halnya dengan argumentasi yang menimbulkan suatu ambiguitas proses/ produk. Proses menginterpretasi harus dibedakan dari proses atau produk. Interpretasi sebagai proses adalah pemberian suatu makna kepada suatu pernyataan lain atau alternatif rumusan yang mempunyai makna termaksud. Kegiatan menginterpretasikan akan menghasilkan suatu interpretasi sebagai produk.[3]
Ketika hakim dihadapkan pada kasus konkret, menurut Loth yaitu tugasnya adalah menjelaskan apakah hal tersebut dapat tunduk pada undang-undang. Dalam rangka menetapkan wilayah cakupan undang-undang, hakim akan menginterpretasikan baik secara implisit maupun eksplisit istilah dari ketentuan undang-undang.[4] Namun, ketika hakim dihadapkan pada masalah hukum konkret yang tidak dapat disesuaikan dengan maksud pembentuk undang-undang sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang, maka hakim dari sudut pandang semantic adalah bebas untuk menyimpang. Apakah interpretasi yang menyimpang tersebut dapat dibenarkan juga dari sudut pandang yuridis, politik hukum atau moral, hal tersebut merupakan masalah yang sama sekali tidak berhubungan.[5]
Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum.[6] Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.[7]
Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.[8]
Penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru.[9]
Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).[10]
Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von Savigny. Menurut Savigny lebih lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat digunakan semaunya melainkan harus terpusat kepada penafsiran undang-undang.[11] Interpretasi atau menafsir undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum sebenarnya adalah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio terhadap suatu ketentuan undang-undang.[12]
Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan penafsir undang-undang yang memahami tujuan hukum sesungguhnya dan keputusannya memiliki legitimasi untuk mengikat, maka diserahkan wewenang tersebut kepada lembaga peradilan. Apalagi dikarenakan lembaga peradilan adalah tempat terakhir mencari keadilan dan tempat penyelesaian berbagai perkara.
Dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan yang tidak diatur dalam perundang-undangan (rechts vacuum) ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap serta tidak memiliki relevansi dengan rasa keadilan dan perkembangan hukum masyarakat. [13]
Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa tidak ada hukum atau undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnyanya atau jelas dengan sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu kalau undang-undangnya tidak jelas atau tidak lengkap harus dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan hukumnya.[14]
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, penafsiran hukum telah dilakukan yakni pada saat perubahan UUD 1945, dimana menurut K.C. Wheare menyatakan bahwa perubahan konstitusi ada 4 (empat) metode, yang berbeda dengan metode Strong, yaitu:  (a) some primary forces; (b) formal amendment; (c) judicial interpretation; (d) usage and convention.[15] Perbedaan cara perubahan konstitusi yang dikemukakan oleh Strong dan Wheare tersebut terletak pada dua sudut pandang. Strong melihat terjadinya perubahan konstitusi melalui proses yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri, sedangkan Wheare membagi perubahan konstitusi berdasarkan kondisi atau situasi yang menyebabkan terjadinya perubahan konstitusi. Strong juga membatasi perubahan konstitusi tersebut kepada proses formal, namun tidak melihat kondisi luar biasa yang mungkin saja dapat terjadi dalam perkembangan ketatanegaraan. Fajrul Falaakh juga menganggap MPR ketika pada masa Orde Baru dapat dengan mudah melakukan perubahan konstitusi, baik melalui penafsiran maupun penambahan ketentuan asli.[16]
Kewenangan dalam melakukan penafsiran terhadap konstitusi di Indonesia dimiliki oleh MPR yang saat sebelum perubahan UUD 1945 selaku lembaga tertinggi negara. MPR melakukan penafsiran konstitusi guna mengubah konstitusi sebanyak empat kali perubahan dengan melakukan penambahan pada ketentuan asli UUD 1945. Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan melakukan penafsiran tersebut beralih pada MK sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945. Hal tersebut sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh K.C Wheare yang menyebutkan bahwa salah satu lembaga yang dapat melakukan penafsiran terhadap konstitusi yaitu lembaga peradilan dan dalam hal ini adalah MK.
Penafsiran melalui sebuah proses peradilan (judicial interpretation) dimaknai sebagai sebuah teori atau metode berpikir yang menjelaskan bagaimana peradilan harusnya memberikan tafsir hukum terhadap sebuah undang-undang terutama UUD.[17] Disamping itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang Undang Dasar.[18]
Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memberi keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak diperbolehkan menolak dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas pengaturannya. Dalam hal demikian dalam Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang  Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam praktek, terkait kewenangan dalam pengujian undang-undang dikenal adanya tiga macam norma yang dapat diuji oleh lembaga peradilan maupun non peradilan yaitu:
-          Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling);
-          Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking);
-          Keputusan normatif yang berisi penghakiman yang biasa disebut dengan vonis.[19]

Ketiga macam bentuk norma tersebut dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justicial) ataupun non justicial. Jika pengujian dilakukan dengan menggunakan melalui mekanisme lembaga peradilan, maka pengujian tersebut disebut dengan judicial review. Akan tetapi jika pengujian tersebut dilakukan bukan oleh lembaga peradilan, maka hal tersebut tidak dapat disebut dengan judicial review.[20]
Ketiga bentuk norma hukum tersebut ada yang merupakan individual and concrete norms, dan adapula yang disebut dengan general and abstract norms. Beschikking dan vonnis selalu bersifat individual and concrete sedangkan regeling selalu bersifat general and abstract.[21] Dalam bahasa Inggris Amerika Serikat, upaya hukum untuk menggugat atau menguji ketiga bentuk norma hukum itu melalui peradilan yaitu disebut dengan judicial review.[22]
Pelaksanaan judicial review yang dilakukan oleh lembaga peradilan biasanya dilakukan dengan menggunakan penafsiran hukum (interpretation). Penafsiran hukum yang dilakukan dalam judicial review yang dilakukan terhadap norma hukum pada umumnya dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dengan menetapkan konstitusi sebagai dasar penafsiran hukum tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga peradilan yang berwenang dalam melakukan judicial review sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 yaitu MA dan MK.[23]
Agar dapat mencapai kehendak dari pembuat undang-undang serta menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial, hakim atau lembaga peradilan melakukan beberapa cara penafsiran yaitu sebagai berikut:
-          Menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah) atau yang biasa disebut dengan penafsiran gramatikal;
-          Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis;
-          Menafsirkan undang-undang menurut sistem yang ada didalam hukum atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik;
-          Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga undang-undang tersebut dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada dalam masyarakat atau biasa disebut dengan penafsiran sosiologis atau penafsiran teleologis;
-          Penafsiran resmi atau penafsiran otentik;
-          Penafsiran interdisipliner;
-          Penafsiran multi disipliner.[24]

Sebagaimana telah disebutkan dalam kerangka teori bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dimana semua peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang) harus didasarkan pada atau bersumber kepada UUD 1945.[25] Semua peraturan perundang-undangan harus mencerminkan atau merupakan penjabaran dari sistem dan asas sosial, politik dan hukum, yang ada dalam pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mendapatkan legitimasi dari UUD 1945 berupa landasan formal konstitusional dan landasan materil konstitusional.[26]
Penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh MK merupakan penafsiran yang dilakukan terhadap undang-undang dengan menjadikan konstitusi sebagai dasar hukum penafsiran tersebut. Konstitusi yang dijadikan sebagai dasar penafsiran menjadikan MK dalam melaksanakan kewenangannya, khusus dalam judicial review menjadi lembaga satu-satunya yang dapat menafsirkan konstitusi.
pelaksanaan judicial review, selain MK juga terdapat MA sebagai salah satu lembaga judicial yang dapat melakukan pengujian peraturan perundang-undangan. Namun, kewenangan MA hanya dibatasi pada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Sementara MK mempunyai kewenangan dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.[27] MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan yang mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya; menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; kewenangan lain yang diberikan undang-undang.[28]
Wewenang pengujian undang-undang terhadap UUD, apabila MK menerima permohonan pengujian undang-undang, MK memberitahukan kepada MA adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam “Buku Registrasi Perkara Konstitusi”.[29] Dengan diterimanya pemberitahuan ini, MA wajib menghentikan pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA. Apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian MK sampai ada putusan MK.[30]
Permasalahan dalam praktik peradilan berkenaan dengan korelasi atau hubungan antara kewenangan MK dan kewenangan MA yang perlu ditelaah lebih lanjut, di mana tidak hanya terbatas pada yang bersangkut paut antara pengujian undang-undang oleh MK dengan pengujian perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA, tetapi ada beberapa masalah seperti:
a)      Undang-undang yang sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi dijadikan dasar dakwaan Penuntut Umum (PU) dalam perkara pidana;
b)      Undang-undang yang sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi dijadikan dasar gugatan di peradilan tata usaha negara;
c)      Undang-undang yang sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi dijadikan dasar gugatan dalam perkara perdata, dan/atau
d)     Hubungannya dengan perkara-perkara atau kasus-kasus yang menyangkut hak konstitusional warga negara.[31]

Mahfud MD mengungkapkan dalam pelaksanaan kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD agar tidak melampaui batas kewenangannya maka diperlukan rambu pembatas bagi MK agar tidak menafsirkan konstitusi dengan sewenang-wenang, yaitu diantaranya:
-          Dalam melakukan pengujian undang-undang MK tidak boleh mengeluarkan putusan yang bersifat mengatur, pembatalan undang-undang tidak boleh disertai dengan pengaturan, misalnya putusan pembatalan yang disertai dengan isi, cara, dan lembaga yang harus mengatur isi undang-undang tersebut kembali;
-          Dalam pengujian undang-undang MK tidak boleh membuat ultra petita, sebab dengan mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita MK telah memasuki ranah legislatif;
-          Dalam membuat putusan MK tidak boleh membuat atau menjadikan undang-undang sebagai dasar pembatalan undang-undang lainnya sebab tugas MK adalah menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945, bukan undang-undang terhadap undang-undang lainnya;
-          Dalam membuat putusan MK tidak boleh mencampuri masalah yang telah didelegasikan oleh UUD 1945 pada lembaga legislatif untuk mengaturnya dengan atau undang-undang sesuai dengan politiknya sendiri;
-          Dalam membuat putusan MK tidak boleh mendasarkan pada teori yang tidak secara jelas dianut oleh konstitusi, sebab teori yang dikenal sangat banyak sehingga pilihan atas teori bisa bertentangan dengan teori lainnya yang sama jaraknya dengan UUD 1945;
-          Dalam melakukan pengujian undang-undang MK tidak boleh melanggar asas nemo judex in causa sua yakni memutuskan perkara yang menyangkut dirinya sendiri;
-          Hakim konstitusi tidak boleh mengemukakan pada publik terkait opini tentang kasus konkret yang sedang diperiksa oleh MK;
-          Hakim konstitusi tidak boleh mencari perkara dengan menganjurkan pada siapapun untuk mengajukan gugatan atau permohonan ke MK;
-          Hakim konstitusi tidak boleh bersifat pro aktif menawarkan diri sebagai penengah dalam silang pendapat politik antar lembaga negara atau lembaga politik, sebab tindakan menawarkan diri adalah polistis bukan legalistik;
-          MK tidak boleh ikut membuat opini tentang eksistensi atau tentang baik buruknya UUD atau apakah UUD tersebut dapat dipertahankan ataukah dapat dirubah.[32]

Berdasarkan rambu tersebut yang telah dikemukakan oleh Mahfud MD bahwa MK sebagai lembaga penafsir konstitusi hanya dapat menafsirkan konstitusi atas undang-undang yang sedang diuji tanpa melakukan sesuatu hal yang diluar kewenangan MK sendiri sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Selain itu, Jadi tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila peraturan perundang-undangan tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain apabila peraturan perundang-undangannya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat membuat keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum. Atas dasar itulah, menafsirkan peraturan perundang-undangan adalah kewajiban hukum dari hakim.[33]
Terkait dengan kasus sengketa kewenangan MA dan KY yang diselesaikan melalui mekanisme judicial review, maka penyelesaian tersebut dilakukan dengan menggunakan penafsiran hukum terhadap konstitusi dan penafsiran tersebut berbentuk penafsiran secara gramatikal,[34] dimana MK melihat konteks dalam rumusan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak sesuai dengan rumusan sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi.[35]

B.     Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana dalam catatan sejarah bahwa negara Indonesia telah mengalami beberapa era atau masa, dalam tiap masa tersebut terdapat konstitusi masing-masing. Negara Indonesia sendiri telah menggunakan setidaknya 4 (empat) macam konstitusi diantaranya yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan terakhir adalah UUD 1945 hasil perubahan (amandement).[36]
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia memberikan catatan penting terkait kilas balik pembentukan MK dalam sistem kelembagaan negara Indonesia. Guna melihat hal tersebut maka dalam sejarah pembentukan MK dapat dibagi dalam dua priode yaitu sebelum masa sebelum amandemen UUD 1945 dan masa sesudah amandemen UUD 1945.


  1. Sebelum Amandemen UUD 1945
Pada masa awal kemerdekaan dimana pada saat itu Badan Persiapan Upaya kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai lembaga yang dipercaya merancang UUD sebagai konstitusi negara menyebutkan bahwasanya UUD tersebut mampu menjaga keutuhan dan ketentraman masyarakat dalam negara kesatuan republik Indonesia. Para pakar hukum saat itu sudah menegaskan akan adanya sebuah lembaga kehakiman yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UUD. M. Yamin sebagai salah seorang perancang UUD berkesimpulan lembaga negara yang berhak melakukan uji materil terhadap peraturan perundang-undangan adalah MK, Yamin saat itu melihat kesuksesan Hans Kelsen menerapkan sistem peradilan MK pada negara Republik Austria.[37]
Hans kelsen adalah seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke- 20, ia diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi negara Republik Austria, Kelsen mengungkapkan bahwa badan peradilan biasa tidak dapat melakukan kewenangan untuk menegakkan konstitusi, sehingga Kelsen merancang sebuah mahkamah khusus yang berbeda dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika bertentangan dengan konstitusi.[38]  Pada tahun 1919 adalah masa penting baginya karena merancang konstitusi bagi negara Republik Austria, dia juga menjadi hakim konstitusi. Dibawah kepemimpinannya MK pernah memutuskan putusan pengadilan rendahan yang membatalkan peraturan pemerintah saat itu.[39]
Pendapat Yamin ditentang oleh Soepomo yang menyebutkan bahwa MK tidak dibutuhkan oleh negara Indonesia, hal ini disebabkan karena saat itu sudah ada MA. Soepomo yang juga sebagai salah satu perancang UUD 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 mempunyai sistem sendiri, yaitu berdasarkan pada pembagian kekuasaan (distribiton of power), hal ini memungkinkan adanya kerjasama antara lembaga negara, sehingga penerapan sistem checks and balances sesuai dengan cita-cita dari UUD 1945.[40]
Yamin juga menilai bahwa untuk pengujian peraturan perundang-undangan terhadap UUD 1945 dapat dilakukan oleh MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman saat itu, akan tetapi dikarenakan dikhawatirkan akan menumpuknya perkara pada MA, maka diberlakukanlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974 tentang kekuasaan kehakiman, dimana MA hanya bisa menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Strategi lain adalah mewujudkan sistem satu atap, yang memberi kewenangan pada MA  untuk menangani dan mengawasi masalah administrasi, kewenangan, dan organisasi sehingga dapat menjamin kemandirian MA.[41]
Seperti yang telah diketahi bahwa negara Indonesia telah memberlakukan konstitusi yang berbeda-beda diawal kemerdekaan. Dimana saat itu berlaku konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 sebagai pengganti UUD 1945, akan tetapi dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 1959, maka negara Indonesia kembali kepada UUD 1945 yang asli. Sesuai dengan bentuk negaranya, dalam RIS dikenal dua macam undang-undang, yaitu undang-undang federal dan undang-undang negara bagian.[42] Konstitusi RIS mengatur bahwa undang-undang federal tidak dapat diganggu gugat, maksudnya ialah suatu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan menurut prosedur yang ditetapkan diberi nama undang-undang federal tidak dapat dilakukan penilaian, artinya undang-undang federal tidak dapat diuji apakah isinya bertentangan dengan konstitusi RIS itu sendiri.[43]
Sementara dalam UUDS 1950 menyebutkan bahwa hak uji materil tidak dapat dilakukan, artinya tidak ada satu kekuasaanpun yang dapat menguji suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUDS 1950 itu sendiri atau tidak.  Hal ini menyebabkan adanya pengaruh politik yang begitu besar sehingga lebih mementingkan kepentingan pemerintah tanpa adanya penegakan hukum yang jelas.[44]
Pada saat orde baru, MPR membuat suatu ketentuan yang mengatur mengenai hubungan antara lembaga tertinggi negara dengan lembaga tinggi negara, ketentuan tersebut diatur dalam Ketetapan MPR No III / MPR/ Tahun 1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga Tinggi Negara. Ketetapan MPR tersebut mengatur mengenai pemberian wewenang dan pembagian tugas antara lembaga tertinggi negara dengan lembaga tinggi negara dalam upaya penerapan sistem checks and balances. Pada masa ini pemerintah berupaya memberdayakan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman saat itu, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman.
Prinsip yang terdapat dalam hubungan antar kelembagaan negara tersebut adalah untuk mencegah adanya konsentrasi kekuasaan dibawah satu lembaga negara, checks and balances merupakan jaminan dari pembagian kekuasaan dari lembaga tinggi negara yang sederajat.[45]
Sebagaimana yang tejadi pada masa orde baru, mengenai kekuasaan kehakiman memperlihatkan pengadilan tidak bebas dari pengaruh eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Bahkan memperkenankan adanya campur tangan dari Presiden dalam urusan peradilan, disamping adanya hak-hak prerogatif Presiden mengenai grasi, rehabilitasi, abolisi, dan amnesti. Hal ini dapat dilihat dari penanganan lembaga yudikatif dibawah Menteri Kehakiman. Penyelewengan kekuasaan juga terjadi saat masa orde lama yaitu masa demokrasi terpimpin, dimana saat itu kekuasaan kehakiman menjadi bagian dari pemerintah dengan memasukkan ketua MA kedalam kabinet dengan posisi menteri.[46]
Yusril Ihza Mahendra dalam buku Bambang Sutyoso dan Sri Hastuti Puspita sari mengungkapkan bahwa:
Rumusan UUD 1945 yang berisi ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman terlalu singkat. Hal tersebut menjadi salah satu ciri dari perumusan pasal-pasal dalam UUD 1945, yang satu pihak merupakan kekuatannya, namun dipihak lain merupakan kelemahannya, karena sebagaimana ketentuan dibidang lain, bidang kehakimanpun, UUD 1945 menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada undang-undang.[47]

Sementara itu Soehino mengungkapkan bahwa:

Sementara itu dari segi pengamatan historis pernah hukum tidak berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi, yaitu dalam masa pemerintahan rezim Sukarno dan pemerintahan rezim orde baru, pemerintah tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip Rule of law melainkan atas dasar prinsip Rule by law, dimana peraturan perundang-undangan dibentuk untuk kepentingan politik pemerintah, bukan untuk melandasi terciptanya kepastian hukum dan keadilan.[48]

Upaya pemberdayaan MA sebagai lembaga peradilan yang kewenangannya dapat melakukan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dalam Pasal 26 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menegaskan “ MA berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat lebih rendah dari undang-undang, atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi ”. Kesimpulan dari pasal ini adalah MA mempunyai kewenangan untuk menguji material, tetapi wewenangnya terbatas pada peraturan perundang-undangan yang letaknya dibawah undang-undang.
Kompetensi MA dalam hal menengahi perselisihan yang terjadi antar lembaga tinggi negara tidak bersifat politik, tetapi teknik yuridis. MA mempunyai kewajiban dalam mengeluarkan fatwa hukum untuk lembaga tinggi negara lainnya sebagai bahan pertimbangan. Kedudukan fatwa tersebut secara hukum tidak bersifat mutlak akan tetapi relatif,  dimana fatwa tersebut dapat diikuti, didengarkan, atau dilaksanakan dan tidak bersifat mengikat. Implikasi atas imparsialitas peradilan tentu akan menjadi pertimbangan, jika terlihat ada potensi sengketa hukum yang terang.[49]

  1. Sesudah Amandemen UUD 1945
Pada akhir era orde baru dimana saat itu terjadi pergolakan yang sangat besar di segala bidang sehingga B.J. Habibie saat itu mengatakan negara Indonesia dalam keadaan krisis multidimensi.[50]  Masyarakat dan mahasiswa menuntut agar penegakan hukum dan perlindungan hak azasi manusia ditegakkan dan upaya pemulihan ekonomi yangsaat itu mengalami krisis moneter. Ada sebuah tantangan maha besar sehingga kontradiksinya yang bersifat mikro dan internal menjadi tereduksi pada titik terendah, baru pada saat tantangan objektifnya mulai menyurut, yang mencapai klimaks pada saat Suharto mengumumkan pengunduran dirinya, berbagai kontradiktif internal mulai mengemuka.[51]
Untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara yang saat itu mulai memanas dan untuk menurunkan tingkat kerusuhan yang terjadi yang disebabkan berbagai macam permasalahan yang dihadapi, atas kesadaran pribadi, Suharto yang saat itu menjabat sebagai Presiden mengundurkan diri sebagai Presiden dan menyerahkan kekuasaan tersebut pada Wakil Presiden saat itu yaitu B.J. Habibie yang dilakukan secara konstitusional.[52]
Penyelenggara negara saat itu, dalam hal ini Presiden, tidak peka terhadap permasalahan hukum yang kemudian diperparah lagi ketidak berdayaan lembaga negara lainnya terhadap kondisi dan situasi demikian, dimana saat itu banyak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga negara misalkan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sehingga membangkitkan gerakan reformasi diseluruh tanah air yang menumbangkan rezim orde baru.
Pada awal bergulirnya era reformasi, tekad untuk memberantas segala penyelewengan ternyata belum diikuti dengan langkah nyata dan keseriusan pemerintah serta aparat hukum dalam penegakan hukum, terbukti dengan masih adanya campur tangan penguasa dalam proses peradilan. Hal ini tentunya menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum sendiri. Reformasi pada akhirnya membawa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, tidak terkecuali dalam bidang hukum dan politik. Perubahan tersebut seakan membawa Indonesia lebih demokratis dan konstitusional.[53]
Sebelum amandemen dilakukan, UUD 1945 mengandung banyak kelemahan, salah satunya tidak tersedianya mekanisme checks and balances, sehingga melumpuhkan kontrol yudisial terhadap pelaksanaan kekuasaan, yang berakibat pada pelaksanaan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter.  Pada akhirnya disadari bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional, dibutuhkan lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol yudisial terhadap penyelenggaraan negara, sehingga muncul ide pembentukan MK.[54]
Demi menjaga keamanan dan stabilitas negara yang sedang konflik, maka MPR selaku lembaga tertinggi negara saat itu, menggelar sidang istimewa dengan tujuan mengubah (amandemen) UUD 1945. Perubahan dilakukan dengan cara adendum atau dengan cara menambahkan tanpa harus menghapus ketentuan yang lama.[55]  Dimana perubahan tersebut dilakukan sebanyak 4 (empat) kali, yaitu pada tahun 1999, pada tahun 2000, pada tahun 2001, dan terakhir pada tahun 2002. MPR juga mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang peninjauan kembali terhadap status hukum TAP MPRS dan TAP MPR-RI tahun 1960 sampai dengan 2002, yang didalam pasalnya mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi negara dengan/atau antar lembaga tinggi negara.
MPR sesudah amandemen menjadi lembaga negara yang sederajat satu sama lain. MPR hanya menjadi wadah atau forum bagi DPR dan DPD bila melaksanakan sidang, ini merupakan upaya dari penerapan sistem Bikameral atau sistem dengan dua kamar. Oleh karena itu diperlukan sebuah lembaga yang mengawasi pelaksanaan konstitusi sehingga produk-produk demokrasi tetap berpegang teguh atas dasar konstitusionalime, dan apabila terjadi sengketa antar lembaga negara maka ada pemutus yang netral,  ditambah dengan fungsi-fungsi lainnya seperti pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, dan impeachment.[56]
Menurut Majda El-Muhtaj dalam bukunya menjelaskan bahwa :
"Perubahan sebuah konstitusi harus dipahami secara objektif dan proporsional. Perubahan UUD 1945 bukanlah berarti menghilangkan nuansa dan rasa kesatuan dalam ikatan NKRI, tetapi harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi kelangsungan masa depan bangsa yang bertanggung jawab dan bermartabat."[57]

Pembentukan MK menjadi sejarah baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Pada awalnya pembentukan MK ini banyak diperdebatkan oleh banyak kalangan. Menurut Jimmly Asshiddiqi, mengemukakan 2 (dua) jenis penolakan terhadap MK diantaranya yaitu:
"Pertama, menolak MK sebagai lembaga dan cenderung untuk menambahkan fungsi MK pada MA, genre ini merupakan gaya berpikir para sarjana hukum hasil pendidikan Amerika dan Belanda, yang mana kedua negara tersebut tidak mengenal MK. Para sarjana tersebut menginginkan sebuah lembaga diluar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Perkembangan bentuk lembaga negara yang sifatnya independen merupakan suatu keniscayaan. Lembaga tersebut menjalankan fungsi adminstrasi.
Kedua, penolakannya pada fungsi maupun lembaga. Hal ini ditentang bagi mereka yang menganut bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah dan diganggu gugat. Karena kelompok ini berasumsi bahwa konsep UUD 1945 sudah benar. Meski secara tidak langsung menolak pembentukan MK, tapi penolakan pengubahan UUD 1945 dengan sendirinya berarti menolak pembentukan MK".[58] 

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang fenomenal didalam ketatanegaraan Indonesia saat ini. Secara umum memang dapat dikatakan keberadaan MK merupakan sesuatu yang baru. Diseluruh dunia MK hanya dikenal di 45 (empat puluh lima) negara. MK menjadi lembaga yang penting terutama bagi negara yang baru mengalami perubahan rezim dari otoriterian kepada rezim demokratis.[59]
Pembentukan MK di Indonesia merupakan hasil inspirasi dari penerapan MK dinegara lain. Namun begitu tentu saja tidak semua konsep MK yang telah ada diserap secara keseluruhan (receptio in complexu) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, karena setiap negara mempunyai karakteristik yang berbeda.[60]  Paling tidak ada 4 (empat) hal yang melatar belakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a.       Sebagai implikasi dari paham konstiusionalisme.
b.      mekanisme check and balances.
c.       penyelenggaraan negara yang bersih.
d.      perlindungan hak azasi manusia.[61]
Dasar pembentukan MK adalah Pasal 24 UUD 1945, dimana pada intinya menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MA dan badan peradilan dibawahnya serta oleh sebuah MK. Pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Kekuasaan kehakiman dilakukan merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Ayat (2) menyebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24C UUD 1945 menyebutkan kewenangan MK dalam menjaga dan menjalankan konstitusi, Pasal tersebut berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a)      menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b)      memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
c)      memutus pembubaran partai politik;
d)     memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan,
e)      Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa dan mengadili atas pendapat DPR terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Pada masa pemerintahan Abdurahaman Wahid, saat itu banyak sekali masalah politik yang muncul. Korupsi, kolusi, dan nepotisme peninggalan orde baru masih menjadi tradisi bagi kalangan elit politik yang mementingkan diri sendiri. Dimana saat itu Gusdur mengeluarkan maklumat presiden dengan tujuan membubarkan DPR, keputusan tersebut menimbulkan konflik dan kontroversi yang berkepanjangan, atas dasar kejadian tersebut pula MK dibentuk menjadi lembaga negara yang bertugas dalam menjaga konstitusi.[62] Jadi kehadiran MK bukan karena adanya pemikiran mengenai yudicial review peraturan perundang-undangan terhadap UUD, akan tetapi karena adanya sengketa kewenangan lembaga negara dan dalam hal ini yaitu antara Presiden dan DPR.
Dalam Pasal III aturan peralihan menyebutkan: ”memerintahkan dibentuknya MK selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003, dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA”. Pada tanggal 13 Agustus 2003, MK disahkan menjadi lembaga negara baru dengan disahkannya UU No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sesudahnya MK juga diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Setelah MK terbentuk banyak sekali tantangan yang dilakukan kedepan dalam rangka menjaga konstitusi, maka oleh sebab itu pemilihan hakim konstitusi dilakukan oleh tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.[63] Maksud dari proses pemilihan ini adalah sebagai cerminan bahwa adanya perimbangan kekuasaan dari ketiga cabang kekuasaan tersebut. Hakim konstitusi secara keseluruhan berjumlah 9 (sembilan) orang hakim, diantaranya 3 (tiga) orang dari Presiden, 3 (tiga) orang dari DPR, dan 3 (tiga) orang dari MA. Pemilihan ketua dan Wakil Ketua dilakukan oleh dan untuk hakim konstitusi terpilih sendiri.[64]
Tugas MK dalam hal ini pada intinya yaitu menjaga konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir konstitusi (the intempreter of Constitution), dimana masih banyak bunyi pasal-pasal dari UUD 1945 hasil perubahan masih belum jelas dan tidak diterangkan secara eksplisit dalam UUD itu sendiri. Sri Soemantri menyebutkan, MK adalah lembaga yang lahir akibat tuntutan reformasi yang mempunyai kedudukan dan kewenangan yang diatur langsung dalam konstitusi. Tugas utama MK adalah menjaga konstitusi tersebut dan juga mengawasi lembaga negara terutama dalam penerapan checks and balances.[65] Kedudukan MK didalam sistem ketatanegaraan Indonesia sangat penting dalam menjaga stabilitas dan keutuhan negara sesuai dengan konstitusi.

C.    Perspektif Klasifikasi Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Lembaga negara, organ negara, atau badan negara merupakan nomenklatur yang diberikan pada pengemban fungsi dalam sistem penyelenggaraan negara, yang harus bertanggung jawab dan bekerjasama dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Permasalahan yang dihadapi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah terkait penetapan lembaga negara berdasarkan kedudukan, tugas dan fungsi.
Perubahan UUD 1945 yang diamandemen sebanyak 4 (empat) kali belum cukup memberikan definisi, pengertian dengan jelas apa yang dimaksud dengan lembaga negara. Hal ini disebabkan karena dalam UUD 1945 hasil perubahan juga menggunakan istilah “Komisi” dan “Badan” pada salah satu lembaga negara.[66] Permasalahan tersebut diakibatkan karena pada saat perubahan UUD 1945 dalam sidang istimewa MPR, para pembuat undang-undang atau tim penyusun UUD yang disebut Komisi Konstitusi, tidak mempunyai waktu yang banyak untuk menyempurnakan susunan UUD 1945 tersebut. Karena dikhawatirkan akan terjadinya penafsiran konstitusi yang tidak sesuai, hal ini menjadi tugas MK sebagai lembaga yang bertugas untuk menafsir konstitusi.
Kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yaitu “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk ........... , memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945”.
Sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan sistem pemisahan kekuasaan ini lembaga negara menjadi kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya.[67]   Maka lembaga negara mempunyai kewenangan yang terpisah dari dengan lembaga negara lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya monopoli kekuasaan terhadap kewenangan lembaga negara lain, sesuai dengan prinsip checks and balances.
Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 mempunyai kekuasaan masing-masing dalam menjalankan tugasnya. Apabila terjadi suatu penyalahan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga negara lain secara inkonstitusional maka hal tersebut dapat membuat struktur kelembagaan tidak jelas. MK selaku lembaga penyelesai sengketa berwenang dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.[68]
Dalam UUD 1945 setidaknya terdapat beberapa lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, diantaranya yaitu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD. MPR, MK, MA, BPK, Menteri dan Kementerian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, KY, KPU, Dewan Pertimbangan Presiden, Pemerintahan Daerah Provinsi, Gubernur Kepala Pemerintahan Daerah, DPRD Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten, DPRD, Pemerintahan Daerah Kota, Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota, DPD Kota, dan Satuan Pemda Khusus/istimewa.
Beberapa lembaga negara tersebut setidaknya ada beberapa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, KY, MK, BPK, dan KPU. Selebihnya adalah lembaga negara yang hanya disebutkan dalam UUD dan kewenangannya diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang, seperti KPI dengan UU No. 32 Tahun 2002, Bank Sentral dengan UU No. 10 Tahun 1999, KPPU dengan UU No. 5 Tahun 1999, Komisi Nasional HAM,  dan lain sebagainya.[69]
Setelah perubahan UUD 1945, banyak sekali pengertian lembaga negara yang ditemukan didalamnya. Maka untuk itu perlu membedakan antara lembaga negara UUD 1945 dengan lembaga negara lainnya setelah perubahan UUD 1945. Menurut Abdul Rasyid, setidaknya ada 6 ( enam ) alasan untuk membedakan lembaga negara tersebut yaitu:
a)      Ada “lembaga UUD 1945” juga sekaligus menjadi lembaga negara, misalnya Presiden, DPR, DPD, dan MK, sedangkan pemerintah daerah bukan “lembaga negara”.
b)      Ada lembaga UUD yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945, tetapi ada juga lembaga UUD yang kewenangannya akan diatur lebih lanjut dalam bentuk undang-undang, misalnya pemerintah daerah yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.
c)      Ada “lembaga UUD 1945” yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, tetapi kewenangannya tersebut tidak bisa diuji oleh MK. Misalnya kewenangan MK itu sendiri.
d)     Ada “lembaga negara” yang kewenagannya diberikan oleh UUD 1945, tetapi tidak dapat diuji kewenangannya oleh MK yaitu MA.
e)      Ada juga lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945, tetapi bukan termasuk lembaga UUD 1945 dan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, misalnya KY.
f)       Ada juga lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945, tetapi bukan termasuk “lembaga UUD 1945” dan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam bentuk undang-undang, misalnya Bank Sentral ( Pasal 23D ), KPU ( Pasal 22E ayat (5) ), TNI dan POLRI ( Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002), dan kejaksaan ( Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 ).[70]

Baik dalam UUD 1945 maupun UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak memaparkan dengan jelas apa/siapa yang dimaksud dengan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD hingga menimbulkan multi tafsir, yaitu:
-          Penafsiran luas yaitu mencakup semua lembaga negara yang namanya tercantum dalam dan kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu: MPR, Presiden/ Wakil Presiden, DPR, DPD, BPK, KPU, MA, KY, MK, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/ Walikota, DPRD Kabupaten/ Kota, TNI dan Polri;
-          Penafsiran moderat yaitu mencakup semua lembaga negara sebagaimana disebut dalam penafsiran luas dikurangi TNI dan Polri;
-          Penafsiran sempit yakni lembaga negara yang dikenal sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara ditambah dengan DPD, MK, dan KY.[71]

Berdasarkan pembagian kelembagaan negara diatas maka kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga negara yang hanya diberikan kewenangannya langsung oleh UUD 1945. Kedudukan lembaga negara yang diberikan kewenangan langsung dari UUD 1945 dapat menjadi legal standing bila mana lembaga negara bersengketa satu sama lainnya.
Dalam kaitannya dengan sengketa kewenangan antar lembaga negara, maka dasar hukum yang dapat dijadikan acuan adalah Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan tentang kewenangan MK, dimana salah satu kewenangan MK yaitu “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Hal ini sama halnya disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.[72]
Kejelasan mengenai definisi organ negara atau lembaga negara disebutkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966, Ketetapan MPRS No. XIV/ MPRS/ 1966, Ketetapan MPRS No. X/ MPRS/ 1969, dan Ketetapan MPR No. III/ MPR/ 1978. Dari semua ketetapan MPRS dan MPR tersebut dapat dilihat bahwa adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu lembaga tertinggi negara yaitu MPR, dan lembaga tinggi negara yaitu Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA. Setelah perubahan UUD 1945, kejelasan mengenai definisi lembaga negara juga tidak ditemukan, namun dalam UUD 1945 setelah perubahan dapat ditemukan sejumlah lembaga negara baik yang disebutkan secara tegas yang dibentuk dan diberikan kewenangannya dari UUD 1945 ataupun yang hanya disebutkan dalam UUD 1945 namun kewenangannya diatur lebih lanjut dalam undang-undang.[73]
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa penyebutan lembaga negara dalam UUD 1945 belum dengan sendirinya menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk lembaga negara yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawab dalam satu undang-undang. Dalam hal demikian berarti lembaga negara tersebut memperoleh kewenangannya dari undang-undang.
Kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan lembaga negara yang hanya dapat menjadi objek dalam sengketa hanyalah menyangkut kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Objectum litis sengketa kewenangan antar lembaga negara akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi pemohon dan termohon didepan persidangan MK.[74]
Oleh karenanya tidak semua lembaga negara yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara dan memenuhi keriteria sebagai organ negara, lembaga negara, ataupun badan negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersengketa dengan pihak lembaga negara lainnya.
Jimly lebih lanjut mengelompokkan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tidak lebih dari 28 subyek lembaga negara. Subjek hukum kelembagaan tersebut dapat disebut sebagai organ negara dalam arti luas. Secara tekstual pengelompokan lembaga negara diklasifikasikan berdasarkan urutan pasal dalam UUD 1945, yaitu sebagai berikut:
1)      MPR diatur dalam Bab II UUD 1945, yang berisi 2 pasal yaitu Pasal 2 terdiri dari 3 (tiga) ayat dan Pasal 3 terdiri dari 3 (tiga) ayat;
2)      Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 Ayat (1), dalam pengaturan mengenai kekuasaan pemerintahan negara berisi 17 (tujuh belas) pasal;
3)      Wakil Presiden, yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada Ayat (2) UUD 1945;
4)      Menteri dan Kementrian Negara yang diatur dalam Bab V UUD 1945, yaitu dalam Pasal 17 Ayat (1), (2), dan (3);
5)      Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang kekuasaan pemerintahan;
6)      Duta sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) dan (2) UUD 1945;
7)      Konsul seperti diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) UUD 1945;
8)      Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (2), (3), (4), (5), (6), dan Ayat (7) UUD 1945;
9)      Gubernur Kepala Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945;
10)  DPRD Provinsi seperti diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945;
11)  Pemerintahan Kabupaten sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Ayat (2), (3), (4), (5), (6) dan Ayat (7) UUD 1945;
12)  Bupati Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945;
13)  DPRD Kabupaten diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945;
14)  Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 Ayat (2), (3), (5), (6) dan (7) UUD 1945;
15)  Walikota Kepala Pemerintahan Daerah Kota seperti dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945;
16)  DPRD Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945;
17)  DPR diatur dalam Bab VII yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B UUD 1945;
18)  DPD yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri dari Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945;
19)  KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 Ayat (5);
20)  Bank Sentral yang ditentukan dalam Pasal 23D UUD 1945;
21)  BPK yang ditentukan dalam Bab VIIIA yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G UUD 1945;
22)  MA yang keberadaannya diatur dalam Bab IX yaitu Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
23)  MK yang ditentukan dalam bab yang sama dengan MA yaitu Bab IX yang keberadaannya diatur dalam Pasal 24 dan 24C UUD 1945;
24)  KY juga ditentukan dalam bab kekuasaan kehakiman yang keberadaannya diatur dalam Pasal 24B UUD 1945;
25)  TNI diatur tersendiri dalam bab pertahanan dan keamanan yaitu Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
26)  Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pengaturan yang sama dengan TNI;
27)  Satuan Pemerintahan Daerah baik yang bersifat khusus dan istimewa seperi dimaksud dalam Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945;
28)  Badan-badan lainnya yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman seperti kejaksaan dan diatur dalam undang-undang sebagaimana disebutkan Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945.[75]

Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa bentuk organisasi, dewan, badan atau komisi yang dibentuk dibagi dalam 6 (enam) tipe organisasi:
-          Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government arm’s length agency;
-          Tipe kedua, organ atau institusi sebagai local authority implementation agency;
-          Tipe ketiga yaitu organ/ intitusi sebagai public atau private partnership organization;
-          Tipe keempat, organ sebagai user – organization;
-          Tipe kelima, organ yang merupakan inter-governmental forum;
-          Tipe keenam yaitu organ yang merupakan joint boards.[76]

Perubahan terhadap kelembagaan Negara pada pokoknya menuntut respon yang adaptif dari organisasi Negara dan pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu negara semakin organisasi negara tersebut mengurangi perannya dan membatasi dirinya untuk tidak mencampuri dinamika urusan masyarakat dan mempunyai mekanisme kerja sendiri.[77]


[1] Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html, diakses pada tanggal 15 Maret 2010

[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990, hal. 336. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Mahdi Syahbandir bahwa penafsiran hukum merupakan cikal bakal proses yang melahirkan penemuan hukum. Mahdi Syahbandir, Dosen Pengajar pada Program Pasca Sarjana, wawancara, pada tanggal 6 April 2010.

[3] M.A. Loth, Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi Kecil, dialih bahasakan oleh Linus Doludjawa, Direktorak Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007, hal. 81

[4] Ibid, hal. 82

[5] Ibid, hal. 84

[6] Anonimous, Menelisik Tafsir Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 3, Mahkamah Konstitusi RI, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2006, hal 196

[7] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,  Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 154.

[8] Jimly Asshiddiqie, Pengantar … Op., Cit.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Soedikno Mertokususmo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hal 56-57

[12] John Z. Loudoe , Menemukan Hukum Op., Cit.,  hal 82

[13] Ahmad Syaukani dan A. Hasan Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 33
[14] Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta, 2006, hal 29

[15] K. C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2005, hal. 23-50

[16] Saldi Isra dan Feri Amsari, Perubahan Konstitusi Melalui Tafsir MK, http://feriamsari.wordpress.com/2009/01/29/perubahan-konstitusi-melalui-tafsir-mk/, diakses pada tanggal 21 Maret 2010

[17] Ibid, lihat juga dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation. diakses tanggal 5 Maret 2007, dijelaskan dalam website ini bahwa judicial interpretation adalah: a theory or mode of thought that explains how the judiciary should interpret the law, particularly constitutional documents and legislation. (sebuah teori atau cara untuk menjelaskan bagaimana peradilan melakukan penafsiran hukum, ….. dan perundang-undangan).

[18] Jimly Asshiddiqie, Pengantar  Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2005, hal 273

[19] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal 1. Sementara itu menurut Fatmawati menyebutkan bahwa konteks hak menguji yang terdapat pada kekuasaan kehakiman dimana hak tersebut disebut dengan toetsingrecht. Sehingga Fatmawati sendiri membedakan apa yang disebut dengan toetsingrecht dengan apa yang disebut dengan judicial review. Toetsingrecht merupakan hak menguji yang dimiliki oleh hakim, sementara itu judicial review yaitu peninjauan kembali yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Lihat dalam Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 5

[20] Fatmawati, Ibid, hal 1-2

[21] Ibid.

[22] Menurut Jimly, tidak hanya lembaga peradilan saja yang diberikan kewenangan untuk menguji norma namun juga diberikan pada lembaga lainnya yaitu legislative dan eksekuif dimana pengujian oleh legislative disebut dengan legislative review dan pengujian norma oleh lembaga eksekutif disebut dengan eksekutif review, lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara ... Loc., Cit.

[23] Lihat ketentuan dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945

[24] Yudha Bakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal 9-12

[25] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995, hal 67

[26] HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 180

[27] C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal 35

[28] Lihat dalam Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

[29] Lihat dalam Pasal 53 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

[30] Lihat dalam Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun  2003 tentang  Mahkamah Konstitusi

[31] Mahkamah Konstitusi, Korelasi Kewenangan Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 3, September, Jakart,  2006, hal 8
[32] Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, disampaikan pada saat tes fit and propert test pada tanggal 12 Maret 2008

[33] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1959, hlm. 250. Lihat juga dalam Teguh Satya Bhakti, Pola Hubungan Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial Menurut Amandemen UUD 1945 (Studi Tentang Peranan Komisi Yudisial Dalam Menjaga Kekuasaan Kehakiman Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006), Makalah Disampaikan dalam rangka memperingati HUT 50 Emas Jakarta di Universitas Nasional Jakarta, Jakarta, 2000, hal. 28

[34] Penafsiran yang dilakukan secara gramatikal adalah suatu bentuk interpretasi tekstual dimana seorang hakim terlihat dengan arti kata-kata dalam Konstitusi, bergantung pada pemahaman umum apa kata-kata yang berarti hari ini. Diambil dari situs http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2010

[35] Iskandar A. Gani, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah dan Program Pasca Sarjana Unsyiah, wawancara, pada tanggal 31 Maret 2010. Lihat juga dalam Koerniatmanto Soetoprawiro, Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Makalah, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Pada Universitas Katoli Parahyangan, Bandung, hal 1

[36] Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Dari Orla, Orba, Sampai Reformasi) Telaah Sosiologi Yuridis dan Yuridis Pragmatis, Krisis Jati Diri Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 45
[37]http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2288&Itemid=57 , diakses pada tanggal 15 Maret 2010

[38] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 6

[39] http://bhariwibowo.blogspot.com/2006/10/hans-kelsen.html, diakses pada tanggal  16 Maret 2007

[40] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal 20

[41]Ibid.

[42] Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal 21

[43] Ibid, hal 23

[44] Ibid, hal 30

[45] Kusnardi. Muh. dan Bintan .R. Saragih, Op, Cit., hal 60

[46] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal 255

[47] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op Cit, hal 12

[48] Soehino, Op., Cit., hal 35

[49] Maruarar Siahaan, Op Cit, hal 14

[50] B.J. Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan, Perjalanan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Thc Mandiri, Jakarta, 2006, hal 31

[51] Prasetyantoko. A., IGN. Wahyu Indrio, dkk, Gerakan Mahasiswa Dan Demokrasi Di Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Jakarta, 2001, hal 50

[52] Penyerahan kekuasaan eksekutif yang dilakukan secara konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang menyebutkan bahwa 

[53] Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal 2

[54] Ibid, hal 3

[55] Sri Soemantri, Prosedur .... Op., Cit., hal 95

[56] Lihat Pasal 7B UUD 1945 sesudah amandemen yang mengatur mengenai mekanisme impeachment

[57] Majda El-Muhtaj, Hak Azasi Manusia dalam Konstitusi Indonesi, dari UUD 1945 sampai dengan UUD 1945 amandemen tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2005, hal 85

[58] Refly Harun, Zainal AM Husein, Bisariyadi (editor), Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004,hal 9

[59] Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin, Op. Cit, hal 5

[60] Ibid. hal 6

[61] Ni’matul Huda, Politik … Op., Cit., hal 223. Lihat juga dalam buku Anonimous, Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Peradilan Konstitusi yang Modern Dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2004, hal 4
[62] Ni’matul Huda, Politik ... Op. Cit., hal 16

[63]  Ibid, hal 29

[64] Lihat dalam Pasal 4 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan “Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden”.

[65] Sri Soemantri, Kegundahan konstitusional sang Sri soemantri, KOMPAS, edisi sabtu, 29 April 2006, hal 5

[66] Jimmly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 98
[67] Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi,… Op., Cit., hal 58

[68] Jimly Asshiddiqie, Sengketa .... Op., Cit., hal 12

[69] Maruarar Siahaan, Hukum Acara ... Op., Cit., hal. 37

[70] Abdul Rasyid Thalib, Op. Cit, hal. 414

[71] Abdul Mukti Fajar, Sang Pengembala, Perjalanan Hidup dan Pemikiran Hukum A. Mukti Fadjar (Hakim Konstitusi Periode 2003-2008), Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal. 124

[72] Hal pengaturan yang sama juga diatur dalam Pasal 12 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam Pasal 29 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

[73] Abdul Mukti Fajar, Op., Cit., hal 125

[74] Jimly Asshiddiqie, Sengketa,… Op., Cit., hal 12. Sebagaimana disebutkan dalam bukunya jimly mengungkapkan bahwa dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadah, sedangkan functie adalah isinya. Organ adalah status bentuknya sedangkan fungsi adalah gerakan wadah sesuai dengan pembentukannya. Ibid, hal 45
[75] Ibid, hal 46-48

[76] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal 397

[77] Ibid, hal 390
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten