Subscribe Us

Senin, 17 Oktober 2011

DEMOKRASI ACEH (yang) SEDANG BERCERMIN


Oleh:

Zaki ‘Ulya

(adalah Alumni Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, unsyiah dan juga sebagai Tenaga Pengajar pada UPT MKU-Unsyiah serta Tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Abulyatama)

A.    Pendahuluan (Asal Muasal Kekisruhan Politik Aceh)

Pasca pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pada tanggal 1 Agustus 2006 yang tertuang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Aceh telah menjadi salah satu provinsi dengan kriteria daerah otonomi seluas-luasnya. Bila dicermati lebih mendalam, muatan materi yang diatur dalam UUPA yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh layaknya kewenangan pemerintah pusat, seperti prihal pengaturan lembaga peradilan (Mahkamah Syar’iyah), kerjasama intenasional, perlindungan HAM (KKR maupun Peradilan HAM), bidang demokrasi, bidang agama, bahkan bidang moneter. Hal tersebut mencerminkan bahwa Aceh mempunyai wewenang yang sangat luas dalam mengatur rumah tangganya.
Sebagaimana tema yang diangkat, tulisan ini hanya membahas serta mengkaji bidang demokrasi yang hingga kini masih hangat untuk dikaji. Salah satu wujud pelaksanaan demokrasi di Aceh adalah penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Akhir-akhir ini, rencana penyelenggaraan Pemilukada Aceh masih belum jelas, yang disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah terkait payung hukum yang dijadikan landasan berpijak. Ketidak jelasan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap UUPA dengan Undang-Undang Nasional menyangkut pelaksanaan Pemilukada.
Silang pendapat perihal payung hukum pelaksanaan pemilukada  Aceh 2011 masih belum berujung. Qanun Pemilukada baru yang diharapkan dapat menjadi dasar pelaksanaan pesta demokrasi di Aceh tahun ini tak jelas nasibnya setelah DPR Aceh menghentikan pembahasan ulang.[1] Penghentian pembahasan yang dilakukan oleh DPR Aceh salah satunya adalah terkait materi yang mengatur tentang calon independen. Qanun pelnyelenggaraan pemilukada yang dimaksud adalah pembahasan perubahan Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagaimana disebutkan dan diatur dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, khususnya Pasal 33 disebutkan bahwa “qanun yang tak tercapai kesepakatan tak bisa dibahas lagi hasilnya yang sama dalam tahun sidang yang sama”. Maka dasar hukum pelaksanaan pemilukada 2011 masih menggunakan Qanun No. 7 Tahun 2006.
Sekilas memutar kembali kisah calon independen ke belakang, bahwa materi muatan calon independen diatur dalam Pasal 256 UUPA, yang hanya dapat berlaku 1 (satu) kali pelaksanaan Pemilukada telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, dan landasan putusan tersebut juga dengan melihat putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Argumentasi yang dapat ditarik terkait gagalnya pembahasan rancangan qanun penyelenggaraan pemilukada yang baru diantaranya terjadi silang pendapat tentang keikutsertaan calon independen pada pemilukada 2011, tidak adanya kesepakatan dalam pembahasan tersebut antara DPR Aceh dengan Gubernur. Ketidak jelasan “nasib” dari rancangan qanun pemilukada tersebut menyebabkan suasana politik dan demokrasi di Aceh menjadi tidak menentu. Bahkan kabar terkait tertundanya pembahasan rancangan qanun pemilukada terdengar sampai ke pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini bagian Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri sampai meminta kepada pihak terkait yang ikut dalam pembahasan rancangan qanun pemilukada tersebut untuk duduk bersama guna menyelesaikan problematika yang terjadi.[2]

B.     Perbedaan Penafsiran Terhadap Payung Hukum Penyelenggaraan Pemilukada (Upaya Mempertanyakan dan Menjawab Secara Hukum)
Adapun dasar hukum yang mejadi perdebatan hingga terjadinya perbedaan penafsiran meliputi UUPA khususnya Pasal 256 dan Pasal 269, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (maupun rancangan perubahannya), Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hingga Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Problematika hukum dimulai ketika Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 256 UUPA tentang calon independen dengan dasar Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, yang dinilai oleh DPR Aceh telah menghiraukan lembaga tersebut sebagai lembaga yang berhak dimintai keterangan/konsultasi menyangkut hal ihwal pengaturan UUPA. Pasal 269 Ayat (3) UUPA disebutkan “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. DPR Aceh akhirnya memutuskan mengajukan komplain ke Mahkamah Konstitusi soal pencabutan pasal 256 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) karena tidak melibatkan lembaga dewan seperti diatur dalam pasal 269 UUPA.[3]
Bentuk komplain yang diajukan oleh DPR Aceh adalah menolak putusan Mahkamah Konstitusi tentang dibolehkannya calon independen dalam pemilukada 2011. padahal disatu sisi, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat sejak diputuskan.  Alasan logis yang dibangun DPR Aceh adalah DPRA tak terima dengan pencabutan pasal itu. Sebab, selain dinilai mengutak-atik UUPA, cara itu dianggap tak menghargai kesepakatan damai MoU Helsinki.[4]
Sementara itu, Sabela Gayo mengutip pendapat Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dan bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim Konstitusi dalam perkara judicial review Pasal 256 UUPA menyebutkan bahwa dalam penyelesaian judicial review Pasal 256 UUPA, Mahkamah Konstitusi tidak perlu mendengarkan pendapat DPR Aceh, karena hal tersebut merupakan wewenang dari pemerintah dalam merubah, merevisi, ataupun mengamandemen suatu Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutuskan Undang-Undang yang diuji sah atau tidak, dan wewenang dalam merubah Undang-Undang ada pada Presiden dan DPR.[5]
Jadi, analisa hukum yang dapat dibangun adalah komplain yang diajukan DPR Aceh ke Mahkamah Konstitusi salah tempat. Karena yang digugat adalah putusan Mahkamah Konstitusi, bukan perubahan atas Pasal 256 UUPA. Dan, hingga kini belum ada berita dari pemerintah pusat untuk membahas perubahan Pasal 256 UUPA yang diamanatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, maksud dari “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini ....” dalam Pasal 269 UUPA adalah rencana perubahan UUPA yang akan dibahas di tingkat pemerintah pusat, bukan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya,  pernyataan “.... terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, maksudnya adalah pemerintah pusat sebelum melakukan pembahasan terkait perubahan materi UUPA harus berkonsultasi dan meminta pertimbangan kepada DPRA. Jadi kesimpulan/penafsiran yang dapat ditarik dari maksud Pasal 269 UUPA adalah pemerintah pusat harus melakukan koordinasi, berkonsultasi dan meminta keterangan ke DPRA sebelum melakukan perubahan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan disebutkan “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”. Dan terkait materi muatan suatu Undang-Undang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, khususnya huruf d yaitu “tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi”. Atas dasar tersebut, secara hukum DPRA telah salah langkah dalam melakukan komplain ke Mahkamah Konstitusi. Karena seharusnya, DPRA mengajukan komplain tersebut ke pemerintah pusat, dan dengan catatan, telah dilakukannya pembahasan perubahan UUPA.
Kekisruhan dan perbedaan pendapat juga terjadi di lapangan, khususnya terkait keberadaan Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Aceh. Dengan gagalnya pembahasan rancangan qanun penyelenggaraan Pemilukada 2011 dan ditetapkannya Qanun No. 7 Tahun 2006 sebagai landasan hukum, menyebabkan KIP Aceh “salah  langkah” dalam menetapkan Keputusan KIP. Sebagai payung hukum untuk Pemilukada Aceh 2011, menurut Abdullah Saleh, belum ada kesepakatan. Namun, fraksinya tak masalah jika qanun yang lama, yaitu Qanun 7 Tahun 2006 sebagai dasar pelaksanaan Pemilukada 2011. Akan tetapi, adanya harapan agar KIP Aceh konsisten dengan qanun itu dengan tak memasukkan calon independen.[6]
Pernyataan Abdullah Saleh dapat dipahami dan dinilai wajar, karena pengaturan calon independen dalam Qanun No. 7 Tahun 2006 menyebutkan hanya berlaku sekali saja. Kedudukan dari Qanun No. 7 Tahun 2006 merupakan amanah pasca berlakunya UUPA, dan Pemilukada pertama kali pasca diberlakukannya UUPA dan Qanun No. 7 Tahun 2006 telah diselenggarakan, sebagaimana diketahui pemenang dalam Pemilukada 2006 lalu adalah calon independen. Maka, apabila Qanun No. 7 Tahun 2006 dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan Pemilukada 2011 maka sudah selayaknya calon independen tidak dapat diikutsertakan dalam Pemilukada 2011.
Apabila dianalisa secara hukum, maka dapat dikaji antara aspek dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan terakhir Qanun No. 7 Tahun 2006. Inti dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010 adalah calon independen dapat diikutsertakan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilukada 2011, dengan dasar cerminan tingkat nasional pasca diputuskan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah dirubah sebanyak dua kali, dan terakhir yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2008.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 yaitu “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini”. Artinya dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 , calon independen di setiap daerah baik tingkat provinsi, dan kabupaten/kota dapat ikut sebagai peserta dalam pesta demokrasi daerah, disamping calon yang diusulkan oleh partai politik, maupun gabungan partai politik.
Kemudian, jika dilihat dalam UUPA sendiri, yang mana menurut DPRA merupakan aturan khusus bagi Aceh, calon independen hanya berlaku sekali dan hal ini secara tegas dipegang teguh oleh DPRA dalam pelaksanaan Pemilukada 2011. Namun, keputusan dan kebijakan telah ditetapkan bahwa dasar hukum dalam pelaksanaan pemilukada adalah Qanun No. 7 Tahun 2006, maka KIP Aceh diharapkan dapat segera menentukan regulasi/aturan pelaksana dari qanun tersebut. Yang menjadi kendala adalah apakah KIP Aceh berpedoman pada qanun ataukah putusan Mahkamah Konstitusi?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dikaji sebagai berikut. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 UUPA disebutkan KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Maka secara logika hukum yang dapat dibangun, KIP Aceh merupakan bagian dari KPU, dan KPU menentukan aturan pelaksana penyelenggara pemilu berdasarkan aturan nasional yang berlaku. Maka, KIP Aceh juga menentukan regulasi kebijakan pelaksana pemilu/pemilukada berdasarkan aturan hukum nasional yang berlaku, selain UUPA. Artinya, tanpa mengucilkan UUPA sebagai payung hukum di Aceh, KIP Aceh juga harus melaksanakan kewenangannya berdasarkan aturan hukum nasional, dan aturan nasional yang masih berlaku tentang penyelenggaraan pemilu adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2007.
Terkait tugas dan wewenang KIP Aceh maupu KIP Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 58 UUPA, yang setidaknya ada 12 (dua belas) wewenang KIP dalam pelaksanaan pemilukada, baik dari penetapan jadwal pemilukada hingga melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap pelaksanaan pemilukada. Namun, dalam Ayat (2) pasal tersebut disebutkan bahwa landasan pijak pelaksanaan wewenang KIP Aceh tidak hanya UUPA, namun juga segala peraturan perundang-undangan tingkat nasional.
Jawaban hukum, yang dapat dikemukakan adalah KIP Aceh juga harus patuh terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh KPU Pusat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010 merupakan salah satu dasar pijak pelaksanaan pemilukada di Aceh. Maka pembatasan terhadap wewenang KIP dalam menentukan regulasi yang menjadi aturan pelaksana pemilukada 2011 terkait tidak boleh dicantumkannya calon independen merupakan kekeliruan hukum. Penegasan keikutsertaan calon independen dalam Pemilukada 2011, disampaikan oleh Irwandi Yusuf bahwa Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 256 UUPA sehingga calon perseorangan menjadi sama dengan yang berlaku di provinsi lain.[7] Penegasan tersebut mengindikasikan bahwa apapun yang terjadi dengan suasana politik di Aceh, calon independen tetap akan ada di Aceh. Maka KIP Aceh disatu sisi, harus menetapkan regulasi pelaksana penyelenggaraan Pemilukada 2011 dengan keikut sertaan calon independen.
Selanjutnya, terkait langkah yang telah dilakukan oleh DPRA yaitu gugatan yang diajukan oleh DPRA terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010. DPRA dan elemen sipil yang menamakan diri Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra) melayangkan gugatan terhadap putusan judicial review Pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi.[8] Salah satu alasan gugatan tersebut yaitu putusan MK tentang permohonan judicial review Pasal 256 UUPA sama sekali tidak pernah melibatkan DPRA, sebagaimana diamanatkan Pasal 269 ayat (3) UUPA, yang menyatakan bahwa setiap perubahan terhadap isi UUPA harus dikonsultasikan dan mendapat pertimbangan DPRA. Hasbi Abdullah menegaskan, sesuai isi Pasal 18B (1) UUD ’45, negara mengakui dan menghormati kekhususan suatu daerah seperti Aceh yang diatur dengan undang-undang tersendiri.  Menurut Hasbi, UUPA adalah undang-undang khusus Aceh, dan itu mendapat jaminan dan pengakuan konstitusi.[9] Selain itu isi gugatan tersebut adalah menyangkut sengketa kewenangan antar lembaga menyangkut penyelenggaraan PemilukadaAceh.[10]
Hal tersebut tidak lepas dari tindakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 dapat menetapkan anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Padahal disisi lainnya, berdasarkan Pasal 60 Ayat (3) UUPA disebutkan “Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK”. Terlepas dari isi gugatan yang dimohonkan tersebut, Fopkra tetap mempertanyakan kepada Mahkamah Konstitusi tentang keabsahan pencabutan Pasal 256 tanpa melihat terlebih dahulu, Pasal 269 UUPA.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Banda Aceh Hospi Novizal Sabri menilai rencana DPRA untuk mengajukan komplain ke Mahkamah Konstitusi terkait putusan pencabutan pasal 256 UUPA sudah terlambat.[11] Argumentasi tersebut penulis nilai adsalah wajar, karena bercermin pada Pasal 24C UUD 1945 disebutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi, menjadikan setiap putusan yang telah diputuskan tidak dapat diajukan kembali dalam bentuk upaya hukum, sebagaimana Mahkamah Agung yang mengenal upaya hukum seperti Peninjauan Kembali (PK). Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 disebutkan “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Bila melihat dari sudut pandang hukum, seharusnya DPRA tidak dapat mengajukan komplain terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diputuskan dalam bentuk permohonan. Namun, dalam ketentuan Pasal 60 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 disebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”. Timbul pertanyaan, apakah DPRA melayangkan permohonan dengan dasar yang berbeda, ataukah dengan dasar yang sama seperti putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dianalisis secara hukum yaitu apabila prihal pengujian yang menjadi dasar permohonan adalah sama sebagaimana dasar permohonan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, maka sudah tentu Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima permohonan tersebut. Karena berdasarkan Pasal 60 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 disebutkan “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. Sebagaimana asas yang berlaku dalam hukum pidana mengenal istilah nebis in idem. Begitu halnya dengan permohonan yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 60 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 bahwa permohonan dapat dmohonkan apabila yang menjadi dasar permohonan dalam ketentuan UUD 1945 berbeda dengan permohonan sebelumnya. Maka dengan dasar tersebut, tentu DPRA/Fopkra dapat bersidang di muka Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan lainnya yang muncul yaitu apakah benar DPRA/Fopkra melayangkan permohonan dengan dasar yang berbeda?. Hingga tulisan ini dmuat belum ada berita maupun isu-isu yang khusus membahas mengenai dasar apa yang dimohonkan tersebut. Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan akan mempelajari berkas permohonan yang sudah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi tersebut.[12]

C.    Solusi Hukum Terkait Political Will Demokrasi di Aceh
Aceh yang pada awal dengan diberlakukannya UUPA diharapkan dapat menjadi “pilot project” bagi daerah lainnya dalam berdemokrasi. Namun, menjelang akhir tahun 2011 dengan ditentukannya pelaksanaan pemilukada Aceh dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan suasana politik di Aceh menjadi tidak menentu. Perbedaan penafsiran atas semua aturan hukum penyelenggaraan pemilukada menjadikan lembaga terkait masih belum dapat menentukan dasar hukum yang jelas. Seperti KIP Aceh maupun KIP Kabupaten/Kota dan juga lembaga eksekutif tingkat kabupaten kota. Tulisan kecil ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang terjadi, serta dapat memberikan gambaran atas dasar hukum yang dijadikan pedoman.
KIP Aceh maupun KIP Kabupaten/Kota sebagai satu-satunya lembaga independen yang bertugas menyelenggarakan pemilukada tetap berpegang kepada Undang-Undang nasional, seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 maupun Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Walaupun kewenangan KIP diatur jelas dalam UUPA, namun semua itu tidak akan lepas sebagai bagian dari KPU Pusat. Walaupun dari asas peraturan perundang-undangan mengenal istilah “lex specialis derogat lex generalis” (aturan hukum yang khusus menyampingkan aturan hukum yang umum), namun khusus untuk kasus di Aceh, pegangan hukum yang dapat dijadikan dasar oleh KIP adalah aturan hukum nasional yang berlaku umum. Tujuannya adalah untuk menghindari kekisruhan politik yang makin tidak menentu.
Selain itu, khusus untuk calon independen yang menjadi salah satu peserta pemilukada dapat diterapkan kembali di Aceh. Pemikiran logis yang terbangun yaitu Aceh yang pada awalnya menjadi pilot project bagi daerah lainnya dalam berdemokrasi, dan pertama kali mengenal calon independen, hingga kini telah diterapkan oleh daerah lainnya dalam setiap penyelenggaraan pemilukada berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Maka, kenapa tidak untuk Aceh pada tahun 2011 ini? Dimana berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-VIII/2010, calon independen dapat ikut lagi dalam pemilukada, dengan dasar rujukannya adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Jadi kenapa tidak kita terapkan dan bercermin dari Undang-Undang tersebut terkait calon independen, karena Pasal 256 UUPA tidak berlaku lagi secara hukum.
Permasalahan gugatan yang diajukan oleh DPRA ke Mahkamah Konstitusi dengan mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya, dapat dinilai salah apabila yang menjadi dasar permohonannya adalah sama dengan alasan permohonan yang tertuang dalam Putusan No. 35/PUU-VIII/2010. Penulis, mengharapkan DPRA agar mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga pelaksanaan penyelenggaraan pemilukada 2011 di Aceh dapat terselenggara dengan baik dan lancar. Dan tentu, pelaksanaan penyelenggaraan pemilukada tersebut sukses dengan catatan adanya political will lembaga terkait, dan berusaha meredam kekisruhan politik yang terjadi selama ini. []


[1] Harian Kompas, Pembahasan Payung Hukum Pilkada Aceh Dihentikan, tanggal 13 September 2011
[2] Harian Analisa, Pembahasan Ulang Qanun Pilkada Harus Tuntas 19 September, 8 September 2011
[3] Harian Aceh Post, DPRA Ajukan Komplain ke Mahkamah Konstitusi, tanggal 8 Oktober 2011
[4] Ibid.
[5] Sabela Gayo, Putusan MK dan Masa Depan Perdamaian Aceh, http://www.lovegayo.com/8082/putusan-mk-dan-masa-depan-perdamaian-aceh.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2011
[6] Harian Kompas, Pembahasan... Loc., Cit.
[7] Harian Aceh, Gubernur Pastikan Ada Calon Independen di Aceh, tanggal 25 September 2011
[8] Serambi Indonesia, DPRA Gugat Putusan MK, tanggal 9 Oktober 2011
[9] Ibid.
[10] Harian Waspada, Putusan MK Final, DPRA Silakan Gugat, tanggal 12 Oktober 2011
[11] Harian Aceh Post, LBH: Komplain DPRA Sudah Terlambat, tanggal 15 Oktober 2011
[12] Harian Waspada, Putusan MK.. Loc., cit.
Share:
Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten