Subscribe Us

Selasa, 13 Desember 2011

DPRA Versus KIP ACEH


Oleh:

Zaki ‘Ulya, S.H.,M.H.
brazzo_jack@yahoo.com

(adalah Alumni Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, unsyiah dan juga sebagai Tenaga Pengajar pada UPT MKU-Unsyiah serta Tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Abulyatama)

A.      Pendahuluan
Konflik regulasi terkait pelaksanaan pemilukada di Aceh hingga saat ini masih menjadi perdebatan politik tingkat tinggi. Berbagai macam bentuk penyelesaian juga telah dilakukan, baik dengan pendekatan politik maupun pendekatan secara hukum. Isu utama yang diperdebatkan yaitu calon independen, lembaga yang berwenang dalam penyelesaian hasil pemilukada, serta surat ketetapan KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 juncto SK KIP Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 juncto SK KIP Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011 juncto SK Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh.
Penyelesaian tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011, yang pada inti amar putusannya menyebutkan memerintahkan KIP Aceh/KIP kabupaten/kota untuk melanjutkan tahapan pemilukada, menyatakan calon independen tidak bertentangan dengan MoU Helsinki, serta menegaskan bahwa MK adalah lembaga yang berhak dalam penyelesaian pemilukada.
Besar harapan dengan adanya putusan MK tersebut dapat menjadikan acuan untuk menghentikan konflik regulasi pemilukada serta pelaksanaan pemilukada dapat dilanjutkan tanpa kendala. Namun, realita yang terjadi di luar dugaan. Dimana pihak DPRA masih mempertanyakan keabsahan putusan MK tersebut tanpa menyebutkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011. Di satu sisi, KIP Aceh dan Pemerintah Aceh menyatakan siap melaksanakan putusan MK untuk melanjutkan tahapan pemilukada.
Perjuangan DPRA sendiri tidak hanya berhenti pada permohonan penyelesaian pemilukada saja. Namun, upaya tersebut dialihkan ke dalam permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi. Perkara ini didaftarkan dengan Nomor 6/SKLN-IX/2011.

B.       Definisi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Kajian Hukum Atas Legal Standing Antara DPRA vs KIP Aceh)
Pelaksanaan pemilukada di Aceh dapat diselenggarakan apabila telah disahkannya qanun tentang penyelenggaraan pemilukada. Proses pembahasan qanun ini terhenti, sehingga tidak mencapai kata sepakat antara legislatif dan eksekutif. Sehingga landasan hukum yang digunakan adalah qanun sebelumnya, yaitu Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penggunaan Qanun No. 7 Tahun 2006, disatu sisi pun masih menimbulkan perselisihan, yaitu ketentuan calon independen yang hanya berlaku satu kali pemilihan dan Mahkamah Agung merupakan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pilkada, pada masa tersebut. Namun, perselisihan tersebut telah diselesaikan dengan terbitnya Putusan Sela Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011, bertanggal 2 November 2011, serta putusan akhirnya yaitu No. 108/PHPU.D-IX/2011, bertanggal 24 November 2011.
Apabila dilihat menurut Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No.  8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat terhadap beberapa kewenangan absolut, termasuk putusan atas penyelesaian perselisihan hasil pemilu/pemilukada. Atas dasar tersebut, KIP secara tegas menentukan sikap untuk patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan melanjutkan tahapan pelaksanaan pemilukada Aceh.
Upaya pihak DPRA untuk menenegakkan UU No. 11 Tahun 2006 dan MoU, serta mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, dilakukan dengan mengalihkan permohonan menjadi permohonan sengketa kewenangan lembaga negara. Tepatnya dengan Perkara Nomor 6/SKLN-IX/2011. Substansi sengketa yang dimaksud pemohon yaitu KIP sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum dinilai telah melanggar kewenangan dalam menetapkan tahapan dan jadwal pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh tanpa berkoordinasi dengan DPRA.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf b juncto Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003, sebagaimana telah diubah dengan UU No.  8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5, 6, dan 7 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 menyebutkan bahwa Lembaga Negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945. Dan, Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. Secara harfiah jelas bahwa yang dimaksud dengan lembaga negara yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Artinya, yang berhak dan dapat menjadi pemohon maupun termohon adalah lembaga negara yang disebutkan secara konkret dalam UUD 1945. Sementara itu, kewenangan konstitusional merupakan kewenangan yang diberikan secara langsung oleh UUD 1945.
Bila ditinjau dari perselisihan antara DPRA dan KIP Aceh, maka dapat ditelusuri dengan meninjau status kelembagaan atas kedua lembaga tersebut. DPRA merupakan lembaga legislatif daerah yang disebutkan dengan jelas dalam UUD 1945. Dimana secara kelembagaan, DPRA merupakan bagian dari pemerintahan daerah yang disebutkan dalam Pasal 18, Pasal 18A UUD 1945. Sementara KIP Aceh yang mana disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KPU Nasional. Dan, KPU merupakan lembaga negara yang disebutkan dalam Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (5) UUD 1945. Walau kewenangan KIP Aceh ditentukan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KPU Nasional, maka secara kelembagaan antara KIP Aceh dan KPU merupakan satu kesatuan, sebagai lembaga negara yang juga kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu menyelenggarakan pelaksanaan pemilu dan pemilukada.
Walaupun antara kedua lembaga negara tersebut merupakan lembaga negara yang kewenangannya disebutkan maupun diberikan oleh UUD 1945, kedudukan hukum (legal standing) antara kedua lembaga tersebut dapat dinilai dari materi/muatan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon. Dan, penekanannya adalah materi/muatan permohonan tersebut merupakan kewenangan konstitusional yang disebutkan/diberikan oleh UUD 1945, dan mengakibatkan pihak pemohon tidak dapat menjalankan kewenangannya dikarenakan adanya intervensi dari termohon.
Perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut telah didaftarkan dengan nomor 6/SKLN-IX/2011, serta telah dilaksanakan sidang perdana pada tanggal 2 Desember 2011. Alasan utama yang dimohonkan oleh DPRA bahwa KIP tidak mempunyai wewenang dalam menetapkan aturan tahapan Pilkada jika bertentangan dengan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh terkait Pemilihan Kepala Daerah. KIP Aceh adalah lembaga yang diberikan kewenangan oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Karenanya, dalam mekanisme dan pelaksanaan tugasnya harus mengacu pada aturan Undang-Undang tersebut. Dan DPRA menyayangkan sikap  KPU Pusat mengeluarkan peraturan Pilkada dengan surat Nomor 235/2011 tanggal 2 Mei 2011 karena telah menganggu mekanisme pengaturan Pilkada di Aceh. (http://www.jpnn.com/read/2011/12/02/109903/KIP-Aceh-Diminta-Taati-Qanun-).
Alasan permohonan yang dimohonkan oleh DPRA (pemohon) disatu sisi justru tidak beralasan dan juga tidak tepat dalam bentuk sengketa kewenangan lembaga negara. Ketidak tepatan tersebut dapat dipahami dari materi/muatan permohonan tersebut. Dimana yang dimohonkan secara garis besar adalah pelaksanaan pemilukada yang mutlak merupakan kewenangan KIP Aceh. Sementara DPRA adalah lembaga legislatif daerah yang merupakan bagian dari pemerintahan daerah yang mempunyai kewenangan/fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, bukan menentukan pelaksanaan tahapan pemilukada. Sementara hubungan kedua lembaga tersebut hanya sebatas koordinasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 Ayat (1) huruf k UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berbunyi “melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”, juncto Pasal 59 huruf c UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu “menyampaikan laporan setiap tahap pelaksanaan pemilihan kepada DPRA untuk KIP Aceh dan DPRK untuk KIP kabupaten/kota dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat”.
Berdasarkan ketentuan dari kedua pasal tersebut, bahwa hubungan antara DPRA dan KIP Aceh hanya sebatas koordinasi terhadap pelaksanaan tahapan pemilukada dalam wujud evaluasi dan memberikan/menyampaikan laporan belaka, bukan diharuskan bertanggung jawab. Sebagai lembaga daerah yang ditentukan dan disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 2006, baik DPRA maupun KIP mempunyai kedudukan yang sama. Bukan sebagai atasan dengan bawahan. Logika hukum yang dapat dibangun adalah koordinasi tersebut terjadi dikarenakan dalam pelaksanaan tahapan pemilukada dilakukan dengan adanya penggunaan anggaran daerah yang merupakan salah satu fungsi DPRA dibidang anggaran. Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 65 Ayat (3) dan Ayat (4) UU No. 11 Tahun 2006. Maka, DPRA selaku lembaga penyedia anggaran menyalurkan anggaran kepada KIP Aceh sebagai lembaga pelaksana penyelenggaraan pemilukada, dan anggaran tersebut digunakan oleh KIP untuk keseluruhan tahapan pemilukada dari awal hingga selesai. Oleh karena itu, penekanannya adalah KIP sebagai lembaga yang menggunakan anggaran diharuskan memberikan laporan berkala kepada pemegang anggaran, yaitu DPRA terhadap keseluruhan tahapan pemilukada.
Kemudian dalam hal materi permohonan yang menyebutkan bahwa KIP Aceh tidak berwenang menetapkan tahapan pemilukada yang bertentangan dengan qanun. Dapat disimak dari asas perundang-undangan bahwa apa bila suatu rancangan qanun yang tidak mencapai kata sepakat antara legislatif dan eksekutif, maka qanun sebelumnya dapat digunakan sebagai dasar hukum. KIP menilai bahwa pelaksanaan tahapan pemilukada yang telah tertuang dalam beberapa surat keputusan dan ketetapan KIP telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk qanun. Maka dapat dibangun logika hukum yaitu dengan adanya Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, KIP telah menetapkan ketentuan tahapan pelaksanaan pemilukada. Kendala materi yang termuat dalam qanun tersebut dari calon independen hingga lembaga yang berwenang menyelesaikan pemilukada telah di tetapkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011.
Artinya, beberapa  ketentuan pasal dalam Qanun No. 7 Tahun 2006 terkait calon independen dan lembaga penyelesaian sengketa pemilukada dibaca dengan menyandingkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011. Maka, pelaksanaan pemilukada dengan adanya keikutsertaan calon independen dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang sebagai lembaga penyelesai sengketa pemilukada, telah terakomodir. Oleh karena itu, KIP sebagai lembaga yang berwenang menentukan jadwal dan tahapan pemilukada menggunakan Qanun No. 7 Taun 2006 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011, sebagai dasar hukum konkret.
Atas dasar analisa hukum di atas, bentuk kerugian kewenangan konstitusional yang dinilai oleh DPRA telah dihambat oleh KIP, tidak beralasan. Karena dari semua kewenangan maupun fungsi DPRA yang ditentukan dalam UU No. 11 Tahun 2006, tidak ada yang terhambat baik atas sikap dan kebijakan KIP yang telah menentukan jadwal tahapan pelaksanaan pemilukada.

C.      Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011 Merupakan Solusi Dalam Pelaksanaan Pemilukada Aceh
Berdasarkan hasil seminar yang di adakan oleh Asian Law Student’s Association (ALSA) pada Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala yang diselenggarakan pada tanggal 28 November 2011 menunjukkan bahwa kendala utama dalam pelaksanaan pemilukada hanya terletak pada anggaran. Hal tersebut diungkapkan oleh Husni Jalil, selaku pemateri dalam seminar tersebut.
Terdapat perbedaan penafsiran hukum dalam penggunaan anggaran atas tahapan pemilukada. Dimana kendala yang diperdebatkan yaitu penggunaan anggaran 2011 apakah bisa digunakan untuk tahun anggaran 2012, apabila pemilukada dilaksanakan pada februari 2012?. Artinya, seluruh instansi terkait diharapkan dapat segera merealisasikan pembahasan RAPBA tahun 2012 guna kelancaran pelaksanaan pemilukada. Hal tersebut ditujukan apabila penggunaan anggaran 2011 tidak dapat digunakan pada pelaksanaan pemilukada. (Husni Jalil: 2011 (4)).
Terkait dasar hukum dalam pelaksanaan pemilukada, telah jelas dan konkret disebutkan dalam Putusan No. 108/PHPU.D-IX/2011. Maka seharusnya, dari sudut regulasi peraturan perundang-undangan tidak ada permasalahan hukum lagi yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran. Bahkan salah satu pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menyebutkan MoU Helsinki sebagai bagian dari amar putusan.
Selain itu, dengan adanya Putusan No. 108/PHPU.D-IX/2011 tersebut. DPRA diharapkan “taat asas” dengan melaksanakan muatan putusan tersebut. Dan usulan penundaan pelaksanaan pemilukada pun dihentikan, dengan harapan tidak menimbulkan gejolak politik yang lebih panas lagi, dan masyarakat Aceh pun dapat menggunakan “hak dipilih dan hak memilih” sebagai wujud tujuan utama bagi otonomi di Aceh. []


DAFTAR PUSTAKA

Husni Jalil, Pro dan Kontra Pemilukada Aceh Ditinjau Dari Perspektif Hukum Tata Negara, Disampaikan Pada Seminar Nasional “Konflik Regulasi Pemilukada Aceh dan Solusinya”, Asian Law Student’s Association, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 28 November 2011

Anonimous, KIP Aceh Diminta Taati Qanun, http://www.jpnn.com/read/2011/12/02/109903/KIP-Aceh-Diminta-Taati-Qanun-, diakses pada tanggal 4 Desember 2011

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang No.  8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PHPU.D-IX/2011
Share:

Senin, 17 Oktober 2011

DEMOKRASI ACEH (yang) SEDANG BERCERMIN


Oleh:

Zaki ‘Ulya

(adalah Alumni Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, unsyiah dan juga sebagai Tenaga Pengajar pada UPT MKU-Unsyiah serta Tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Abulyatama)

A.    Pendahuluan (Asal Muasal Kekisruhan Politik Aceh)

Pasca pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pada tanggal 1 Agustus 2006 yang tertuang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Aceh telah menjadi salah satu provinsi dengan kriteria daerah otonomi seluas-luasnya. Bila dicermati lebih mendalam, muatan materi yang diatur dalam UUPA yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh layaknya kewenangan pemerintah pusat, seperti prihal pengaturan lembaga peradilan (Mahkamah Syar’iyah), kerjasama intenasional, perlindungan HAM (KKR maupun Peradilan HAM), bidang demokrasi, bidang agama, bahkan bidang moneter. Hal tersebut mencerminkan bahwa Aceh mempunyai wewenang yang sangat luas dalam mengatur rumah tangganya.
Sebagaimana tema yang diangkat, tulisan ini hanya membahas serta mengkaji bidang demokrasi yang hingga kini masih hangat untuk dikaji. Salah satu wujud pelaksanaan demokrasi di Aceh adalah penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Akhir-akhir ini, rencana penyelenggaraan Pemilukada Aceh masih belum jelas, yang disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah terkait payung hukum yang dijadikan landasan berpijak. Ketidak jelasan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap UUPA dengan Undang-Undang Nasional menyangkut pelaksanaan Pemilukada.
Silang pendapat perihal payung hukum pelaksanaan pemilukada  Aceh 2011 masih belum berujung. Qanun Pemilukada baru yang diharapkan dapat menjadi dasar pelaksanaan pesta demokrasi di Aceh tahun ini tak jelas nasibnya setelah DPR Aceh menghentikan pembahasan ulang.[1] Penghentian pembahasan yang dilakukan oleh DPR Aceh salah satunya adalah terkait materi yang mengatur tentang calon independen. Qanun pelnyelenggaraan pemilukada yang dimaksud adalah pembahasan perubahan Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagaimana disebutkan dan diatur dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, khususnya Pasal 33 disebutkan bahwa “qanun yang tak tercapai kesepakatan tak bisa dibahas lagi hasilnya yang sama dalam tahun sidang yang sama”. Maka dasar hukum pelaksanaan pemilukada 2011 masih menggunakan Qanun No. 7 Tahun 2006.
Sekilas memutar kembali kisah calon independen ke belakang, bahwa materi muatan calon independen diatur dalam Pasal 256 UUPA, yang hanya dapat berlaku 1 (satu) kali pelaksanaan Pemilukada telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, dan landasan putusan tersebut juga dengan melihat putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Argumentasi yang dapat ditarik terkait gagalnya pembahasan rancangan qanun penyelenggaraan pemilukada yang baru diantaranya terjadi silang pendapat tentang keikutsertaan calon independen pada pemilukada 2011, tidak adanya kesepakatan dalam pembahasan tersebut antara DPR Aceh dengan Gubernur. Ketidak jelasan “nasib” dari rancangan qanun pemilukada tersebut menyebabkan suasana politik dan demokrasi di Aceh menjadi tidak menentu. Bahkan kabar terkait tertundanya pembahasan rancangan qanun pemilukada terdengar sampai ke pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini bagian Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri sampai meminta kepada pihak terkait yang ikut dalam pembahasan rancangan qanun pemilukada tersebut untuk duduk bersama guna menyelesaikan problematika yang terjadi.[2]

B.     Perbedaan Penafsiran Terhadap Payung Hukum Penyelenggaraan Pemilukada (Upaya Mempertanyakan dan Menjawab Secara Hukum)
Adapun dasar hukum yang mejadi perdebatan hingga terjadinya perbedaan penafsiran meliputi UUPA khususnya Pasal 256 dan Pasal 269, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (maupun rancangan perubahannya), Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hingga Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Problematika hukum dimulai ketika Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 256 UUPA tentang calon independen dengan dasar Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, yang dinilai oleh DPR Aceh telah menghiraukan lembaga tersebut sebagai lembaga yang berhak dimintai keterangan/konsultasi menyangkut hal ihwal pengaturan UUPA. Pasal 269 Ayat (3) UUPA disebutkan “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. DPR Aceh akhirnya memutuskan mengajukan komplain ke Mahkamah Konstitusi soal pencabutan pasal 256 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) karena tidak melibatkan lembaga dewan seperti diatur dalam pasal 269 UUPA.[3]
Bentuk komplain yang diajukan oleh DPR Aceh adalah menolak putusan Mahkamah Konstitusi tentang dibolehkannya calon independen dalam pemilukada 2011. padahal disatu sisi, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat sejak diputuskan.  Alasan logis yang dibangun DPR Aceh adalah DPRA tak terima dengan pencabutan pasal itu. Sebab, selain dinilai mengutak-atik UUPA, cara itu dianggap tak menghargai kesepakatan damai MoU Helsinki.[4]
Sementara itu, Sabela Gayo mengutip pendapat Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dan bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim Konstitusi dalam perkara judicial review Pasal 256 UUPA menyebutkan bahwa dalam penyelesaian judicial review Pasal 256 UUPA, Mahkamah Konstitusi tidak perlu mendengarkan pendapat DPR Aceh, karena hal tersebut merupakan wewenang dari pemerintah dalam merubah, merevisi, ataupun mengamandemen suatu Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutuskan Undang-Undang yang diuji sah atau tidak, dan wewenang dalam merubah Undang-Undang ada pada Presiden dan DPR.[5]
Jadi, analisa hukum yang dapat dibangun adalah komplain yang diajukan DPR Aceh ke Mahkamah Konstitusi salah tempat. Karena yang digugat adalah putusan Mahkamah Konstitusi, bukan perubahan atas Pasal 256 UUPA. Dan, hingga kini belum ada berita dari pemerintah pusat untuk membahas perubahan Pasal 256 UUPA yang diamanatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, maksud dari “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini ....” dalam Pasal 269 UUPA adalah rencana perubahan UUPA yang akan dibahas di tingkat pemerintah pusat, bukan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya,  pernyataan “.... terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, maksudnya adalah pemerintah pusat sebelum melakukan pembahasan terkait perubahan materi UUPA harus berkonsultasi dan meminta pertimbangan kepada DPRA. Jadi kesimpulan/penafsiran yang dapat ditarik dari maksud Pasal 269 UUPA adalah pemerintah pusat harus melakukan koordinasi, berkonsultasi dan meminta keterangan ke DPRA sebelum melakukan perubahan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan disebutkan “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”. Dan terkait materi muatan suatu Undang-Undang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, khususnya huruf d yaitu “tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi”. Atas dasar tersebut, secara hukum DPRA telah salah langkah dalam melakukan komplain ke Mahkamah Konstitusi. Karena seharusnya, DPRA mengajukan komplain tersebut ke pemerintah pusat, dan dengan catatan, telah dilakukannya pembahasan perubahan UUPA.
Kekisruhan dan perbedaan pendapat juga terjadi di lapangan, khususnya terkait keberadaan Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Aceh. Dengan gagalnya pembahasan rancangan qanun penyelenggaraan Pemilukada 2011 dan ditetapkannya Qanun No. 7 Tahun 2006 sebagai landasan hukum, menyebabkan KIP Aceh “salah  langkah” dalam menetapkan Keputusan KIP. Sebagai payung hukum untuk Pemilukada Aceh 2011, menurut Abdullah Saleh, belum ada kesepakatan. Namun, fraksinya tak masalah jika qanun yang lama, yaitu Qanun 7 Tahun 2006 sebagai dasar pelaksanaan Pemilukada 2011. Akan tetapi, adanya harapan agar KIP Aceh konsisten dengan qanun itu dengan tak memasukkan calon independen.[6]
Pernyataan Abdullah Saleh dapat dipahami dan dinilai wajar, karena pengaturan calon independen dalam Qanun No. 7 Tahun 2006 menyebutkan hanya berlaku sekali saja. Kedudukan dari Qanun No. 7 Tahun 2006 merupakan amanah pasca berlakunya UUPA, dan Pemilukada pertama kali pasca diberlakukannya UUPA dan Qanun No. 7 Tahun 2006 telah diselenggarakan, sebagaimana diketahui pemenang dalam Pemilukada 2006 lalu adalah calon independen. Maka, apabila Qanun No. 7 Tahun 2006 dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan Pemilukada 2011 maka sudah selayaknya calon independen tidak dapat diikutsertakan dalam Pemilukada 2011.
Apabila dianalisa secara hukum, maka dapat dikaji antara aspek dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan terakhir Qanun No. 7 Tahun 2006. Inti dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010 adalah calon independen dapat diikutsertakan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilukada 2011, dengan dasar cerminan tingkat nasional pasca diputuskan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah dirubah sebanyak dua kali, dan terakhir yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2008.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 yaitu “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini”. Artinya dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 , calon independen di setiap daerah baik tingkat provinsi, dan kabupaten/kota dapat ikut sebagai peserta dalam pesta demokrasi daerah, disamping calon yang diusulkan oleh partai politik, maupun gabungan partai politik.
Kemudian, jika dilihat dalam UUPA sendiri, yang mana menurut DPRA merupakan aturan khusus bagi Aceh, calon independen hanya berlaku sekali dan hal ini secara tegas dipegang teguh oleh DPRA dalam pelaksanaan Pemilukada 2011. Namun, keputusan dan kebijakan telah ditetapkan bahwa dasar hukum dalam pelaksanaan pemilukada adalah Qanun No. 7 Tahun 2006, maka KIP Aceh diharapkan dapat segera menentukan regulasi/aturan pelaksana dari qanun tersebut. Yang menjadi kendala adalah apakah KIP Aceh berpedoman pada qanun ataukah putusan Mahkamah Konstitusi?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dikaji sebagai berikut. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 UUPA disebutkan KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Maka secara logika hukum yang dapat dibangun, KIP Aceh merupakan bagian dari KPU, dan KPU menentukan aturan pelaksana penyelenggara pemilu berdasarkan aturan nasional yang berlaku. Maka, KIP Aceh juga menentukan regulasi kebijakan pelaksana pemilu/pemilukada berdasarkan aturan hukum nasional yang berlaku, selain UUPA. Artinya, tanpa mengucilkan UUPA sebagai payung hukum di Aceh, KIP Aceh juga harus melaksanakan kewenangannya berdasarkan aturan hukum nasional, dan aturan nasional yang masih berlaku tentang penyelenggaraan pemilu adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2007.
Terkait tugas dan wewenang KIP Aceh maupu KIP Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 58 UUPA, yang setidaknya ada 12 (dua belas) wewenang KIP dalam pelaksanaan pemilukada, baik dari penetapan jadwal pemilukada hingga melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap pelaksanaan pemilukada. Namun, dalam Ayat (2) pasal tersebut disebutkan bahwa landasan pijak pelaksanaan wewenang KIP Aceh tidak hanya UUPA, namun juga segala peraturan perundang-undangan tingkat nasional.
Jawaban hukum, yang dapat dikemukakan adalah KIP Aceh juga harus patuh terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh KPU Pusat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010 merupakan salah satu dasar pijak pelaksanaan pemilukada di Aceh. Maka pembatasan terhadap wewenang KIP dalam menentukan regulasi yang menjadi aturan pelaksana pemilukada 2011 terkait tidak boleh dicantumkannya calon independen merupakan kekeliruan hukum. Penegasan keikutsertaan calon independen dalam Pemilukada 2011, disampaikan oleh Irwandi Yusuf bahwa Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 256 UUPA sehingga calon perseorangan menjadi sama dengan yang berlaku di provinsi lain.[7] Penegasan tersebut mengindikasikan bahwa apapun yang terjadi dengan suasana politik di Aceh, calon independen tetap akan ada di Aceh. Maka KIP Aceh disatu sisi, harus menetapkan regulasi pelaksana penyelenggaraan Pemilukada 2011 dengan keikut sertaan calon independen.
Selanjutnya, terkait langkah yang telah dilakukan oleh DPRA yaitu gugatan yang diajukan oleh DPRA terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010. DPRA dan elemen sipil yang menamakan diri Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra) melayangkan gugatan terhadap putusan judicial review Pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi.[8] Salah satu alasan gugatan tersebut yaitu putusan MK tentang permohonan judicial review Pasal 256 UUPA sama sekali tidak pernah melibatkan DPRA, sebagaimana diamanatkan Pasal 269 ayat (3) UUPA, yang menyatakan bahwa setiap perubahan terhadap isi UUPA harus dikonsultasikan dan mendapat pertimbangan DPRA. Hasbi Abdullah menegaskan, sesuai isi Pasal 18B (1) UUD ’45, negara mengakui dan menghormati kekhususan suatu daerah seperti Aceh yang diatur dengan undang-undang tersendiri.  Menurut Hasbi, UUPA adalah undang-undang khusus Aceh, dan itu mendapat jaminan dan pengakuan konstitusi.[9] Selain itu isi gugatan tersebut adalah menyangkut sengketa kewenangan antar lembaga menyangkut penyelenggaraan PemilukadaAceh.[10]
Hal tersebut tidak lepas dari tindakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 dapat menetapkan anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Padahal disisi lainnya, berdasarkan Pasal 60 Ayat (3) UUPA disebutkan “Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK”. Terlepas dari isi gugatan yang dimohonkan tersebut, Fopkra tetap mempertanyakan kepada Mahkamah Konstitusi tentang keabsahan pencabutan Pasal 256 tanpa melihat terlebih dahulu, Pasal 269 UUPA.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Banda Aceh Hospi Novizal Sabri menilai rencana DPRA untuk mengajukan komplain ke Mahkamah Konstitusi terkait putusan pencabutan pasal 256 UUPA sudah terlambat.[11] Argumentasi tersebut penulis nilai adsalah wajar, karena bercermin pada Pasal 24C UUD 1945 disebutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi, menjadikan setiap putusan yang telah diputuskan tidak dapat diajukan kembali dalam bentuk upaya hukum, sebagaimana Mahkamah Agung yang mengenal upaya hukum seperti Peninjauan Kembali (PK). Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 disebutkan “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Bila melihat dari sudut pandang hukum, seharusnya DPRA tidak dapat mengajukan komplain terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diputuskan dalam bentuk permohonan. Namun, dalam ketentuan Pasal 60 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 disebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”. Timbul pertanyaan, apakah DPRA melayangkan permohonan dengan dasar yang berbeda, ataukah dengan dasar yang sama seperti putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dianalisis secara hukum yaitu apabila prihal pengujian yang menjadi dasar permohonan adalah sama sebagaimana dasar permohonan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, maka sudah tentu Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima permohonan tersebut. Karena berdasarkan Pasal 60 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 disebutkan “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. Sebagaimana asas yang berlaku dalam hukum pidana mengenal istilah nebis in idem. Begitu halnya dengan permohonan yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 60 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 bahwa permohonan dapat dmohonkan apabila yang menjadi dasar permohonan dalam ketentuan UUD 1945 berbeda dengan permohonan sebelumnya. Maka dengan dasar tersebut, tentu DPRA/Fopkra dapat bersidang di muka Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan lainnya yang muncul yaitu apakah benar DPRA/Fopkra melayangkan permohonan dengan dasar yang berbeda?. Hingga tulisan ini dmuat belum ada berita maupun isu-isu yang khusus membahas mengenai dasar apa yang dimohonkan tersebut. Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan akan mempelajari berkas permohonan yang sudah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi tersebut.[12]

C.    Solusi Hukum Terkait Political Will Demokrasi di Aceh
Aceh yang pada awal dengan diberlakukannya UUPA diharapkan dapat menjadi “pilot project” bagi daerah lainnya dalam berdemokrasi. Namun, menjelang akhir tahun 2011 dengan ditentukannya pelaksanaan pemilukada Aceh dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan suasana politik di Aceh menjadi tidak menentu. Perbedaan penafsiran atas semua aturan hukum penyelenggaraan pemilukada menjadikan lembaga terkait masih belum dapat menentukan dasar hukum yang jelas. Seperti KIP Aceh maupun KIP Kabupaten/Kota dan juga lembaga eksekutif tingkat kabupaten kota. Tulisan kecil ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang terjadi, serta dapat memberikan gambaran atas dasar hukum yang dijadikan pedoman.
KIP Aceh maupun KIP Kabupaten/Kota sebagai satu-satunya lembaga independen yang bertugas menyelenggarakan pemilukada tetap berpegang kepada Undang-Undang nasional, seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 maupun Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Walaupun kewenangan KIP diatur jelas dalam UUPA, namun semua itu tidak akan lepas sebagai bagian dari KPU Pusat. Walaupun dari asas peraturan perundang-undangan mengenal istilah “lex specialis derogat lex generalis” (aturan hukum yang khusus menyampingkan aturan hukum yang umum), namun khusus untuk kasus di Aceh, pegangan hukum yang dapat dijadikan dasar oleh KIP adalah aturan hukum nasional yang berlaku umum. Tujuannya adalah untuk menghindari kekisruhan politik yang makin tidak menentu.
Selain itu, khusus untuk calon independen yang menjadi salah satu peserta pemilukada dapat diterapkan kembali di Aceh. Pemikiran logis yang terbangun yaitu Aceh yang pada awalnya menjadi pilot project bagi daerah lainnya dalam berdemokrasi, dan pertama kali mengenal calon independen, hingga kini telah diterapkan oleh daerah lainnya dalam setiap penyelenggaraan pemilukada berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Maka, kenapa tidak untuk Aceh pada tahun 2011 ini? Dimana berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, calon independen dapat ikut lagi dalam pemilukada, dengan dasar rujukannya adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Jadi kenapa tidak kita terapkan dan bercermin dari Undang-Undang tersebut terkait calon independen, karena Pasal 256 UUPA tidak berlaku lagi secara hukum.
Permasalahan gugatan yang diajukan oleh DPRA ke Mahkamah Konstitusi dengan mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya, dapat dinilai salah apabila yang menjadi dasar permohonannya adalah sama dengan alasan permohonan yang tertuang dalam Putusan No. 35/PUU-VIII/2010. Penulis, mengharapkan DPRA agar mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga pelaksanaan penyelenggaraan pemilukada 2011 di Aceh dapat terselenggara dengan baik dan lancar. Dan tentu, pelaksanaan penyelenggaraan pemilukada tersebut sukses dengan catatan adanya political will lembaga terkait, dan berusaha meredam kekisruhan politik yang terjadi selama ini. []


[1] Harian Kompas, Pembahasan Payung Hukum Pilkada Aceh Dihentikan, tanggal 13 September 2011
[2] Harian Analisa, Pembahasan Ulang Qanun Pilkada Harus Tuntas 19 September, 8 September 2011
[3] Harian Aceh Post, DPRA Ajukan Komplain ke Mahkamah Konstitusi, tanggal 8 Oktober 2011
[4] Ibid.
[5] Sabela Gayo, Putusan MK dan Masa Depan Perdamaian Aceh, http://www.lovegayo.com/8082/putusan-mk-dan-masa-depan-perdamaian-aceh.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2011
[6] Harian Kompas, Pembahasan... Loc., Cit.
[7] Harian Aceh, Gubernur Pastikan Ada Calon Independen di Aceh, tanggal 25 September 2011
[8] Serambi Indonesia, DPRA Gugat Putusan MK, tanggal 9 Oktober 2011
[9] Ibid.
[10] Harian Waspada, Putusan MK Final, DPRA Silakan Gugat, tanggal 12 Oktober 2011
[11] Harian Aceh Post, LBH: Komplain DPRA Sudah Terlambat, tanggal 15 Oktober 2011
[12] Harian Waspada, Putusan MK.. Loc., cit.
Share:

Selasa, 10 Mei 2011

TUNJUKKAN SIKAP & JUNJUNG ETIKA DALAM BERPOLITIK


Ditulis
Oleh:
Zaki ‘Ulya, S.H., M.H[1]
Kadiv. Litbang La-QUHP Aceh

A.    Pendahuluan

Pasca dikeluarkannya putusan MK mengenai calon independen, menjadikan wahana perpolitikan di Aceh, menjadi semakin riak. Sebagai dasar hukum, Putusan MK tersebut merupakan landasan kuat yang mengikat semua pihak, hal tersebut dikarenakan putusan MK bersifat erga omnes. Dengan adanya calon independen di Aceh, bila ditinjau dari segi hukum nasional maka Aceh telah sama dengan daerah lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terkait keberadaan calon independen dalam pilkada.
Kendala dan dilema terkait calon independen dimulai dari enggannya pihak legislatif dalam membahas aturan hukum sebagai wujud dari keikutsertaan calon independen dalam pilkada Aceh. Faktor yang dapat dlihat yaitu pihak legislatif masih menekankan unsur keistimewaan Aceh sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sehingga menurut pendapat pihak legislatif Aceh, MK seharusnya berkonsultasi lebih dahulu dengan legislatif Aceh dalam melaksanakan putusan MK.
Dalam persfektif demokrasi,  putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 256 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengenai pembatasan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah di Aceh, adalah keputusan yang sangat tepat. Ini semakin menegaskan keberadaan calon independen merupakan keniscayaan demokrasi.  Pesta demokrasi lima tahunan itu tidak lagi hanya monopoli partai politik sebagai pemegang kuasa tunggal dalam pencalonan kepada daerah. Tetapi juga menjadi milik publik, milik setiap individu.
Bila ditelaah lebih jauh maka dapat dilihat bahwa keengganan yag ditunjukkan legislatif dalam mereduksi calon independen dalam pembahasan qanun pilkada kedepan, merupakan sebuah takaran etika politik yang buruk. Namun, hal ini dibantah oleh Abdullah Saleh dengan keras pernyataan yang mengatakan bahwa penolakan terhadap calon independen dianggap skenario PA, karena takut independen yang akan memenangkan Pemilukada Aceh tahun 2011 ini.[2]
Ketidaksukaan partai politik terhadap jalur independen ini berpotensi diwujudkan ketika Dewan Perwakilan Rakyat Aceh melakukan revisi Qanun No. 7/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pembahasan terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan calon independen akan dilakukan secara ketat.[3]
Saling bantah membantah antara legislatif Aceh dalam menanggapi isu terkait calon independen yang berkembang tersebut, menurut penulis mengindikasikan kebobrokan sikap dan etika dalam politik. Akibatnya adalah terjadinya kesimpang siuran terhadap masyarakat dalam mendalami perkembangan informasi politik di Aceh. Sehingga memunculkan argumentasi lainnya dari masyarakat dengan berbagai macam bentuk penilaian.

B.     Pancasila Sebagai Standar Etika Dalam Berpolitik
Menurut Rousseau, sistem negara ini tak lain adalah sistem dictatorship. Sebab, sistem negara semacam ini belum memiliki basis yang kuat untuk mempertahankan diri, yakni dengan konstitusi yang merupakan dasar etika kenegaraan. Selain itu, Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa realisasi. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari gampangnya saja.
Pancasila telah disepakati oleh founding father sebagai landasan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pancasila mencakup lima sila dasar yang menjadi patokan bagi setiap elemen dalam negara, baik masyarakat maupun lembaga negara. Indonesia  merupakan  Negara    yang menganut  sistem  demokrasi,  dimana  kebebasan berpendapat pada setiap warga Negara tdak  lagi  menjadi hal  yang tabu, tapi kini  setiap  orang  berhak  mengeluarkan  pendapat mereka  selama  itu masih dalam batas kewajaran.
Tak perlu diragukan lagi bahwa bagi bangsa dan negara Indonesia Filsafat Politik politiknya adalah Filsafat Politik Pancasila  sekalipun adakalinya cara bangsa Indonesia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak sejalan dengan pancasila, dan bahkan pernah pula bertentangan dengan pancasila sekalipun, namun yang diukur dan diusahakan  bahwa seperangkat keyakinan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi masyarakat bangsa dan negara Indonesia adalah pancasila.[4]
Dalam pelaksanaan dan penelenggaraan negara, etika politik agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).[5]
Pancasila sebagai suatu system filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan yang menyangkut publik, pembagiaan serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Hal ini ditegaskan oleh Hatta takkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral Kemanusiaan agar tidak terjerumus kedalam machtstaats atau negara kekuasaan.
Atas dasar tersebut di atas, maka etika politik berlandaskan pancasila merupakan satu-satunya jalan bagi pihak legislatif dalam menunjukkan sikap dan moralitasnya kepada masyarakat. Sehingga tidak ada tanggapan dari masyarakat bahwa pihak legislatif hanya mementingkan kekuasaan dari pada pelaksanaan pilkada yang demokratis.

C.    Mewujudkan Moralitas Etika Legislatif yang Pancasila
Keberadaan calon independen merupakan refleksi persamaan keduduka masyarakat di depan hukum. Dimana setiap masyarakat dapat dipilih dan juga mempunyai hak untuk memilih. Hal tersebut merupakan realitas dalam mewujudkan pendidikan demokrasi bagi rakyat.
Keengganan dalam pembahasan rancangan qanun terkait persiapan pilkada Aceh, disatu sisi juga mengakibatkan lembaga lain terkait kesulitan dalam mengapresiasikan dan mengimplementasikan putusan MK. KIP Aceh merupakan lembaga yang merupakan aktor dalam pilkada. Disatu sisi, KIP Aceh tidak dapat menentukan aturan/ peraturan KIP terkait bila qanun pilkada belum disahkan, hal tersebut dikarenakan peraturan KIP mengacu pada qanun sebagai landasan hukum.
Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari ”molor”nya pembahasan rancangan qanun. Keengganan dapat diartikan sebagai wujud dari ”budaya santai”.  Bila budaya santai tersebut dibiarkan maka akan mengubah tatanan prilaku dan juga sikap. Sebagai wakil rakyat yang dituntut mengakomodasi segala kepentingan rakyat, seharusnya pihak legislatif mencerminkan budaya ”cepat tanggap”.
Budaya cepat tanggap terhadap segala aspirasi masyarakat mengindikasikan kepeduliaan wakil rakyat terhadap masyarakat. Artinya, kepentingan publik lebih dikedepankan dari pada kepentingan pribadi maupun golongan. Disatu sisi, Pancasila sebagai dasar dalam tatanan kehidupan berbangsa juga lebih menempatkan kepentingan publik dari pada kepentingan pribadi maupun golongan.
Maka, untuk selanjutnya diharapkan kepada pihak legislatif sebagai salah satu instansi yang berwenang dalam hal legislasi daerah, dapat dengan bijak segera merubah pandangan politik megenai keberadaan calon independen. Calon independen adalah kebutuhan politik publik yang seharusnya dapat diakomodir dalam bentuk legal formal yaitu qanun. Sehingga, partisipasi calon independen dalam pelaksanaan pilkada ke depan, dapat menambah pilihan publik dalam berpolitik menuju wahana pendidikan demokrasi sesuai dengan pancasila. []


[1] Penulis juga adalah Staf pengajar Pendidikan Kewarganegaraan pada UPT-MKU Universitas Syiah Kuala dan juga alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Syiah Kuala
[2] Hayatullah Zuboidi, Partai Aceh Berani Bersaing Dengan Calon Independen, The Globe Journal, Rabu, 23 Maret 2011
[4] Kaelan, Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi 2004, Paradigma, Yogyakarta, 2004, hal. 3
[5] Suseno Von Margnis, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. PT. Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 115
Share:
Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten