Subscribe Us

Senin, 08 November 2010

KONSEP TEORI DALAM SISTEM KELEMBAGAAN NEGARA (Suatu Tinjauan Legal Standing Mahkamah Konstitusi Terkait Kasus Sengketa Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial)


1. Landasan Teoritis
  1. Teori Negara Hukum
Ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechts staat dan the rule of law) mengandung pengertian bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintah untuk tunduk pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan diatas hukum (above to the law).[1]
Atas dasar pernyataan diatas maka tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power) baik pada negara berbentuk kerajaan maupun republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung pengertian pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian kekuasaan. Oleh sebab itu, negara berlandaskan hukum memuat unsur pemisahan atau pembagian kekuasaan.[2]
Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya .maka menurutnya yang memerintah negara bukanlah manusia melainkan “pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.[3]
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang berlandaskan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yaitu negara republik indonesia adalah negara hukum.[4] Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan.
Dalam kepustakaan Indonesia sudah sangat  populer dengan penggunaan istilah “negara hukum”, yang merupakan terjemahan langsung dari istilah “rechtsstaat”.[5] Di samping istilah rechtsstaat, istilah lain yang juga sangat populer di Indonesia adalah the rule of law, yang juga digunakan untuk maksud negara hukum.[6]
Muhammad Yamin menggunakan kata negara hukum sama dengan rechtsstaat atau government of law, jelasnya mengatakan bahwa:
“Republik Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.”[7]

Pengertian yang mendasar dari negara hukum, dimana kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum  atau negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.[8]
Prinsip utama negara hukum adalah adanya asas legalitas, peradilan yang bebas, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Artinya, tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum, jadi hukum haruslah diatas kekuasaan.[9] Dalam konteks inilah UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Hukum justru membuat kekuasaan menjadi sah dengan menunjukkan mekanisme penyelenggaraan dan batas suatu tindakan. Peradilan haruslah merdeka dari pengaruh pemerintah dan perlindungan hak asasi manusia dijalankan.[10]
Cita hukum Indonesia adalah Pancasila sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Salah satu norma paling mendasar didalam cita hukum adalah cita tentang keadilan, artinya hukum diciptakan haruslah hukum yang adil bagi semua pihak.[11]

  1. Teori Organ
Setiap negara dijalankan oleh organ negara yang diatur dalam konstitusi. Pengaturan kewenangan organ negara dalam konstitusi dimaksudkan agar tercipta keseimbangan antara organ negara yang satu dengan lainnya (check and balances). A. Hamid Attamimi menyebutkan bahwa konstitusi adalah pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.[12]
Secara umum, konstitusi dapat dikatakan demokratis mengandung prinsip dalam kehidupan bernegara yaitu salah satunya adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politica dan adanya kontrol serta keseimbangan lembaga-lembaga pemerintahan.[13]
Pemahaman mengenai organ negara dikenal dengan trias politica yang berarti bahwa kekuasaan negara dilaksanakan oleh tiga cabang kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan tersebut diatur dan ditentukan kewenangannya oleh konstitusi.
Secara definitif alat-alat kelengkapan negara atau lazim disebut lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.[14] Sebagaimana pengertian diatas maka dalam penerapan sistem ketatanegaraan Indonesia menganut separation of power (pemisahan kekuasaan).
Pada sistem ini terdapat 3 (tiga) macam cabang kekuasaan yang terpisah, yaitu eksektif dijalankan oleh Presiden, legislatif dijalankan oleh DPR, dan yudikatif dijalankan oleh MA. Pada masa sekarang prinsip ini tidak lagi dianut, karena pada kenyataannya tugas dari lembaga legislatif membuat undang-undang, telah mengikutsertakan eksekutif dalam pembuatanya. Sebaliknya pada bidang yudikatif, prinsip tersebut masih dianut, untuk menjamin kebebasan dan memberikan keputusan sesuai dengan prinsip negara hukum.[15]
Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari konsep separation of power berdasarkan teori trias politica menurut pandangan Monstesque, harus dipisahkan dan dibedakan secara struktural dalam organ-organ negara yang tidak saling mencampuri dan urusan organ negara lainnya.[16]
Selain konsep pemisahan kekuasaan juga dikenal dengan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power). Arthur Mass membagi pengertian pembagian kekuasaan dalam 2 (dua) pengertian yaitu:
-          Capital division of power, yang bersifat fungsional; dan
-          Territorial division of power, yang bersifat kewilayahan.[17]
Muh. Kusnardi dalam bukunya juga menyebutkan bahwa:  kegunaan dari prinsip trias politica yaitu untuk mencegah adanya konsentrasi kekuasaan dibawah satu tangan dan prinsip checks and balances guna mencegah adanya campur tangan antar badan, sehingga lembaga yang satu tidak dapat melaksanakan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi  [18]
Hal ini dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan secara vertikal dan secara horizontal. Dalam konteks vertikal, pembagian dan pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk membedakan kekuasaan pemerintah atasan dan pemerintah bawahan, seperti halnya negara federal atau antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bagi negara kesatuan.



  1. Teori Pembagian Kekuasaan
Proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka harus dipahami tentang prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan dan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga  negara.  Dengan  penegasan  prinsip  tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Adanya pergeseran prinsip pembagian kepada pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[19]
Konsep pembagian kekuasaan menurut UUD 1945 sebelum amandemen yaitu bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem pembagian kekuasaan menurut UUD 1945 sebelum amandemen dapat dianggap sebagai pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan setelah amandemen UUD 1945 sistem yang dianut adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances.[20]
Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali maka lembaga negara yang dapat merumuskan politik hukum nasional ada 2 (dua) lembaga negara yaitu MPR dan DPR. MPR dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa kata mengubah dan menetapkan merupakan bahwa kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan mengubah.[21]
Pemahaman kekuasaan negara juga tidak lepas dari konsep organ negara selaku lembaga pelaksana kekuasaan negara. Setiap organ negara mempunyai kewenangan yang diatur dalam konstitusi. Mengenai keberadaan organ negara ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadah, sedangkan functie adalah gerakan suatu wadah yang sesuai dengan maksud pembentukannya.[22]
Organ atau lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam konstitusi dapat menjalankan fungsinya sebagaimana kewenangan yang melekat pada organ tersebut. Sehingga organ yang satu tidak dapat menjalankan kewenangan organ lainnya dan dapat mencegah terjadinya sengketa kewenangan antar organ negara.
Dalam UUD 1945, tiap organ negara ada yang disebutkan namanya secara eksplisit dan ada pula yang disebutkan secara eksplisit hanya fungsinya. Selain itu, ada juga lembaga atau organ yang disebutkan baik nama maupun fungsinya yang kemudian diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.[23]
Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebelum amandemen UUD 1945 sebagai lembaga tertinggi negara. kewenangan MPR salah satunya adalah mengubah dan menetapkan UUD 1945. Menurut ketentuan dalam teori pembagian kekuasaan, MPR selaku lembaga tertinggi mempunyai hubungan horizontal dengan lembaga tinggi negara lainnya. Hubungan tersebut juga ditentukan dalam TAP MPR-RI No III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga Tinggi Negara.
Kewenangan dalam mengubah dan juga menentukan UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945, dimana UUD 1945 diubah dengan syarat adanya kehadiran anggota MPR sebanyak 2/3 anggota dan membutuhkan suara sebanyak 2/3 suara dari total anggota yang hadir.
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan kesepakatan dasar dalam mengamandemen UUD 1945 yaitu sebagai berikut:
-          Tidak mengubah bagian pembukaan UUD 1945;
-          Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
-          Perubahan dilakukan dengan adendum;
-          Mempertegas sistem Presidensil;
-          Penjelasan dalam UUD 1945 ditiadakan, hal normatif dalam bagian penjelasan diangkat kedalam pasal-pasal.[24]
Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti semua entitas hukum tertulis atau hukum kasus yang mempengaruhi konstitusi. Dalam pengertian sempit, berarti hanya hukum yang termuat dalam dokumen yang selanjutnya disebut sebagai konstitusi dan undang-undang untuk mengubah dan mengamandemen konstitusi harus disahkan dengan disertai beberapa tahapan kusus seperti yang ditetapkan dalam konstitusi semula.[25]
Secara harfiah logika hukumnya, MPR selaku lembaga yang mengubah dan menetapkan UUD 1945, maka MPR yang dapat menjaga dan juga menafsirkan UUD 1945. Perubahan  terhadap UUD 1945 juga dilakukan salah satunya dengan adendum hanya menambahkan ketentuan umum yang diatur dan disebutkan dalam penjelasan UUD 1945.[26]
Sistem kerjasama antar lembaga negara tidak lagi bersifat horizontal, hal ini disebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara. Kedudukan MPR kini sama dengan lembaga negara lainnya, baik dengan lembaga eksekutif, legislatif dan juga lembaga yudikatif.
Pasca amandemen UUD 1945, telah dibentuk lembaga yudikatif baru yang bertugas untuk menjaga dan menafsirkan konstitusi, yaitu MK. Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 24C UUD menyebutkan kedudukan dan kewenangan MK sebagai lembaga negara bidang yudikatif. Oleh karena itu, telah terjadi peralihan kewenangan dalam menafsirkan konstitusi dari MPR kepada MK.
Dalam pandangan hukum menyebutkan bahwa MPR merupakan lembaga negara yang menetapkan konstitusi semestinya dapat menafsirkan konstitusi. Pasca amandemen UUD 1945 sendiri, MPR memberikan kewenangan dalam menjaga konstitusi serta menafsirkan konstitusi pada lembaga negara lainnya yang dibentuk melalui UUD 1945, yaitu MK. Peralihan kewenangan dalam menafsirkan konstitusi dari MPR pada MK merupakan terobosan hukum baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena MK dapat menafsirkan konstitusi maka MK menafsirkannya sebagaimana tugas dan kewenangannya dalam bidang yudisial.
Dalam melakukan fungsi peradilan terkait kewenangan MK yang diatu dalam Pasal 24C UUD 1945 tersebut, MK melakukan penafsiran terhadap konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan konstitusi, karena disamping sebagai pengawal konstitusi, MK juga disebut sebagai the sole interpreter of the constitution.[27]
Pembentukan MK merupakan dalam rangka menyempurnakan pelaksanaan reformasi konstitusional yang integral menuju proses demokratisasi yang berfungsi untuk menggantikan fungsi MPR dalam hal menafsirkan konstitusi.[28]

  1. Teori Atribusi dan Delegasi Kekuasaan
Sistem kelembagaan negara dengan mekanisme check and balances menjadikan kelembagaan negara terpisah antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lainnya. Pengaturan lembaga negara diatur dalam konstitusi sebagaimana bentuk dan fungsi lembaga tersebut. Konstitusi merupakan dasar hukum peraturan perundang-undangan tertinggi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga yang berwenang dalam menetapkan dan mengubah UUD 1945.[29] Kedudukan MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat yang dilakukan berdasarkan UUD 1945. Sebagaimana hakikat kelembagaan, MPR merupakan lembaga politik dimana anggota MPR merupakan lembaga perwakilan politik. Hakikatnya, sebagai lembaga yang menetapkan konstitusi, MPR juga yang dapat menafsirkan konstitusi.
Tuntutan reformasi yang menginginkan adanya penegakan supremasi hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima menyebabkan MPR sebagai lembaga yang berwenang menetapkan dan mengubah UUD 1945, memberikan kewenangan dalam menafsirkan konstitusi pada lembaga baru yang kedudukan dan kewenangannya diatur lebih lanjut dalam konstitusi sendiri, yaitu MK. Hal ini menjadikan kewenangan dalam menjaga dan menafsirkan konstitusi beralih pada MK.
Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi.[30]
Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang (delegasi). Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan Hukum Tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ negara dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh konstitusi maupun pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.[31]
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.[32]
Pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang. Hal ini tercermin dalam kedudukan MPR memberikan delegasi kewenangan dalam menjaga dan menafsirkan konstitusi berdasarkan UUD 1945 pada MK.[33] Baik wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun berdasarkan pelimpahan sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan bahwa yang melimpahkan benar memiliki wewenang tersebut dan wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi atau peraturan perundang-undangan.[34]
Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan, sedangkan dalam delegasi terjadi pelimpahan wewenang yang telah ada oleh Badan yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya. Pada atribusi maupun delegasi, adapun pihak yang bertanggung jawab kepada pelaksanaan tugas bersangkutan dibebankan kepada penerima kewenangan.[35]
Perbedaan Delegasi dan Mandat adalah jika Delegasi terdapat pelimpahan wewenang, kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli, terjadi peralihan tanggung jawab, harus berdasarkan Undang-Undang, dan harus tertulis, sedangkan jika Mandat terdapat perintah untuk melaksanakan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh mandans, tidak terjadi peralihan tanggung jawab, tidak harus dengan Undang-Undang, dan dapat tertulis atau lisan.
Wewenang pemerintahan adalah bersifat terikat, yakni apa bila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, bersifat Fakultatif yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak wajib menerapkan wewenangnya atau masih ada pilihan yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, bersifat Bebas, yaitu peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan atau pejabat untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya.[36]

2.      Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Perubahan UUD 1945 yang diamandemen sebanyak 4 (empat) kali belum cukup memberikan definisi, pengertian dengan jelas apa yang dimaksud dengan lembaga negara. Hal ini disebabkan karena dalam UUD 1945 hasil perubahan juga menggunakan istilah “Komisi” dan “Badan” pada salah satu lembaga negara. Permasalahan tersebut diakibatkan karena pada saat perubahan UUD 1945 dalam sidang istimewa MPR, para pembuat undang-undang atau tim penyusun UUD yang disebut Komisi Konstitusi, tidak mempunyai waktu yang banyak untuk menyempurnakan susunan UUD 1945 tersebut. Karena dikhawatirkan akan terjadinya penafsiran konstitusi yang tidak sesuai, hal ini menjadi tugas MK sebagai lembaga yang bertugas untuk menafsir konstitusi.
  Kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yaitu “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk ........... , memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945”.
Sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan sistem pemisahan kekuasaan ini lembaga negara menjadi kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya.[37]  Maka lembaga negara mempunyai kewenangan yang terpisah dari dengan lembaga negara lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya monopoli kekuasaan terhadap kewenangan lembaga negara lain, sesuai dengan prinsip checks and balances.
Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 mempunyai kekuasaan masing-masing dalam menjalankan tugasnya. Apabila terjadi suatu penyalahan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga negara lain secara inkonstitusional maka hal tersebut dapat membuat struktur kelembagaan tidak jelas. MK selaku lembaga penyelesai sengketa berwenang dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Dalam UUD 1945 setidaknya terdapat beberapa lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, diantaranya yaitu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD. MPR, MK, MA, BPK, Menteri dan Kementerian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, KY, KPU, Dewan Pertimbangan Presiden, Pemerintahan Daerah Provinsi, Gubernur Kepala Pemerintahan Daerah, DPRD Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten, DPRD, Pemerintahan Daerah Kota, Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota, DPD Kota, dan Satuan Pemda Khusus/istimewa.
Dari beberapa lembaga negara tersebut setidaknya ada beberapa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, KY, MK, BPK, dan KPU. Selebihnya adalah lembaga negara yang hanya disebutkan dalam UUD dan kewenangannya diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang, seperti KPI dengan UU No. 32 Tahun 2002, Bank Sentral dengan UU No. 10 Tahun 1999, KPPU dengan UU No. 5 Tahun 1999, Komisi Nasional HAM,  dan lain sebagainya.[38]
Setelah perubahan UUD 1945, banyak sekali pengertian lembaga negara yang kita temukan didalamnya. Maka untuk itu perlu membedakan antara lembaga negara UUD 1945 dengan lembaga negara lainnya setelah perubahan UUD 1945. Menurut Abdul Rasyid, setidaknya ada 6 ( enam ) alasan untuk membedakan lembaga negara tersebut yaitu:
a)      Ada “lembaga UUD 1945” juga sekaligus menjadi lembaga negara, misalnya Presiden, DPR, DPD, dan MK, sedangkan pemerintah daerah bukan “lembaga negara”.
b)      Ada lembaga UUD yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945, tetapi ada juga lembaga UUD yang kewenangannya akan diatur lebih lanjut dalam bentuk undang-undang, misalnya pemerintah daerah yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.
c)      Ada “lembaga UUD 1945” yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, tetapi kewenangannya tersebut tidak bisa diuji oleh MK. Misalnya kewenangan MK itu sendiri.
d)     Ada “lembaga negara” yang kewenagannya diberikan oleh UUD 1945, tetapi tidak dapat diuji kewenangannya oleh MK yaitu MA.
e)      Ada juga lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945, tetapi bukan termasuk lembaga UUD 1945 dan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, misalnya KY.
f)       Ada juga lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945, tetapi bukan termasuk “lembaga UUD 1945” dan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam bentuk undang-undang, misalnya Bank Sentral ( Pasal 23D ), KPU ( Pasal 22E ayat (5) ), TNI dan POLRI ( Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002), dan kejaksaan ( Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 ).[39]

Baik dalam UUD 1945 maupun UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak memaparkan dengan jelas apa/siapa yang dimaksud dengan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD hingga menimbulkan multi tafsir, yaitu:
-          Penafsiran luas yaitu mencakup semua lembaga negara yang namanya tercantum dalam dan kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu: MPR, Presiden/ Wakil Presiden, DPR, DPD, BPK, KPU, MA, KY, MK, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/ Walikota, DPRD Kabupaten/ Kota, TNI dan Polri;
-          Penafsiran moderat yaitu mencakup semua lembaga negara sebagaimana disebut dalam penafsiran luas dikurangi TNI dan Polri;
-          Penafsiran sempit yakni lembaga negara yang dikenal sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara ditambah dengan DPD, MK, dan KY.[40]
         Ada pula kelompok lembaga-lembaga negara yang memang murni ciptaan undang-undang yang tidak memiliki apa yang disebut di atas sebagai “constitutional importance”.  Misalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang juga dibentuk berdasarkan undang-undang, tetapi agak jauh untuk mengaitkannya dengan prinsip “constitutional importance”. Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga negara lainnya yang dibentuk berdasarkan peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang, seperti misalnya Komisi Nasional Ombudsman (KON) yang baru dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (sekarang baca: Peraturan Presiden). Dalam praktek, ada pula beberapa lembaga daerah yang dapat pula disebut sebagai varian lain dari lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah. Semua itu dapat disebut sebagai lembaga negara, tetapi bukan lembaga yang memiliki “constitutional importance”, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang bersifat konstitusional dalam arti luas.[41]
Berdasarkan pembagian kelembagaan negara diatas maka kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga negara yang hanya diberikan kewenangannya langsung oleh UUD 1945. Kedudukan lembaga negara yang diberikan kewenangan langsung dari UUD 1945 dapat menjadi legal standing bila mana lembaga negara bersengketa satu sama lainnya.

3.      Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Kedudukan MK sebagai lembaga negara yang bertugas mengawal dan menafsirkan konstitusi disebutkan dalam Pasal 24C UUD 1945, yang kemudian dijabarkan kembali dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Setiap peradilan yang akan memeriksa suatu perkara mempuyai asas-asas peradilan yang baik yang telah dianut dalam undang-undang hukum acara, undang-undang kekuasaan kehakiman, yang telah diakui secara universal. Menurut Maruarar Siahaan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Persidangan terbuka untuk umum;
2)      Independen dan imparsial;
3)      Peradilan dilaksanakan secara sepat, sederhana, dan murah;
4)      Hak untuk didengar secara seimbang ( Audi et alteram partem);
5)      Hakim aktif dan pasif dalam proses persidangan;
6)      Adanya Ius Curia Novit.[42]
Sedangkan menurut Fatkhurrahman dkk berpendapat bahwa asas-asas hukum acara MK terbagi dalam beberapa macam:
a.       Asas putusan final;
b.      Asas praduga rechtmatig;
c.       Asas pembuktian bebas;
d.      Asas keaktifan hakim konstitusi;
e.       Asas putusan memiliki kekuatan hukum mengikat;
f.       Asas non interfentif/indenpensi
g.      Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan;
h.      Asas objektifitas;
i.        Asas sosialisasi.[43]
Sumber utama dalam mencari hukum acara adalah undang-undang hukum acara yang dibuat khusus untuk itu. Akan tetapi sebagaimana telah diketahui bahwa dikarenakan kurangnya waktu untuk menyusun hukum acara menyebabkan hukum acara tersebut menjadi kurang lengkap. Peraturan MK sendiri yang dibentuk masih sangat terbatas karena perkembangan dalam praktek yang dilaksanakan oleh MK masih bersifat dinamis.[44]
Dalam praktek MK masih membutuhkan hukum acara yang lain seperti hukum acara perdata, acara pidana, dan acara TUN yang telah diakui karena dalam proses persidangan MK memutus perkara tertentu dengan mempertimbangkan aturan hukum acara tersebut. Oleh karenanya yurisprudensi MK juga manjadi sumber yang penting dan juga putusan-putusan MK negara lain yang menyangkut sumber hukum acara dapat dijadikan acuan.[45]
Dari uraian diatas maka sumber hukum acara bagi MK adalah sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
b.      Peraturan Mahkamah Konstitusi;
c.       Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi;
d.      Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Acara Pidana, dan Acara TUN;
e.       Doktrin; dan
f.       Hukum Acara dan yurisprudensi MK negara lain.[46]
Pelaksanaan kewenangan MK diatur dengan spesifik dalam UU No. 24 Tahun 2003, dimana dalam menjalankan ketentuan sebagaimana diatur maka MK membutuhkan mekanisme dalam beracara. Terkait hukum acara MK sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK.[47]
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Maksud final dalam pasal tersebut adalah tidak adanya upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh setelah putusan ditetapkan oleh MK, dan mengikat mengandung makna bahwa putusan MK merupakan putusan yang mengikat bagi pemohon dan termohon sehingga adanya kewajiban untuk menaati putusan tersebut.[48]
Terkait kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, proses beacara MK diatur dalam Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003. Pihak dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara dalam UU No. 24 Tahun 2003 disebut dengan pemohon dan temohon. Pasal 61 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.”[49]
Permasalahan yang kemungkinan muncul tidak akan berhenti pada penafsiran-penafsiran tentang lembaga negara, namun jika MK bersengketa dengan lembaga negara lainnya itu juga merupakan masalah yang sangat berdampak besar, terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan kehakiman. Selain itu peluang terjadi sengketa antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sangat mungkin terjadi, dan hal tersebut juga akan menimbulkan masalah yang tidak kalah peliknya dengan masalah lain yang kewenangan penyelesaiannya dimiliki oleh MK.[50]
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan MK No. 8 Tahun 2006 menyebutkan bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:
a.          Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b.         Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c.          Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d.         Presiden;
e.          Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f.          Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g.         Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Pernyataan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) peraturan MK tersebut menyebabkan kriteria lembaga negara yang dapat menjadi legal standing pada MK menjadi sempit. Hal ini menjadi kewenangan MK dalam melakukan penafsiran tentang lembaga negara yang dapat menjadi pihak bepekara pada MK. Namun dalam Ayat (3) Pasal tesebut menjelaskan tentang keterbatasan lembaga negara yang dapat menjadi legal standing pada MK yaitu MK sebagaimana disebutkan yaitu “Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial).”[51]
Majelis hakim berwenang untuk meminta penjelasan pemohon terhadap materi permohonan yang mencakup legal standing atau kedudukan hukum para pihak, meminta kepada para pihak baik pemohon maupun termohon untuk menghentikan sementara waktu kewenangan yang dipersengketakan tersebut.[52] Dalam persidangan MK dilakukan berdasarkan sifat terbuka untuk umum. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat berlaku sejak putusan dibacakan dan MK wajib memberikan salinan keputusan tersebut kepada Presiden, DPR, DPD dan lembaga lainnya yang dipandang perlu paling lambat selama 7 (tujuh) hari sejak keputusan dibacakan. Keputusan yang dibacakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap setelah dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.[53]



[1] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, 2003, hal 11

[2] Loc., Cit

[3] Aristoteles, Politik (La Politica), diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Benjamin Jowett dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Syamsur Irawan Khairie, Cetakan Kedua, Visimedia, Jakarta, 2008, hal 43

[4] Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh atau pasal-pasalnya, tidak ditemukan rumusan atau istilah “negara hukum”. Namun demikian dalam Penjelasan Umumnya, yaitu dalam penjelasan “Sitem Pemerintahan Negara” disebutkan bahwa “Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat)”. Faisal A. Rani, Konsep Negara Hukum, Bahan Kuliah Perkembangan HTN, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2009, hal 29

[5] Ibid, hal 1

[6] Loc., Cit

[7] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hal. 72

[8] Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, 1995, hal. 1-2

[9] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Partai Politik, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal 90

[10] Loc., Cit. terkait kemerdekaan dan kebebasan lembaga yudisial, dalam hal ini yaitu hakim, dapat dipahami dalam dua segi yaitu: 1) Hakim itu merdeka dan bebas dari pengaruh siapapun. Merdeka dan bebas mencakup merdeka dan bebas dari pengaruh unsur kekuasaan yudisiil sendiri. Demikian juga dari pengaruh kekuatan diluar jaringan pemerintahan; 2) kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya terbatas pada fungsi hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudisial. Dengan kata lainnya kemerdekaan dan kebebasan hakim ada pada fungsi yudisiilnya yaitu menetapkan hukum dalam keadaan konkrit. Lihat dalam Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, edisi Revisi, Alumni Bandung, Bandung, 1997, hal 79

[11] Ibid, hal 91

[12]Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008, hal 72

[13] Ibid, hal 73

[14] Dalam UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen tidak dikenal dengan istilah lembaga negara, hal ini dikarenakan penyebutannya dalam UUD 1945 beragam, ada disebut dengan komisi seperti KPU dan KY, dan ada juga yang disebutkan sebagai badan seperti BPK. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 terkait kewenangan MK menyebutkan bahwa lembaga negara adalah lembaga yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945.

[15] Yusril Ihza Mahendra, Loc., Cit., hal 122

[16] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta, 2006, hal 15

[17] Ibid, hal 18

[18] Kusnardi Muh. dan Bintan R Saragih ; Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT Gramedia, Jakarta, 1983, hal 31

[19] Hidayat  Nur Wahid, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, http://www.legalitas.org/?q=Eksistensi+Lembaga+Negara+Berdasarkan+UndangUndang+Dasar+Negara+Republik+Indonesia+Tahun+1945, diakses pada tanggal 11 Februari 2010

[20] Muh. Kusnardi, Loc., Cit, hal 20, lihat juga dalam Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2001, hal. 29

[21] Ahmad Syaukani dan A. Hasan Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2004 hal 114

[22] Jimly Asshiddiqie, Sengketa Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal 45

[23] Ibid, hal 46
[24] Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran Dalam Proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Press, 2007, hal 82

[25] Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Dari Orla, Orba, Sampai Reformasi) Telaah Sosiologi Yuridis dan Yuridis Pragmatis, Krisis Jati Diri Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 32

[26] Sri Sumantri, Op., Cit. hal 95

[27] Jimly Asshiddiqie, Sengketa.. Op., Cit, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal 95, dapat juga diliha dalam buku Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, 2005, hal 239

[28] Jimly Asshiddiqie, Format,… ibid, hal 244

[29] Lihat Pasal 37 UUD 1945
[30] Diah Restuning Maharani , Teori Kewenangan, http://restuningmaharani.blogspot.com/2009/10/teori-kewenangan.html, diakses pada tanggal 7 Maret 2010

[31] Loc., Cit

[32] Loc., Cit

[33]   Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta., Pustaka LP3ES, 1998, hal 376

[34] R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit  Alumni, Bandung, 1992, hal  29

[35]  Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 64-66. 
[37] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, hal 58
[38] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal 37
   
[39] Abdul Rasyid Thalib, Op. Cit, hal  414

[40] A. Mukti Fajar, Sang Pengembala, Perjalanan Hidup dan Pemikiran Hukum A. Mukti Fadjar (Hakim Konstitusi Periode 2003-208), Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal 124
[41]  Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta,         2005, hal 33. Dapat juga dilihat dalam Jimly Asshiddiqie, Sengketa, … Op,. Cit.
[42] Maruarar Siahaan, Op., Cit, hal 66

[43] Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal  93

[44] Loc., Cit

[45] Ibid, hal 70

[46] Loc., Cit.

[47] Lihat dalam Pasal 28 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003

[48] Maruarar Siahaan, Op., Cit., hal 55

[49] Proses beracara MK dalam melaksanakan kewenangan memutuskan/ menyelesaikan sengketa kewengan antar lembaga negara diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 8 /PMK/ Tahun 2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
[50] Mahfudh MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaikan pada diskusi public tentang wacana amandemen konstitusi yang diselenggarakan oleh KHN di Jakarta, tanggal 12 Juni 2008, hal 1
[51] Lihat juga dalam Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa MA tidak dapat menjadi pihak dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Lihat juga dalam Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 269-270

[52] Lihat Pasal 11 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 8 /PMK/ Tahun 2006

[53] Lihat dalam Pasal 67 UU No. 24 Tahun 2003.
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten