Subscribe Us

Senin, 08 November 2010

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK CIPTA FILM


A.    Pengertian Hak Cipta, Hak Ekonomi dan Hak Moral
  1. Pengertian Hak Cipta
Hak cipta adalah salah satu bentuk HKI yang dilindungi hukum. Hal dapat dilihat dalam UUHC. Hak cipta  adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam UUHC yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain.
Secara umum, perkembangan pengaturan HKI di Indonesia berdasarkan sejarahnya adalah sebagai berikut:
a.       Zaman Hindia Belanda
-                      Octroii Wet No. 136. Staatblad 1911 No. 313;
-                      Industrial Eigendom Kolonien 1912;
-                      Auter Wet 1912 Staatblad 1912 No. 600

b.      Setelah kemerdekaan
-    Pengumuman Menteri Kehakiman RI No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten;
-    UU No. 21 Tahun 1987 tentang Merek.;
-    UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta ;
-    UU No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta;
-    UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek menggantikan UU yang sebelumnya.

c.       Tahun 1997
-    UU No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta.
-    UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.
-    UU No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.

d.      Tahun 2000
-    UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
-    UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
-    UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

e.       Tahun 2001
-    UU No. 14 Tahun 2001 tentang UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.
-    UU No. 15 Tahun 2001 tentang tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.

f.       Tahun 2002
-    UU No. 19 Tahun 2002 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta

Hak cipta sendiri secara harfiah berasal dari dua kata yaitu hak dan cipta, kata “Hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak[1] Sedangkan kata “Cipta” atau ciptaan tertuju pada hasil karya manusia dengan menggunakan akal pikiran, perasaan, pengetahuan, imajinasi dan pengalaman. Sehingga dapat diartikan bahwa hak cipta berkaitan erat dengan intelektual manusia.[2]
Dalam hal ini ada beberapa pendapat sarjana mengenai pengertian hak cipta, antara lain sebagai berikut:
1)                  WIPO ( World Intelektual Property Organization )
Copy Right is legal from describing right given to creator for their literary and artistic works”. Artinya hak cipta adalah terminology hukum yang menggambarkan  hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra.
2)                  J. S. T Simorangkir
Berpendapat bahwa hak cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari pada yang mendapat hak tersebut atas hasil ciptaannya dalam lapangan kasusasteraan, pengetahuan, dan kesenian. Untuk mengumumkan dan memperbanyaknya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh Undang-undang.
3)                  Imam Trijono
Berpendapat bahwa hak cipta mempunyai arti tidak saja si pencipta dan hasil ciptaannya yang mendapat perlindungan hukum, akan tetapi juga perluasan ini memberikan perlindungan kepada yang diberi kepada yang diberi kuasapun kepada pihak yang menerbitkan terjemah daripada karya yang dilindungi oleh perjanjian ini.[3]
Dalam UUHC Pasal 2 Ayat (1) memberikan  pengertian  hak  cipta  adalah “Hak  eksklusif   bagi    pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan  yang berlaku.”.
Atas dasar 4 (empat) pendapat mengenai pengertian hak cipta, penulis menarik kesimpulan bahwa hak cipta adalah hak istimewa yang diberikan kepada pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, sehingga dalam hal ini baik pencipta maupun pemegang hak cipta dapat memperbanyak ciptaannya dan dia juga berhak untuk melarang pihak lain untuk menerbitkan hasil ciptaannya ataupun memberikan persetujuan pada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaannya tersebut.
Menurut Pasal 1 huruf 2 UUHC, disebut sebagai pencipta apabila “Seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.”
Pengertian lain dari pencipta (creator) adalah seorang atau sekumpulan orang (team) yang mempunyai ide atau gagasan baru dimana ide atau gagasan baru tersebut dituangkan dalam suatu bentuk karya baik secara abstrak maupun nyata.[4]
Seorang pencipta memiliki suatu kekayaan personal berupa ciptaan. Ciptaan dari pencipta tersebut disamakan dengan bentuk kekayaan yang lain, yakni dapat dialihkan. Secara khusus pengaturan mengenai pengalihan hak dan hukum hak cipta diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UUHC, bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak maka hak ciptanya dapat dipindah tangankan, di lisensikan, dialihkan, dijual-belikan oleh pemilik atas pemegang haknya[5].
Pengertian dari pemegang hak cipta menurut UUHC Pasal 1 ayat (4) adalah : “Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.”
Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa definisi pencipta, yakni : orang atau sekumpulan orang yang mempunyai suatu gagasan atau ide yang benar-benar baru untuk kemudian dikreasikan dalam bentuk suatu ciptaan baik secara nyata maupun abstrak dimana ciptaan tersebut kedudukannya adalah sama dengan jenis kekayaan pada umumnya yakni dapat diperjual-belikan maupun dialihkan. Sedangkan pemegang hak cipta bisa merupakan pemilik hak cipta yang belum menjual atau mengalihkan haknya, atau penerima hak yang telah dialihkan oleh pemilik hak cipta.
Dalam buku New Methods and Techniques for Information Management disebutkan bahwa Hak Cipta yaitu mekanisme hukum dimana hak kekayaaan intelektual dilindungi. Kemudian menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declarations of Human Rights) pasal 27 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi kepentingan-kepentingannya sesuai moral maupun material yang berasal dari hasil karya ilmiah, sastra atau seni. Pendapat lain dari Graham P. Cornish yaitu copyright adalah hak kekayaan (property right) yang dimaksudkan untuk melindungi bermacam hasil karya, perlindungan tersebut mencegah eksploitasi hasil karya tersebut oleh pihak lain.[6]

  1. Hak Ekonomi
Dalam konsep hak cipta, dikenal 2 (dua) macam konsep hak yang dianut diantaranya adalah hak ekonomi dan hak moral. Kedua hak tersebut disebut juga dengan hak eksklusif hak cipta yang dimiliki oleh pencipta. Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”.[7]
Menurut terminologi bahasa, hak merupakan sesuatu yang melekat pada sesuatu dan tidak dapat diganggu gugat.[8] Dalam kaitannya dengan ciptaan, hak pencipta adalah memiliki ciptaan sepenuhnya dan dapat digunakan seperlunya untuk kepentingan pencipta sendiri.
Pasal 1 angka 9 UUHC menyebutkan bahwa hak Terkait adalah  hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
Hak cipta dapat digunakan oleh pihak lain dengan sepengetahuan pencipta. Penggunaan hak cipta yang dilakukan oleh pihak lain yaitu melalui lisensi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UUHC yaitu lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Ekonomi adalah suatu studi tentang tingkah laku yang rasional dalam menghadapi kelangkaan (scarcity). Oleh karena itu, ekonomi dan hukum tidak dapat dipisahkan. Sistem hukum juga berhadapan dengan kelangkaan. Jika semua hal telah sempurna dan baik, maka mungkin tidak perlu lagi ada hukum, tidak perlu ada negara, hidup mungkin jenuh dan membosankan.[9]
Kalau diperhatikan rumusan materi muatan yang ada di dalam UUHC, hal yang penting untuk dianalisis dari pendekatan cost benefit analysis terletak pada permasalahan penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek keperdataan dan penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek pidana yang ada di dalam UUHC. [10]
Secara umum, pelanggaran hak cipta terjadi karena adanya pelanggaran atas hak moral dan hak ekonomi yang terkandung dalam hak cipta. Pelanggaran hak cipta dapat mengandung unsur keperdataan dan pidana. Dalam kaitannya dengan pelanggaran hak cipta dari aspek keperdataan, maka dapat dilakukan gugatan ganti rugi.
Namun, UUHC sendiri mengatur bahwa pihak yang merasa dirugikan akibat pelanggaran ini dapat meminta pihak Pengadilan Niaga untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
Pertama, meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu; Kedua, memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukkan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta; dan Ketiga, memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta.[11]

Dalam hal penyelesaian pelanggaran hak cipta apabila ditinjau dari pendekatan analisis ekonomi (cost benefit analysis), nampak adanya aturan yang menguntungkan dan tidak menguntungan. Di lain pihak, dengan adanya aturan UUHC yang relatif baru ini ternyata mampu menghadirkan aturan-aturan yang mampu memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan, baik si pencipta, pemegang hak cipta dan pemerintah.
Dalam sebuah film umumnya terdapat dua aspek hak yang dapat dilihat yaitu hak moral dan juga hak ekonomi. Hak adalah segala kekuasaan dalam berbuat sesuatu karena sudah ada ketentuan atau aturan yang mengatur dan sebagainya,[12] sedangkan ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang asas-asas memproduksi, mendistribusikan, dan memakai barang-barang serta juga kekayaan.[13]
Pendapat Robert Cooter dan Thomas Ulen ini memberikan pemahaman bahwa antara dampak harga, baik tinggi atau mahal terhadap perilaku memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Hal ini kemudian diadopsi juga kaitannya dengan penerapan sanksi, di mana sanksi yang berat atau ringan akan berdampak juga kepada perilaku dari orang yang akan menerima saksi tersebut.[14]
Menurut Muhammad Djumhana bahwa ide dasar sistem hak cipta adalah untuk melindungi wujud hasil karya manusia yang lahir karena kemampuan intelektualnya. Perlindungan hukum ini hanya berlaku kepada ciptaan yang telah mewujud secara khas sehingga dapat dilihat, didengar atau dibaca.[15]
Pengaturan hak ekonomi dalam hak cipta memberikan harga dan nilai bagi pencipta dalam menjaga dan melestarikan ciptaannya. Dimana pencipta mempunyai hak untuk memberikan, memperbanyak ciptaannya untuk mendapatkan bayaran yang tinggi dan menjadikan keuntungan bagi pencipta.
Kalau memperhatikan pada rumusan materi muatan yang ada didalam UUHC, hal yang penting untuk dianalisis dari pendekatan cost benefit analysis terletak pada permasalahan penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek keperdataan dan penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek pidana yang ada di dalam UUHC. Secara umum, pelanggaran terhadap hak cipta biasanya dikarenakan adanya pelanggaran atas hak moral dan hak ekonomi yang terkandung dalam hak cipta.[16]
Dilain pihak, dengan adanya aturan UUHC yang relatif baruini ternyata mampu menghadirkan aturan-aturan yang mampu memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan, baik si pencipta, pemegang hak cipta dan pemerintah.

  1. Hak Moral
Hak moral secara umumnya adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.[17] Dalam UUHC lebih lanjut mengungkapkan bahwa pencipta mendapatkan perlindungan atas ciptaannya, dimana ciptaannya tidak dapat dihilangkan ataupun diambil alih oleh pihak lainnya.
Hak moral juga dapat dilihat sebagai symbol budaya bagi hak pencipta ahli hak cipta asal Prancis Pieere Recht mengungkapkan bahwa bila kaum fanatik droit moral membahas hak moral, mereka seakan-akan bersikap seperti kaum fanatik keagamaan yang membicarakan sesuatu yang suci atau seorang Girondin yang membicarakan dan mengembangkan HAM.[18]
Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam Pasal 24–26 UUHC.
Pasal 24 UUHC menyebutkan sebagai berikut:
(1)   Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya
(2)   Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta.
(4)   Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
Pasal 25 UUHC menyatakan:
(1)   Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak Pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah.
(2)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Dan Pasal 26 UUHC menggambarkan bahwa:
(1)   Hak Cipta atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama kepada pembeli Ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari Pencipta itu.
(2)   Hak Cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama.
(3)   Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas suatu Ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh Hak Cipta itu.
Dalam menjaga hak moral, maka pencipta dapat mengontrol ciptaannya dan melarang orang lain termask penerbitnya sendiri mengubah ciptaan dalam bentuk apapun yang dapat mengakibatkan buruknya reputasi pencipta.[19] Kendali yang ada pada pencipta merupakan hak pencipta dalam mengelola ciptaannya. Pencipta juga dapat mengalihkan ciptaannya pada pihak lain dengan izin dan sepengetahuan pencipta.
B.     Pengaturan Hak Cipta Film
Pengaturan hak cipta dalam sistem hukum nasional merupakan langkah indikasi dalam melindungi kepentingan pencipta atas ciptaannya. UUHC mengakomodir kepentingan pencipta dengan menentukan dan menempatkan hak ekonomi sebagai landasan hak ekslusif pencipta serta hak moral sebagai efektifitas jera terhadap pelanggar hak cipta.
Pengaturan hak cipta dalam UUHC merupakan implementasi ratifikasi dari perjanjian internasional yang diakomodir dalam aturan hukum nasional dengan tujuan melindungi hak pencipta. Hak cipta yang diakui dalam sistem hukum Indonesia ada beberapa macam yaitu diatur dalam  Pasal 12 UUHC, ada beberapa jenis hak cipta yang dilindungi oleh UUHC yang meliputi diantaranya yaitu:
    1. Buku, pamflet dan semua karya tulis lainnya;
    2. Ceramah, kuliah, pidato dan sebagainya;
    3. Pertunjukan seperti musik, karawitan, drama, tari, pewayangan, pantomim, dan karya siaran diantaranya media radio, film, televisi dan rekaman video;
    4. Ciptaan tari, ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, dan rekaman suara;
    5. Segala bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahhat, seni patung, dan kaligrafi;
    6. Seni batik;
    7. Arsitektur;
    8. Peta;
    9. Sinematografi;
    10. Fotografi;
    11. Program komputer
    12. Terjemahan, tafsir, saduran, dan penyusunan bunga rampai.

Pengertian sinematografi adalah teknik pembuatan film. Oleh karena itu, sinematografi merupakan bagian dari pada film. Sinematografi dapat berupa suatu karya yang lahir dari teknik pengambilan gambar melalui kamera dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan dalam UUHC, sinematografi merupakan salah satu hak yang termasuk dalam hak cipta, dan film merupakan sebuah karya yang dapat didaftarkan untuk mendapatkan hak cipta bagi pencipta.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Ada dua subyek hak cipta, yaitu:
1)      Pemilik hak cipta (pencipta), adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2)      Pemegang hak cipta, yaitu:
a.       Pemilik hak cipta (pencipta)
b.      Pihak yang menerima hak cipta dari pencipta
c.       Pihak lain yang menerima lebih lanjut hak cipta dari pihak yang menerima hak cipta tersebut
d.      Badan hukum
e.       Negara, atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda budaya nasional lainnya, foklor, hasil kebudayaan yang menjadi milik bersama, dan ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan.[20]
Sebagaimana yang dimaksudkan dala Pasal 12 UUHC, hak cipta yang mendapatkan perlindungan dalam sistem hukum nasional adalah sinematografi. Sinematografi merupakan bagian dari tata cara pembuatan film. Perlindungan dalam sinematografi dan film juga melingkupi dua macam aspek yaitu hak ekonomi dan juga hak moral.[21]
Hak untuk mengumumkan dalam UUHC dijabarkan sebagai hak untuk membacakan, memamerkan, menyiarkan, mengedar dan menyebarluaskan suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dapat dilihat oleh orang lain.[22]
Hak cipta adalah kekayaan personal maka hak cipta dapat disamakan dengan bentuk kekayaan yang lain, yakni dapat dialihkan. Secara khusus pengaturan mengenai pengalihan hak dan hukum hak cipta diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UUHC, bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak maka hak ciptanya dapat dipindah tangankan, di lisensikan, dialihkan, dijual-belikan oleh pemilik atas pemegang haknya.[23]

C.    Pendaftaran Hak Cipta
Menurut ketentuan UUHC, setiap hak yang dilindungi dapat didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak kekayaan intelektual seseorang., yang dibuktikan dengan sertifikat pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum.[24]
Pendaftaran hak cipta diatur pada Bab IV Pasal 35 sampai dengan Pasal 44 UUHC. Pasal 35 UUHC menyatakan sebagai berikut:
1.      Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.
2.      Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
3.      Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
4.      Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.

Pasal 36 UUHC menyebutkan bahwa pendaftaran ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang didaftar. Makna dari Pasal 36 UUHC adalah pendaftaran hak cipta hanya berarti bahwa yang didaftarkan adalah ciptaannya bukan isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang didaftar.
Menurut peraturan perundang-undangan setiap HKI ditentukan jangka waktu perlindungannya. Dengan demikian, selama masa perlindungan tersebut, hak kekayaan intelektual yang bersangkutan tidak boleh digunakan oleh pihak lain tanpa izin pemilik/ pemegangnya.[25]
Mekanisme pengajuan pendaftaran hak cipta dapat dilakukan oleh pencipta ataupun oleh kuasanya yang berbentuk permohonan untuk ditempatkan dalam daftar umum ciptaan.[26] Dalam penunjukkan kuasa atas hak cipta yang akan didaftarkan dapat dilakukan oleh konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.[27]
Permohonan pendaftaran ciptaan yang dilakukan oleh lebih seorang ataupun badan hukum yang sama-sama berhak atas ciptaan tersebut, maka permohonan dapat dilakukan dengan melampirkan salinan resmi yang membuktikan akan hak tersebut.
Dilema yang dapat terjadi adalah apabila ada lebih dari seorang yang merasa berhak atas suatu ciptaan untuk didaftarkan, maka dapat mengajukan gugatan pada pengadilan yang berwenang yakni pengadilan niaga.[28] Sementara itu kekuatan hukum atas suatu pendaftaran hak cipta terganggu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 UUHC apa bila:
1)      penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
2)      lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;
3)      dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Secara lengkap mekanisme pendaftaran hak cipta terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut:
a)      mengisi formulir pendaftaran;
b)      melampirkan contoh ciptaan & uraian atas ciptaan yang dimohonkan;
c)      melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta atau pemegang hak cipta;
d)     melampirkan bukti badan hukum bila pemohon adalah badan hukum;
e)      melampirkan surat kuasa bila melalui kuasa;
f)       membayar biaya permohonan
Pemeriksaan administratif dilakukan bila mana persayaratan sebelumnya belum lengkap maka jangka waktu untuk melengkapi maksimal 3 (tiga) bulan. Bila mana proses kelengkapan telah usai maka dilanjutkan dengan evaluasi dengan catatan diterima dan juga bisa ditolaknya permohonan. Setelah proses evaluasi selesai maka dapat didaftarkan dan diberikannya surat pendaftaran ciptaan.




D.      Pelanggaran dan Penegakan Hukum Hak Cipta
Pasal 2 UUHC menyebutkan bahwa dalam hal ciptaan sinematografi dan program komputer memiliki hak dan atau memberikan izin dan melarang orang lain memperbanyak ciptaannya secara komersial. Pernyataan Pasal 2 tersebut merupakan implikasi dari maraknya pelanggaran hak cipta, terutama dalam bidang sinematografi/ film ataupun program komputer. Sebagai contoh yang sederhana dapat dilihat pelanggaran hak cipta lagu maupun film.
Pelanggaran hak cipta merupakan pelanggaran hak cipta untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi bagi pembajak dan mengakibatkan kerugian bagi pencipta secara hak ekonominya. Seperti yang telah diketahui bahwa perlindungan hukum bagi pencipta sangat dibutuhkan dimana untuk melindungi hak-hak pencipta yang selama ini jarang mendapat perhatian, sekalipun UUHC telah mengalami penyempurnaan dari waktu kewaktu akan tetapi tidak sedikit kasus pelanggaran yang terjadi. Hal tersebut jika dipandang dari segi hak-hak pencipta maka pelaku pelanggaran hak cipta telah melanggar hak ekonomi dan hak moral yang telah melekat pada pencipta itu sendiri, akan tetapi pengabaian terhadap kasus-kasus hak cipta membuat pelanggaran hak cipta semakin tumbuh subur.
Salah satu persoalan tentang kebutuhan hukum pencipta, sebagai seorang yang telah mengespresikan ide-ide didalam suatu karya cipta ataupun ilmu pengetahuan. Kebutuhan hukum ini bagi pencipta sangat penting untuk melindungi hak-haknya sebagai pencipta terhadap barang ciptaannya, serta untuk mengetahui sanksi yang diberikan oleh undang-undang jika terjadi suatu pelanggaran hukum terhadap suatu karya cipta yang telah dilindungi.[29]
Penerapan ganti rugi terhadap praktik pelanggaran terhadap hak cipta perlu diterapkan. Hal ini penting untuk membuat efek jera bagi para pelaku pelanggaran hak intelektual. Selama ini para pelaku hanya diganjar hukuman pidana dengan jangka waktu sekitar enam hingga satu tahun penjara. Sedangkan, sanksi perdata berupa ganti rugi belum diterapkan walaupun dalam undang-undang sudah disebutkan bahwa para pelanggar dapat dikenakan saksi perdata berupa ganti rugi. Untuk proses hukum perdata, pelanggaran Hak Cipta dapat melalui gugatan ganti rugi pada Pengadilan Niaga.
Penyelesaian pelanggaran hak cipta bila ditinjau dari segi ekonomi, terlihat adanya aturan yang menguntungkan dan tidak. Hal ini dengan diberlakukannya UUHC maka akan mampu memberikan jaminan kompensasi ganti rugi pada pihak yang merugikan.[30]
Untuk memahami perbuatan itu merupakan perbuatan pelanggaran hak cipta harus dipenuhi unsur-unsur penting sebagai berikut:
a)      Larangan undang-undang. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang pengguna hak kekayaan intelektual dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
b)      Izin (lisensi). Penggunaan hak kekayaan intelektual dilakukan tanpa persetujuan (lisensi) dari pemilik atau pemegang hak terdaftar.
c)      Pembatasan undang-undang. Penggunaan hak kekayaan intelektual melampaui batas ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.[31]
Adapun spesifikasi dari jenis pelanggaran yang terjadi dalam lingkup hak cipta antara lain adalah  :
a)      Seseorang yang tanpa persetujuan pencipta meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan tersebut.
b)      Mencantumkan nama pencipta pada ciptaan tanpa persetujuan si pencipta.
c)      Mengganti atau mengubah isi ciptaan tanpa persetujuan pencipta.
d)     Mengkomersilkan, Memperbanyak atau menggandakan suatu ciptaan tanpa seizin pemegang hak cipta.
e)      Memuat suatu ketentuan yang merugikan perekonomian Indonesia dalam suatu perjanjian lisensi.[32]


Akan tetapi, tidak dapat dikatakan melanggar hak cipta apabila  :
a)      Suatu ciptaan pihak lain digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian dan hal-hal non komersil lainnya.
b)      Penggunaan ciptaan pihak lain untuk keperluan pembelaan dalam suatu proses sengketa baik di dalam maupun di luar jalur pengadilan.
c)      Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan dalam huruf braile untuk keperluan tuna netra.
d)     Perubahan yang dilakukan atas karya arsitektur seperti ciptaan bangunan berdasarkan pertimbangan teknis. Maksudnya adalah apabila karya arsitektur tersebut misalkan membahayakan keselamatan umum maka dapat diubah tanpa seizin penciptanya.
e)      Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer yang bukan untuk keperluan komersil.[33]
Pengecualian pelanggaran hak cipta sebagaimana disebutkan diatas adalah salah satu pembebasan hak cipta dari pelanggaran dengan tujuan untuk kepentingan umum. Dimana hak cipta tersebut dapat digunakan dengan ataupun tanpa adanya izin dari pencipta.
Dalam kerangka perlindungan hak cipta, hukum membedakan dua macam hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi berhubungan dengan kepentingan ekonomi pencipta seperti hak untuk mendapatkan pembayaran royalti atas penggunaan (pengumuman dan perbanyakan) karya cipta yang dilindungi. Hak moral berkaitan dengan perlindungan kepentingan nama baik dari pencipta, misalnya untuk tetap mencantumkan namanya sebagai pencipta dan untuk tidak mengubah isi karya ciptaannya.
Pelaksanaan perlindungan hak ekonomi biasanya dititikberatkan pada pembayaran royalti. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa seorang pencipta musik dan lagu untuk menghasilkan karya seni itu telah melakukan pengorbanan waktu dan tenaga dan sudah selayaknya sang pencipta menuntut perolehan keuntungan ekonomi dari pengorbanan tersebut.
Sehubungan dengan perlindungan hak ekonomi pencipta karya cipta, pranata hukum belum berperan secara baik untuk melindungi hak ekonomi pencipta. Kemajuan teknologi yang luar biasa, menghadirkan berbagai peralatan canggih, berdaya guna tinggi dengan sistem pengoperasian sederhana, membuka peluang bagi pelanggaran, misalnya dengan cara merekam ulang karya cipta  tanpa seijin pencipta. Dihadapkan pada realitas tersebut yang menawarkan peluang secara ekonomi sagat menjanjikan keuntungan. Logika pelanggaran hak cipta adalah keberanian untuk mengambil resiko melawan hukum. Di samping itu apresiasi masyarakat yang rendah terhadap karya dari pencipta musik antara lain dengan membeli kaset bajakan dengan harga murah meskipun dengan mutu rendah, ikut mempengaruhi pelanggaran hak cipta.
Pelanggaran hak cipta akan membawa dampak buruk bagi pengembangan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra. Tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai atas hak cipta seseorang, maka daya inovasi dan kreativitas pencipta akan menurun tajam yang dapat merugikan semua pihak. Masuk akal dalam pemikiran para pencipta, untuk apa mencipta atau berkreativitas dalam ilmu pengetahuan, sastra dan seni, jika hasil ciptaan mereka selalu dilanggar hak ciptanya oleh pihak-plhak yang tidak bertanggung jawab. Sudah menjadi kewajiban dari negara melalui instansi yang berwenang untuk mampu melindungi hasil ciptaan tersebut dengan melakukan penegakan hukum terhadap para pelangganya. Sebaliknya, penegakan hukum hak cipta harus hati-hati dalam memilah bentuk pelanggaran yang dilakukan dan justru diharapkan adalah petugas penegak hukum yang betul-betul dapat memahami tentang makna akan hak cipta sesungguhnya tanpa menggeneralisasikan begitu saja suatu perbuatan pelanggaran hak cipta dalam pemikiran orang atau masyarakat awam.
Sanksi hukum diharapkan dapat mengurangi atau menjerakan para pembajak tanpa izin dan prosedur hukum (illegal) menggunakan ciptaan orang lain dengan maksud tertentu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pemberian sanksi hukum dalam ketentuan UUHC tidak akan menjamin pelanggaran hak cipta dapat berkurang, sejauh kesadaran hukum masyarakat masih rendah dan kurang menghargal hasil karya orang atau bangsa lain. Menghargai ciptaan ini perlu ditingkatkan mengingat adanya sanksi internasional bagi setiap bangsa yang membajak ciptaan orang lain tanpa izin atau melalui prosedur hukum yang benar.
Adanya peristiwa pelanggaran hak cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah bagi hukum perdata, pidana dan administrasi. Pelanggaran hukum ini menjadi tugas aparat penegak hukum menanggulanginya bekerja sama dengan instansi terkait mengingat setiap pelanggaran hak cipta membawa kerugian yang sangat besar dalam pengembangan dan kemajuan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi para pencipta, pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.
Pemberian sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta merupakan upaya untuk mencegah dan mengurangi meningkatnya kasus-kasus pelanggaran atas HKI, terutama di Indonesia masih membutuhkan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap HKI. Perbuatan menjiplak, mengkopi, meniru ataupun meng-gelapkan hasil karya orang lain tanpa izin atau sesuai prosedur hukum akan tetap menjadi tugas  dari petugas penegak hukum dalam melindungi hak-hak para pencipta yang diatur dalam UUHC.
Sebagai perbandingan dalam hukum pidana, pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi (economic crime) dan kejahatan bisnis (business crime). Di sini amat dibutuhkan fungsionalisasi hukum pidana, yakni upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret yang melibatkan tiga faktor, yaitu faktor perundang-undangan, aparat/badan penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat.
Fungsionalisasi hukum pidana didasarkan pada tujuan ekonomi dan penegakan hukum, yakni untuk mengurangi seminimal mungkin biaya sosial (social cost) yang merugikan bagi para korban akibat dari pelanggaran hukum tersebut. Robert Cooter dan Thomas Ulen menegaskan dengan ungkapan, criminal law should minimize the social cost of crime, which equals the sum of the harm it causes and the costs of preventing it. (hukum pidana harus membayar biaya sosial kejahatan minimal sama jumlahnya dari pelanggaran yang disebabkan pelanggaran itu dan biaya pencegahannya).[34]
Biaya sosial yang harus dikeluarkan dalam rangka fungsionalisasi hukum atas setiap pelanggaran hak cipta dapat berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap makna perlindungan hukum mana kala penegakan hukum vang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak mencapai sasarannya untuk mengurangi kuantitas dan kualitas pelanggaran hukum terhadap hak cipta. Biaya sosial tersebut terutama akan dirasakan oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi hak-haknya sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak bergairah lagi untuk meningkatkan ciptaanya.
Pasal 56 UUHC menyebutkan bahwa Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu. Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Selain penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian melalui arbitrase merupakan jalur keadilan yang diperoleh oleh pencipta atas pelanggaran terhadap ciptaannya selain Pengadilan Niaga.



[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia.,Departemen Pendidikan Republik Indonesia, hal. 323.
[2] Ibid.,hal. 210.
[3] Sujud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003, hal. 15.

[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hal. 976
[5] Suyud Margono, Op.Cit., hal. 24.
[6] Krihanta dan Bambang P. Widodo, hak cipta dan kebutuhan informasi Perlakuan terhadap arsip statis di anri,http://arsip.ugm.ac.id/index.php?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=121, diakses pada tanggal 6 Mai 2009
[7] Loc., Cit
[8] Peter Salim dan Yenny Salim, Op., Cit., hlm 1209
[9] Erman Rajagukguk, “Kontrak Bisnis Internasional dan Kaitannya dengan Analisis Ekonomi terhadap Kontrak,”Jurnal Magister Hukum UII, Vol. 1 No. 1 September 1999, hlm. 6
[10] Budi Agus Riswand, Analisis Ekonomi Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta Indonesia, Artikel, Fakultas Hukum UII dan Magister Hukum UII Yogyakarta, hlm 7
`[11] ibid
[12] Peter Salim dan Yenny Salim, Op., Cit., hlm 501
[13] Ibid., hlm 379
[14] Budi Agus Riswandi, Analisis Ekonomi Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Hak Ciptaindonesia,http://www.iprcentre.org/artikel/ANALISIS%20EKONOMI%20TERHADAP%20PENYELESAIAN%20PELANGGARAN%20HAK%20CIPTA%20INDONESIA%20oleh%20Budi%20Agus%20Riswandi.pdf, diakses pada tanggal 27 Mei 2009
[15] Loc., Cit
[16] Loc., Cit
[17] Tatty Aryani Ramli, Perlindungan Hak Cipta Dalam Produk, http://vielicious.blogspot.com/2008/04/perlindungan-hak-cipta-dalam-produk.html, diakses pada tanggal 29 Mei 2009
[18] Loc., Cit.
[19] Tim Lindsey dan Eddy Damian, Hak Kekayaan,… Op., Cit., hlm 34
[20] Ibid, hlm 39
[21] Bayu Tapa Brata.V., Videografi dan Sinematografi Praktis, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007
[22] Henry Selistiobudi, Catatan Kritis atas Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, Jurnal, disampaikan dalam seminar, FH-UII, 2004, hlm 5
[23] Sujud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003, hlm 15.
[24] Ibid, hlm 148
[25] Ibid.,
[26] Pasal 37  Ayat (1) UUHC yang berbunyi “Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau Kuasa”. 
[27] Lihat ketentuan Pasal 37 Ayat (4) UUHC yang berbunyi ” Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal”
[28] Lihat ketentuan Pasal  42 UUHC
[29] Ninik Setyaningrum Diamaria, Tinjauan Yuridis Normatif terhadap Perlindungan Hak Cipta Menurut UU No. 12 tahun 1997, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2003-niniksetya-329&q=Undang-undang, diakses pada tanggal 16 Juni 2009
[30] Budi Agus Riswandi, Analisis Ekonomi Terhadap Pelanggaran Hak Cipta, http://www.perfspot.com/docs/doc.asp?id=46110, diakses pada tanggal 16 Juni 2009
[31] Ibid
[32] Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Intelektual, PT.Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hlm 143.
[33] Ibid
[34] Sujud Margono, Hukum… Op,. Cit, hlm 68
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten