ABSTRAK
Keberadaan Mahkamah Konstitusi diatur
dalam Pasal 24C UUD 1945, yang kemudian dilanjutkan pengaturannya dalam UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan terakhir telah diubah
keduakalinya dengan UU No. 4 Tahun 2014. Mahkamah Konstitusi memiliki 4
kewenangan dan 1 kewajiban, yang salah satunya adalah melakukan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam melakukan kewenangannya tersebut,
Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Pelaksanaan
wewenang Mahkamah Konstitusi semenjak awal berdirinya telah menyelesaikan kasus
konstitusional pengujian undang-undang dengan menerapkan jiwa sebagai “sole interpreter constitution”. Namun,
dalam penyelesaian perkara Putusan No. 108/PUU-XI/2013, salah satu pertimbangan
hukumnya menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi, tidak berwenang dalam
menafsirkan UUD 1945, terkait pokok permohonan dalam perkara tersebut, sehingga
hal tersebut dinilai menyalahi semangat dan jiwa pembentukan Mahkamah
Konstitusi sendiri sebagai “the sole
interpreter constitution”.
Adapun tujuan penulisan ini yaitu
menjelaskan dan mengkaji eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir
konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang. Menjelaskan dan mengkaji
mekanisme penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang. Dan, akibat
hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait
tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi.
Kata
kunci: Penafsiran konstitusi dan Pengujian undang-undang
A.
Pendahuluan
Salah satu agenda reformasi yaitu
penegakan supremasi hukum yang dilandasi dengan semangat konstitusionalisme,
yaitu dengan cara melaksanakan ketentuan konstitusi secara murni dan konsekuen.
Hal tersebut merupakan manifestasi dari aspek muatan negara hukum. Adapun
tujuan dari negara hukum adalah mewujudkan rasa keadilan bagi warga negara.[1]
Konseptual negara hukum di Indonesia dikejewantahkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD
1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Muatan materi utama dari negara hukum
mencakupi: a) adanya pembatasan kekuasaan Negara, b) perlindungan HAM, c)
adanya peradilan yang bebas.[2]
Manifestasi dari negara hukum tersebut selanjutnya diterapkan di Indonesia
dengan wujud amandemen UUD 1945. Prihal utama yang ditekankan dalam amandemen
UUD 1945, yaitu pembatasan kekuasaan Presiden, penguatan fungsi DPR, dan
mewujudkan pembentukan peradilan konstitusi.[3]
Cita-cita pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri telah terealisasi dengan
diaturnya kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam Pasal 24C UUD 1945, yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,dan diubah kedua kalinya
dengan UU No. 4 Tahun 2014.
Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi
diatur lebih lanjut dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 yaitu: a) menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c)
memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana
disebutkan oleh Soehino, dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum
tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi
juga disebut sebagai organ pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Dalam menjalankan fungsi
peradilan, Mahkamah Konstitusi dapat menafsirkan UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah
Konstitusi selain penjaga juga disebut sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).[4]
Salah satu pelaksanaan kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang ditentukan oleh UUD 1945 yaitu pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 (judicial review).
Dimana dalam melakukan pengujian tersebut, Mahkamah Konstitusi menyandarkan
frasa pasal, ayat dalam pasal, pasal maupun keseluruhan pasal dari
undang-undang yang diuji tersbeut dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi yang disebut juga
sebagai “the guardian of constitution and
the sole interpreting of constitution.” Disebut sebagai penjaga konstitusi
berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan
telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.[5]
Kemudian disebut sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi
dikarenakan kewenangan judicial review
menciptakan kewenangan tersebut. Kewenangan menafsirkan itu timbul dari sebuah
tafsir pula bahwa bagaimana bisa melakukan review
terhadap sebuah undang-undang agar berkesesuaian dengan konstitusi apabila
tidak diberi kewenangan memaknai dan menafsirkan konstitusi itu sendiri.
Artinya kewenangan tafsir konstitusi itu lahir juga dari sebuah penafsiran.[6]
Argumentasi di atas terkait dasar
penafsiran dalam pengujian undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi, dikucilkan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri, terutama dalam
penyelesaian perkara Putusan No. 108/PUU-XI/2013. Sungguhpun dalam amar putusan
tersebut menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima dan ditolak, baik
sebagian maupun seluruhnya, namun pada pertimbangan hukum putusan tersebut,
Mahkamah Konstitusi mengklaim diri tidak berwenang melakukan penafsiran
sebagaimana yang dimohonkan pemohon.
Adapun undang-undang yang dimohonkan untuk
ditafsirkan yaitu UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden. Permohonan pemohon terkait penafsiran terhadap UUD 1945
dicantumkan dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013, yaitu: “… dengan sengaja memohon
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan
secara langsung makna Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (1), (2),
(3) UUD 1945, setelah menyatakan bahwa pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 Ayat
(2), dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat…”. Adapun jawaban Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya: “… penafsiran yang dimohonkan pemohon dapat
dikategorikan sebagai permohonan mengeluarkan fatwa kepada mahkamah melalui
penafsiran terhadap UUD 1945, berdasarkan petitum menurut angka 3 dan 4, tidak menjadi kewenangan mahkamah”.
Atas prihal permohonan dengan
pertimbangan hukum yang dipaparkan oleh Mahkamah Konstitusi, menimbulkan
kontradiksi yuridis dari wewenang Mahkamah Konstitusi yang seharusnya sebagai
penafsir konstitusi, maka Putusan No. 108/PUU-XI/2013 layak dikaji dari aspek
hukum ketatanegaraan.
B.
Permasalahan
Sebagaimana uraian di atas, dapat
ditentukan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut, yaitu:
- Seperti apakah eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945?
- Apakah akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan ini adalah:
- 1. Untuk mengkaji dan menjelaskan eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
- 2. Untuk mengkaji dan menjelaskan akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi.
D.
Kerangka Teori
1.
Teori Kewenangan
Wewenang (Authority) merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai penggerak
dari pada kegiatan. Wewenang yang bersifat informal, untuk mendapatkan
kerjasama yang baik dengan bawahan. Disamping itu wewenang juga tergantung pada
kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan. Wewenang berfungsi
untuk menjalankan kegiatan yang ada dalam organisasi.
Menurut Hani Handoko ada dua pandangan
yang saling berlawanan mengenai sumber wewenang:
a.
Teori
Formal(Pandangan klasik) adalah wewenang adalah dianugrahkan yakni wewenang ada
karena seseorang diberikan atau dilimpahkan hal tersebut. Pandangan mengangap
bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan kemudian
secara hukum diturunkan dari tingkat ketingkat.
b.
Teori
Penerimaan (acceptance theory of
authority) adalah berpendapat bahwa wewenang seseorang timbul hanya bila
hal itu diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut
dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima (reciver).[7]
Kewenangan diperoleh oleh seseorang
melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang:
a. Atribusi, yaitu wewenang yang melekat
pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum
tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh
organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang
dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli
atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.
b. Pelimpahan wewenang (delegasi), yakni
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan
kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya
untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang
kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan
sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.[8]
Sekilas
merujuk pada definisi di atas, dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk
melalui UUD 1945, khususnya melalui Pasal 24C dengan penegasan kewenangan
langsung diberikan oleh UUD 1945. Artinya, dari macam kewenangan, Mahkamah
Konstitusi memperoleh kewenangan secara atribusi dari UUD 1945, yang kemudian
dilengkapi dengan undang-undang sendiri.
Perspektif
pandangan tersebut dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
lembaga negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945. Sebagai
salah satu lembaga judicial, Mahkamah
Konstitusi bersifat independen sesuai dengan Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Makna dari kekuasaan yang
merdeka berarti, Mahkamah Konstitusi terbebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.
Sehingga Mahkamah Konstitusi dengan serta merta dapat melaksanakan wewenangnya
sesuai dengan batas kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945. Tugas Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga penjaga dan penafsir konstitusi telah melekat dengan
pelimpahan kewenangan dari UUD 1945.
Salah
satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memiliki makna bahwa
setiap undang-undang yang diuji secara materil oleh Mahkamah Konstitusi
berpedoman pada UUD 1945 sebagai rujukan dasar, dan melihat suatu undang-undang
selaras ataukah bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Pelaksanaan pengujian
tersebut tentu dengan melihat kaidah yang termuat dalam ayat, pasal maupun
keseluruhan undang-undang yang dikaji dengan norma-norma UUD 1945.
2.
Teori Penafsiran Hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan
salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan
sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap
suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak
jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.[9] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan
teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Padanan kata dari penafsiran adalah
interpretasi.[10]
Menurut M.A Loth dalam bukunya
menyebutkan bahwa Interpretasi dapat atau sama halnya dengan argumentasi yang
menimbulkan suatu ambiguitas proses/ produk. Proses menginterpretasi harus
dibedakan dari proses atau produk. Interpretasi sebagai proses adalah pemberian
suatu makna kepada suatu pernyataan lain atau alternatif rumusan yang mempunyai
makna termaksud. Kegiatan menginterpretasikan akan menghasilkan suatu
interpretasi sebagai produk.[11]
Ketika hakim dihadapkan pada kasus
konkret, menurut Loth yaitu tugasnya adalah menjelaskan apakah hal tersebut
dapat tunduk pada undang-undang. Dalam rangka menetapkan wilayah cakupan
undang-undang, hakim akan menginterpretasikan baik secara implisit maupun
eksplisit istilah dari ketentuan undang-undang.
Namun, ketika hakim dihadapkan pada masalah hukum konkret yang tidak
dapat disesuaikan dengan maksud pembentuk undang-undang sebagaimana yang telah
ditetapkan undang-undang, maka hakim dari sudut pandang semantic adalah bebas
untuk menyimpang. Apakah interpretasi yang menyimpang tersebut dapat dibenarkan
juga dari sudut pandang yuridis, politik hukum atau moral, hal tersebut
merupakan masalah yang sama sekali tidak berhubungan.[12]
Menafsirkan atau menginterpretasi
menurut Arif Sidharta adalah kegiatan mengerti atau memahami, hakikatnya
memahami sesuatu. Konsep ini disebut filsafat hermeneutika. Ilmu hukum adalah
sebuah eksamplar hermeneutik in optima
forma yang diaplikasikan dalam aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab dalam
menerapkan ilmu hukum ketika menghadapi kasus hokum, maka kegiatan interpretasi
tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis tetapi juga terhadap kenyataan yang
memunculkan masalah hukum itu sendiri.[13]
Selanjutnya Arif Sidharta menguraikan
jenis-jenis interpretasi diantaranya yaitu: teori penafsiran harfiah, teori
penafsiran gramatikal, teori penafsiran historis, teori penafsiran sosiologis,
teori penafsiran sosio- historis, teori penafsiran filosofis, teori penafsiran
teleologis, teori penafsiran holistic, dan teori penafsiran holistic
tematis-sistematis.[14]
Apabila dikaji dari pendapat M.A Loth sendiri, menekankan bahwa hakim
mempunyai kebebasan dalam menafsirkan suatu undang-undang, yang artinya hakim sendiri
tidak terikat dengan ketentuan dari undang-undang. Hakim dapat menafsirkan,
apabila dirasa perlu terkait keberadaan suatu undang-undang, sungguhpun dalam
penanganan kasus yang konkret. Mahkamah Konstitusi sendiri, lahir akibat
kehendak dari UUD 1945. Sementara hakim konstitusi yang notabene berjumlah
Sembilan orang tersebut telah bersumpah pada saat pelantikannya untuk dapat
menjaga kemurnian pancasila dan UUD 1945.
E.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
1.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi Sebagai
Penafsir Konstitusi Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
Indonesia merupakan Negara ke-78 yang
memiliki lembaga peradilan konstitusionalitas, yang diberikan kewenangan
menguji undang-undang.[15]
Sehingga dalam pengujian undang-undang, hakim dapat melakukan penafsiran hukum
terhadap norma yang berlaku dalam undang-undang terhadap konstitusi.
Sebagaimana pendapat K.C Wheare bahwa mekanisme perubahan konstitusi dilakukan
dengan empat cara, salah satunya adalah judicial
interpretation (penafsiran hukum).[16]
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
yang bertugas untuk menafsirkan konstitusi dan menjaga konstitusi melalui
kewenangannya yang telah ditentukan oleh UUD 1945, khususnya judicial review undang-undang terhadap UUD
1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi mempunyai peran sebagai negative legislator. Negative legislator dapat bermakna bahwa
Mahkamah Konstitusi menjaga kemurnian konstitusi melalui penafsirannya atas
undang-undang yang diuji terhadap UUD 1945.[17]
Terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam menafsirkan UUD 1945, telah terjadi dan diputuskan melalui Putusan No.
108/PUU-XI/2013 yang menyatakan amar putusan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang dalam melakukan penafsiran UUD 1945. Tentu pengucapan putusan
tersebut dinilai oleh banyak kalangan ahli bertentangan dengan tugas dan fungsi
Mahkamah Konstitusi sendiri dalam menafsirkan UUD 1945.
Pemohon dalam Putusan No.
108/PUU-XI/2013 yaitu Yusril Ihza Mahendra, memohon kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menafsirkan beberapa pasal dalam UUD 1945, khususnya terkait pemilu
presiden dan wakil presiden setelah mengabulkan permohonan pemohon untuk
membatalkan Pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 19 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No.
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam
pertimbangan hukum Putusan No. 108/PUU-XI/2013 menyebutkan bahwa penafsiran
yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dikategorikan dalam penafsiran
konstitusionalitas, bermakna menafsirkan pasal yang akan ditafsirkan tersebut
dengan menilai dari segi konstitusionalitas menurut UUD 1945.[18]
Sementara, pemohonan penafsiran yang
dimohonkan dalam putusan tersebut, dinilai oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
permintaan “fatwa”. Sehingga Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa permohonan
pemohon untuk menafsirkan konstitusi tidak menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi.[19]
Adapun pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian yaitu pasal-pasal
terkait persyaratan, mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui
partai politik dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang dinilai
pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya.[20]
Mekanisme penafsiran konstitusi
dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, atau seiring
dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1)
dan ayat (2) Perubahan Ke-Tiga UUD 1945. Di luar kewenangan yang telah
digariskan oleh UUD 1945 tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi tidak dapat
melakukan penafsiran atas Konstitusi. Penafsiran Konstitusi yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi menimbulkan dua implikasi terhadap UUD 1945, yaitu pertama,
mengubah arti/makna rumusan pasal di dalam UUD 1945; dan kedua, tidak mengubah
arti/makna rumusan pasal di dalam UUD 1945.[21]
Putusan yang mengubah arti/makna
rumusan Pasal di dalam UUD 1945 dapat disebut judicial interpretation yang secara formil berbentuk Putusan Hakim
Mahkamah Konstitusi yang mengikat (erga
omnes). Di dalam sistem norma hukum tata negara Indonesia putusan seperti
ini berkedudukan sebagai salah satu sumber hukum formil yang disebut
Jurisprudensi Ketatanegaraan. Secara materil, putusan tersebut adalah Judicial interpretation yang merupakan
salah satu cara Perubahan UUD 1945 (secara materil), karenanya berkedudukan
setara dengan UUD 1945/Perubahan UUD 1945 dan dapat dikategorikan sebagai
konstitusi dalam arti luas; dalam arti hukum; dan dalam arti materil. Sedangkan
Putusan yang tidak mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945,
hanyalah pelengkap dan hanya tafsiran semata (Penjelasan), sehingga sifatnya
tidak mengikat (sebagai Konstitusi) sebagaimana pada Putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945.[22]
Berdasarkan pemahaman penafsiran di
atas, dapat dihubungkan dengan Putusan No.108/PUU-XI/2013 yaitu permintaan
pemohon untuk dapat dilakukannya penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi
(yang menurut Mahkamah Konstitusi merupakan kategori fatwa), apabila benar
sekiranya dikabulkan maka Mahkamah Konstitusi telah melakukan perubahan
terhadap UUD 1945. Hal tersebut disebabkan karena penafsiran terhadap pasal
terkait pemilihan umum, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dapat
menyebabkan perubahan makna sebenarnya dari maksud dan tujuan pasal UUD 1945
tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi menolak untuk melakukan penafsiran yang
dimohonkan oleh pemohon, berikut juga menolak permohonan pemohon secara
seluruhnya.[23]
2.
Akibat Hukum Pernyataan Mahkamah
Konstitusi Dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 Terkait Tidak Berwenangnya Sebagai
Penafsir Konstitusi
Berbicara mengenai konteks akibat
hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, dapat ditemukan dalam Pasal 24C Ayat
(1) UUD 1945 yang menyebutkan “….putusannya bersifat final dan mengikat…”,
dapat dimaknai putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan putusan yang final tanpa adanya upaya hukum lainnya, sebagaimana
putusan pada badan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, dan sifatnya
mengikat pada saat setelah pembacaan putusan didepan sidang terbuka untuk umum.[24]
Penentuan suatu putusan oleh Mahkamah
Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan.[25]
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.[26]
Sebelum putusan dibacakan, Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 45 Ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 wajib memuat fakta yang terungkap, yaitu
fakta-fakta hukum yang didapat berdasarkan alat bukti yang disampaikan oleh
para pihak, yang kemudian fakta tersebut dituangkan secara rinci dalam
pertimbangan hukum putusan.
Berdasarkan kasus yang dikaji yaitu Putusan
No. 108/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi
memuat fakta hukum atas permohonan pemohon terkait pelaksanaan pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum legislatif. Disebutkan dalam
Pasal 6A UUD 1945 bahwa “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, serta Pasal 22E UUD 1945 tentang
Pemilihan Umum. Dimana pendapat Mahkamah Konstitusi bila dikaitkan dengan pasal
yang dimohon uji materil, Pasal 3 Ayat (5) terkait pelaksanaan pemilu pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden setelah pemilu legislatif, Pasal 9 tentang syarat
partai politik dan gabungan partai politik yang mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden, Pasal 14 Ayat (2) mengenai masa pendaftaran calon, dan Pasal 112 UU
No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, terkait
jadwal pemungutan suara setelah pemilu legislatif, tidak beralasan menurut
hukum.[27]
Selain itu Mahkamah juga menyatakan dalam pendapat hukumnya bahwa Mahkamah
tidak berwenang mengabulkan permohonan pemohon terkait penafsiran konstitusi,
khusus terhadap Pasal 4, Pasal 6A Ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E Ayat (1), (2),
(3) UUD 1945, sehingga amar putusan menyebutkan tidak dapat diterima.
Menurut ketentuan Pasal 57 UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara garis besarnya bahwa setiap
ayat, pasal, maupun keseluruhan undang-undang yang diuji materil oleh Mahkamah
Konstitusi diterima permohonannya maka tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga makna dari pasal tersebut adalah bagi permohonan yang diterima. Namun,
bagi putusan yang menyebutkan permohonan ditolak, tidak dapat diterima dalam
perkara pengujian undang-undang, maka secara hukum, undang-undang tersebut
masih dinyatakan berlaku.
Menyimak dari Putusan No.
108/PUU-XI/2013 yang dinyatakan tidak dapat diterima, maka keberlakuan UU No.
48 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih tetap berlaku
sebagaimana mestinya, sehingga tidak menimbulkan dampak hukum apapun secara
praktis. Namun, secara teoritis, dapat dikaji bahwa setiap putusan yang telah
diputuskan maka akan menjadi jurisprudence
bagi perkara selanjutnya. Masalah yang didapatkan dalam Putusan No.
108/PUU-XI/2013, bukanlah dari amar putusannya, melainkan dari prihal
permohonan yang dimohonkan, khususnya tentang permohonan penafsiran konstitusi.
Permohonan penafsiran terhadap pasal
dalam UUD 1945 yang dimohonkan pemohon, digolongkan sebagai fatwa. Sungguhpun,
pelaksanaan penafsiran UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi sejalan dengan
pelaksanaan kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945, namun
penafsiran yang dimohonkan seharusnya tetap dilaksanakan walaupun dalam bentuk
fatwa.
Akibat hukum secara teoritis yang
dapat ditekankan adalah apabila ke depannya, Mahkamah Konstitusi dalam
pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dimintai untuk
menafsirkan konstitusi walaupun dalam bentuk fatwa, menjadikan Putusan No. 108/PUU-XI/2013
sebagai yurisprudensi sehingga semua permintaan/permohonan penafsiran terhadap
UUD 1945, ditolak. Padahal salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai
pengawal dan penafsir konstitusi. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Mahkamah
Konstitusi menyalahi fungsi utamanya sebagai penafsir konstitusi.
F.
Penutup
1.
Kesimpulan
1) Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara
yang berfungsi sebagai penegak konstitusi dan penafsir konstitusi. Sehingga
dalam pelaksanaan kewenangannya Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran
konstitusi, khususnya dalam perkara pengujian undang-undang (judicial review). Terkait Putusan No.
108/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak permintaan
penafsiran konstitusi dan menggolongkannya dalam bentuk fatwa merupakan sebuah
kesalahan. Dimana Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran walaupun dalam
bentuk fatwa apabila diminta, dengan mencantumkan hasil penafsiran tersebut
dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
2) Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang
menyebutkan permohonan pemohon ditolak sebagian maupun selebihnya, dapat
menjadi yurisprudensi bagi perkara selanjutnya. Dimana timbul kekhawatiran akan
ditolaknya permohonan melakukan penafsiran konstitusi ke depannya. Sehingga
Mahkamah Konstitusi dinilai mengenyampingkan fungsinya sebagai penafsir
konstitusi.
2.
Saran
1) Disarankan kepada Mahkamah Konstitusi
agar dapat mengakomodir permohonan penafsiran konstitusi ke depannya,
sungguhpun dalam bentuk fatwa dengan jalan menuangkan hasil penafsiran tersebut
dalam pertimbangan hukum maupun pendapat mahkamah sendiri, atau dapat
menuangkannya dalam bentuk terpisah dari muatan putusan.
2) Disarankan kepada Mahkamah Konstitusi
agar tidak mempedomani Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang muatan terkait
permohonan penafsiran konstitusi di tolak sebagai yurisprudensi pada perkara
selanjutnya, sehingga apa bila ada pemohon yang hendak meminta penafsiran dari
Mahkamah Konstitusi, baik dalam bentuk fatwa, dapat terakomodir sebagaimana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abu
Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas
Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985
Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta. 2006
----------------------,
Setengah Abad Jimly Asshiddiqie,
Konstitusi dan Semangat Kebangsaan, PT. Sumber Agung, Jakarta, 2006
Loth
M.A., Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi
Kecil, dialih bahasakan oleh Linus Doludjawa, Direktorak Jenderal
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007
Mahfud
MD Moh., Politik Hukum di Indonesia,
Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998
Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara Perubahan UUD 1945, BPFE,
Yogyakarta, 2005
Sri
Soemantri M.R., Bunga Rampai Hukum Tata
Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992
Taufiqurrahman
Syahiri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek
Hukum, Kencana, Jakarta, 2011
2. Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang
No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Putusan
Mahkamah Konstitusi Putusan No. 108/PUU-XI/2013
3. Kamus
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990
4. Makalah
dan Jurnal
Anonimous,
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, (Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang
Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada
Opini), Bahan Tayang, Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Jakarta, tth
Anonimous,
Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU
Negara RI Tahun 1945, Jurnal Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007
Leli
Tibaka, Penafsiran Konstitusi Oleh
Mahkamah Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Perubahan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tesis, Universitas Padjajaran,
Bandung, 2013
5. Internet
Mohammad
Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,
http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html,
diakses pada tanggal 1 April 2014
[1] Abu Daud Busro dan Abu Bakar
Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, hal
109
[2] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta. 2006, hal. 4
[3] Anonimous, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah,
(Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah
Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini), Bahan Tayang, Sekretaris
Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, tth, hal. 2
[4] Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara
Perubahan UUD 1945, BPFE, Yogyakarta, 2005, hal 21
[5] Anonimous, Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU Negara RI Tahun 1945,
Jurnal Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007, hal 72
[6] Jimly mengungkapkan bahwa kewenangan
MK dalam mengawal dan menafsirkan konstitusi dengan artian bahwa MK harus
melaksanakan apa saja yang ada dan diatur dalam konstitusi dan menafsirkan
hal-hal yang tidak jelas ketentuan dalam konstitusi. Lihat dalam Jimly
Asshiddiqie, Setengah Abad Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan, PT. Sumber Agung, Jakarta,
2006, hal 37
[7]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hal 376
[8] R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung, 1992, hal 29
[9] Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,
http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html,
diakses pada tanggal 1 April 2014
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan
ketiga, Balai Pustaka, 1990, hal. 336.
[11] M.A. Loth, Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi Kecil, dialih bahasakan oleh
Linus Doludjawa, Direktorak Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta, 2007, hal. 81
[12] Ibid.,
hal. 84
[13] Jimly Asshiddiqie, Pengantar …, Op., Cit., hal. 308
[14]
Ibid, hal. 279
[15] Taufiqurrahman Syahiri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,
Kencana, Jakarta, 2011, hal.109
[16] Ibid.,
hal. 109-110
[18] Lihat Putusan No. 108/PUU-XI/2013,
hal. 21
[19] Ibid.
[20] Ibid.,hal.
32-34
[21] Leli Tibaka, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Dan Implikasinya
Terhadap Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Tesis, Universitas Padjajaran, Bandung, 2013, hal. i
[22] Ibid.
[23] Lihat Putusan MK No. 108/PUU-XI/2013,
hal. 33
[24] Lihat Pasal 28 Ayat (5) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[25] Lihat Pasal 45 Ayat (3) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[26] Lihat Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
[27] Lihat Konklusi angka 4.4 Putusan
Mahkamah Konstitusi Putusan No. 108/PUU-XI/2013, hal. 33