Subscribe Us

Sabtu, 13 September 2014

EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI MENAFSIRKAN KONSTITUSI TERKAIT KEWENANGAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UUD 1945

ABSTRAK
Keberadaan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, yang kemudian dilanjutkan pengaturannya dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan terakhir telah diubah keduakalinya dengan UU No. 4 Tahun 2014. Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban, yang salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Pelaksanaan wewenang Mahkamah Konstitusi semenjak awal berdirinya telah menyelesaikan kasus konstitusional pengujian undang-undang dengan menerapkan jiwa sebagai “sole interpreter constitution”. Namun, dalam penyelesaian perkara Putusan No. 108/PUU-XI/2013, salah satu pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi, tidak berwenang dalam menafsirkan UUD 1945, terkait pokok permohonan dalam perkara tersebut, sehingga hal tersebut dinilai menyalahi semangat dan jiwa pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai “the sole interpreter constitution”.
Adapun tujuan penulisan ini yaitu menjelaskan dan mengkaji eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang. Menjelaskan dan mengkaji mekanisme penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang. Dan, akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi.

Kata kunci: Penafsiran konstitusi dan Pengujian undang-undang

A.     Pendahuluan
Salah satu agenda reformasi yaitu penegakan supremasi hukum yang dilandasi dengan semangat konstitusionalisme, yaitu dengan cara melaksanakan ketentuan konstitusi secara murni dan konsekuen. Hal tersebut merupakan manifestasi dari aspek muatan negara hukum. Adapun tujuan dari negara hukum adalah mewujudkan rasa keadilan bagi warga negara.[1] Konseptual negara hukum di Indonesia dikejewantahkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Muatan materi utama dari negara hukum mencakupi: a) adanya pembatasan kekuasaan Negara, b) perlindungan HAM, c) adanya peradilan yang bebas.[2] Manifestasi dari negara hukum tersebut selanjutnya diterapkan di Indonesia dengan wujud amandemen UUD 1945. Prihal utama yang ditekankan dalam amandemen UUD 1945, yaitu pembatasan kekuasaan Presiden, penguatan fungsi DPR, dan mewujudkan pembentukan peradilan konstitusi.[3] Cita-cita pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri telah terealisasi dengan diaturnya kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24C UUD 1945, yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,dan diubah kedua kalinya dengan UU No. 4 Tahun 2014.
Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 yaitu: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c) memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana disebutkan oleh Soehino, dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi juga disebut sebagai organ pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Dalam menjalankan fungsi peradilan, Mahkamah Konstitusi dapat menafsirkan UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi selain penjaga juga disebut sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).[4] 
Salah satu pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan oleh UUD 1945 yaitu pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review). Dimana dalam melakukan pengujian tersebut, Mahkamah Konstitusi menyandarkan frasa pasal, ayat dalam pasal, pasal maupun keseluruhan pasal dari undang-undang yang diuji tersbeut dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi yang disebut juga sebagai “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution.” Disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.[5] Kemudian disebut sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi dikarenakan kewenangan judicial review menciptakan kewenangan tersebut. Kewenangan menafsirkan itu timbul dari sebuah tafsir pula bahwa bagaimana bisa melakukan review terhadap sebuah undang-undang agar berkesesuaian dengan konstitusi apabila tidak diberi kewenangan memaknai dan menafsirkan konstitusi itu sendiri. Artinya kewenangan tafsir konstitusi itu lahir juga dari sebuah penafsiran.[6]
Argumentasi di atas terkait dasar penafsiran dalam pengujian undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, dikucilkan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri, terutama dalam penyelesaian perkara Putusan No. 108/PUU-XI/2013. Sungguhpun dalam amar putusan tersebut menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima dan ditolak, baik sebagian maupun seluruhnya, namun pada pertimbangan hukum putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengklaim diri tidak berwenang melakukan penafsiran sebagaimana yang dimohonkan pemohon.
Adapun undang-undang yang dimohonkan untuk ditafsirkan yaitu UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Permohonan pemohon terkait penafsiran terhadap UUD 1945 dicantumkan dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013, yaitu: “… dengan sengaja memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan secara langsung makna Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (1), (2), (3) UUD 1945, setelah menyatakan bahwa pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat…”. Adapun jawaban Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya: “… penafsiran yang dimohonkan pemohon dapat dikategorikan sebagai permohonan mengeluarkan fatwa kepada mahkamah melalui penafsiran terhadap UUD 1945, berdasarkan petitum menurut angka 3 dan 4, tidak menjadi kewenangan mahkamah”.
Atas prihal permohonan dengan pertimbangan hukum yang dipaparkan oleh Mahkamah Konstitusi, menimbulkan kontradiksi yuridis dari wewenang Mahkamah Konstitusi yang seharusnya sebagai penafsir konstitusi, maka Putusan No. 108/PUU-XI/2013 layak dikaji dari aspek hukum ketatanegaraan.

B.     Permasalahan
Sebagaimana uraian di atas, dapat ditentukan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut, yaitu:
  1. Seperti apakah eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945?
  2. Apakah akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi?


C.     Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan ini adalah:
  1. 1.   Untuk mengkaji dan menjelaskan eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
  2. 2.   Untuk mengkaji dan menjelaskan akibat hukum pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 terkait tidak berwenangnya sebagai penafsir konstitusi.


D.     Kerangka Teori
1.   Teori Kewenangan
Wewenang (Authority) merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai penggerak dari pada kegiatan. Wewenang yang bersifat informal, untuk mendapatkan kerjasama yang baik dengan bawahan. Disamping itu wewenang juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan. Wewenang berfungsi untuk menjalankan kegiatan yang ada dalam organisasi.
Menurut Hani Handoko ada dua pandangan yang saling berlawanan mengenai sumber wewenang:
a.   Teori Formal(Pandangan klasik) adalah wewenang adalah dianugrahkan yakni wewenang ada karena seseorang diberikan atau dilimpahkan hal tersebut. Pandangan mengangap bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan kemudian secara hukum diturunkan dari tingkat ketingkat.
b.   Teori Penerimaan (acceptance theory of authority) adalah berpendapat bahwa wewenang seseorang timbul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima (reciver).[7] 

Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang:
a.   Atribusi, yaitu wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum  tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.
b.   Pelimpahan wewenang (delegasi), yakni Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.[8]

Sekilas merujuk pada definisi di atas, dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk melalui UUD 1945, khususnya melalui Pasal 24C dengan penegasan kewenangan langsung diberikan oleh UUD 1945. Artinya, dari macam kewenangan, Mahkamah Konstitusi memperoleh kewenangan secara atribusi dari UUD 1945, yang kemudian dilengkapi dengan undang-undang sendiri.
Perspektif pandangan tersebut dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945. Sebagai salah satu lembaga judicial, Mahkamah Konstitusi bersifat independen sesuai dengan Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Makna dari kekuasaan yang merdeka berarti, Mahkamah Konstitusi terbebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Sehingga Mahkamah Konstitusi dengan serta merta dapat melaksanakan wewenangnya sesuai dengan batas kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945. Tugas Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga dan penafsir konstitusi telah melekat dengan pelimpahan kewenangan dari UUD 1945.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memiliki makna bahwa setiap undang-undang yang diuji secara materil oleh Mahkamah Konstitusi berpedoman pada UUD 1945 sebagai rujukan dasar, dan melihat suatu undang-undang selaras ataukah bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Pelaksanaan pengujian tersebut tentu dengan melihat kaidah yang termuat dalam ayat, pasal maupun keseluruhan undang-undang yang dikaji dengan norma-norma UUD 1945.

2.   Teori Penafsiran Hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.[9]  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Padanan kata dari penafsiran adalah interpretasi.[10]
Menurut M.A Loth dalam bukunya menyebutkan bahwa Interpretasi dapat atau sama halnya dengan argumentasi yang menimbulkan suatu ambiguitas proses/ produk. Proses menginterpretasi harus dibedakan dari proses atau produk. Interpretasi sebagai proses adalah pemberian suatu makna kepada suatu pernyataan lain atau alternatif rumusan yang mempunyai makna termaksud. Kegiatan menginterpretasikan akan menghasilkan suatu interpretasi sebagai produk.[11]
Ketika hakim dihadapkan pada kasus konkret, menurut Loth yaitu tugasnya adalah menjelaskan apakah hal tersebut dapat tunduk pada undang-undang. Dalam rangka menetapkan wilayah cakupan undang-undang, hakim akan menginterpretasikan baik secara implisit maupun eksplisit istilah dari ketentuan undang-undang.  Namun, ketika hakim dihadapkan pada masalah hukum konkret yang tidak dapat disesuaikan dengan maksud pembentuk undang-undang sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang, maka hakim dari sudut pandang semantic adalah bebas untuk menyimpang. Apakah interpretasi yang menyimpang tersebut dapat dibenarkan juga dari sudut pandang yuridis, politik hukum atau moral, hal tersebut merupakan masalah yang sama sekali tidak berhubungan.[12]
Menafsirkan atau menginterpretasi menurut Arif Sidharta adalah kegiatan mengerti atau memahami, hakikatnya memahami sesuatu. Konsep ini disebut filsafat hermeneutika. Ilmu hukum adalah sebuah eksamplar hermeneutik in optima forma yang diaplikasikan dalam aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab dalam menerapkan ilmu hukum ketika menghadapi kasus hokum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis tetapi juga terhadap kenyataan yang memunculkan masalah hukum itu sendiri.[13]
Selanjutnya Arif Sidharta menguraikan jenis-jenis interpretasi diantaranya yaitu: teori penafsiran harfiah, teori penafsiran gramatikal, teori penafsiran historis, teori penafsiran sosiologis, teori penafsiran sosio- historis, teori penafsiran filosofis, teori penafsiran teleologis, teori penafsiran holistic, dan teori penafsiran holistic tematis-sistematis.[14]
   Apabila dikaji dari pendapat M.A Loth sendiri, menekankan bahwa hakim mempunyai kebebasan dalam menafsirkan suatu undang-undang, yang artinya hakim sendiri tidak terikat dengan ketentuan dari undang-undang. Hakim dapat menafsirkan, apabila dirasa perlu terkait keberadaan suatu undang-undang, sungguhpun dalam penanganan kasus yang konkret. Mahkamah Konstitusi sendiri, lahir akibat kehendak dari UUD 1945. Sementara hakim konstitusi yang notabene berjumlah Sembilan orang tersebut telah bersumpah pada saat pelantikannya untuk dapat menjaga kemurnian pancasila dan UUD 1945.

E.     Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
1.      Eksistensi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Konstitusi Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
Indonesia merupakan Negara ke-78 yang memiliki lembaga peradilan konstitusionalitas, yang diberikan kewenangan menguji undang-undang.[15] Sehingga dalam pengujian undang-undang, hakim dapat melakukan penafsiran hukum terhadap norma yang berlaku dalam undang-undang terhadap konstitusi. Sebagaimana pendapat K.C Wheare bahwa mekanisme perubahan konstitusi dilakukan dengan empat cara, salah satunya adalah judicial interpretation (penafsiran hukum).[16]
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang bertugas untuk menafsirkan konstitusi dan menjaga konstitusi melalui kewenangannya yang telah ditentukan oleh UUD 1945, khususnya judicial review undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi mempunyai peran sebagai negative legislator. Negative legislator dapat bermakna bahwa Mahkamah Konstitusi menjaga kemurnian konstitusi melalui penafsirannya atas undang-undang yang diuji terhadap UUD 1945.[17]
Terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan UUD 1945, telah terjadi dan diputuskan melalui Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang menyatakan amar putusan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam melakukan penafsiran UUD 1945. Tentu pengucapan putusan tersebut dinilai oleh banyak kalangan ahli bertentangan dengan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sendiri dalam menafsirkan UUD 1945.
Pemohon dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yaitu Yusril Ihza Mahendra, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan beberapa pasal dalam UUD 1945, khususnya terkait pemilu presiden dan wakil presiden setelah mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan Pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 19 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pertimbangan hukum Putusan No. 108/PUU-XI/2013 menyebutkan bahwa penafsiran yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dikategorikan dalam penafsiran konstitusionalitas, bermakna menafsirkan pasal yang akan ditafsirkan tersebut dengan menilai dari segi konstitusionalitas menurut UUD 1945.[18]
Sementara, pemohonan penafsiran yang dimohonkan dalam putusan tersebut, dinilai oleh Mahkamah Konstitusi sebagai permintaan “fatwa”. Sehingga Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa permohonan pemohon untuk menafsirkan konstitusi tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.[19] Adapun pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian yaitu pasal-pasal terkait persyaratan, mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui partai politik dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang dinilai pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya.[20]
Mekanisme penafsiran konstitusi dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, atau seiring dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Perubahan Ke-Tiga UUD 1945. Di luar kewenangan yang telah digariskan oleh UUD 1945 tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi tidak dapat melakukan penafsiran atas Konstitusi. Penafsiran Konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan dua implikasi terhadap UUD 1945, yaitu pertama, mengubah arti/makna rumusan pasal di dalam UUD 1945; dan kedua, tidak mengubah arti/makna rumusan pasal di dalam UUD 1945.[21]
Putusan yang mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945 dapat disebut judicial interpretation yang secara formil berbentuk Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengikat (erga omnes). Di dalam sistem norma hukum tata negara Indonesia putusan seperti ini berkedudukan sebagai salah satu sumber hukum formil yang disebut Jurisprudensi Ketatanegaraan. Secara materil, putusan tersebut adalah Judicial interpretation yang merupakan salah satu cara Perubahan UUD 1945 (secara materil), karenanya berkedudukan setara dengan UUD 1945/Perubahan UUD 1945 dan dapat dikategorikan sebagai konstitusi dalam arti luas; dalam arti hukum; dan dalam arti materil. Sedangkan Putusan yang tidak mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945, hanyalah pelengkap dan hanya tafsiran semata (Penjelasan), sehingga sifatnya tidak mengikat (sebagai Konstitusi) sebagaimana pada Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah arti/makna rumusan Pasal di dalam UUD 1945.[22]
Berdasarkan pemahaman penafsiran di atas, dapat dihubungkan dengan Putusan No.108/PUU-XI/2013 yaitu permintaan pemohon untuk dapat dilakukannya penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (yang menurut Mahkamah Konstitusi merupakan kategori fatwa), apabila benar sekiranya dikabulkan maka Mahkamah Konstitusi telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hal tersebut disebabkan karena penafsiran terhadap pasal terkait pemilihan umum, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dapat menyebabkan perubahan makna sebenarnya dari maksud dan tujuan pasal UUD 1945 tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi menolak untuk melakukan penafsiran yang dimohonkan oleh pemohon, berikut juga menolak permohonan pemohon secara seluruhnya.[23]

2.      Akibat Hukum Pernyataan Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013 Terkait Tidak Berwenangnya Sebagai Penafsir Konstitusi
Berbicara mengenai konteks akibat hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, dapat ditemukan dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “….putusannya bersifat final dan mengikat…”, dapat  dimaknai putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang final tanpa adanya upaya hukum lainnya, sebagaimana putusan pada badan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, dan sifatnya mengikat pada saat setelah pembacaan putusan didepan sidang terbuka untuk umum.[24]
Penentuan suatu putusan oleh Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.[25] Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.[26] Sebelum putusan dibacakan, Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 45 Ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 wajib memuat fakta yang terungkap, yaitu fakta-fakta hukum yang didapat berdasarkan alat bukti yang disampaikan oleh para pihak, yang kemudian fakta tersebut dituangkan secara rinci dalam pertimbangan hukum putusan.
Berdasarkan kasus yang dikaji yaitu Putusan No. 108/PUU-XI/2013,  Mahkamah Konstitusi memuat fakta hukum atas permohonan pemohon terkait pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum legislatif. Disebutkan dalam Pasal 6A UUD 1945 bahwa “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, serta Pasal 22E UUD 1945 tentang Pemilihan Umum. Dimana pendapat Mahkamah Konstitusi bila dikaitkan dengan pasal yang dimohon uji materil, Pasal 3 Ayat (5) terkait pelaksanaan pemilu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden setelah pemilu legislatif, Pasal 9 tentang syarat partai politik dan gabungan partai politik yang mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 14 Ayat (2) mengenai masa pendaftaran calon, dan Pasal 112 UU No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, terkait jadwal pemungutan suara setelah pemilu legislatif, tidak beralasan menurut hukum.[27] Selain itu Mahkamah juga menyatakan dalam pendapat hukumnya bahwa Mahkamah tidak berwenang mengabulkan permohonan pemohon terkait penafsiran konstitusi, khusus terhadap Pasal 4, Pasal 6A Ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3) UUD 1945, sehingga amar putusan menyebutkan tidak dapat diterima.
Menurut ketentuan Pasal 57 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara garis besarnya bahwa setiap ayat, pasal, maupun keseluruhan undang-undang yang diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi diterima permohonannya maka tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga makna dari pasal tersebut adalah bagi permohonan yang diterima. Namun, bagi putusan yang menyebutkan permohonan ditolak, tidak dapat diterima dalam perkara pengujian undang-undang, maka secara hukum, undang-undang tersebut masih dinyatakan berlaku.
Menyimak dari Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang dinyatakan tidak dapat diterima, maka keberlakuan UU No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih tetap berlaku sebagaimana mestinya, sehingga tidak menimbulkan dampak hukum apapun secara praktis. Namun, secara teoritis, dapat dikaji bahwa setiap putusan yang telah diputuskan maka akan menjadi jurisprudence bagi perkara selanjutnya. Masalah yang didapatkan dalam Putusan No. 108/PUU-XI/2013, bukanlah dari amar putusannya, melainkan dari prihal permohonan yang dimohonkan, khususnya tentang permohonan penafsiran konstitusi.
Permohonan penafsiran terhadap pasal dalam UUD 1945 yang dimohonkan pemohon, digolongkan sebagai fatwa. Sungguhpun, pelaksanaan penafsiran UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi sejalan dengan pelaksanaan kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945, namun penafsiran yang dimohonkan seharusnya tetap dilaksanakan walaupun dalam bentuk fatwa.
Akibat hukum secara teoritis yang dapat ditekankan adalah apabila ke depannya, Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dimintai untuk menafsirkan konstitusi walaupun dalam bentuk fatwa, menjadikan Putusan No. 108/PUU-XI/2013 sebagai yurisprudensi sehingga semua permintaan/permohonan penafsiran terhadap UUD 1945, ditolak. Padahal salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Mahkamah Konstitusi menyalahi fungsi utamanya sebagai penafsir konstitusi.

F.     Penutup
1.   Kesimpulan
1)      Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang berfungsi sebagai penegak konstitusi dan penafsir konstitusi. Sehingga dalam pelaksanaan kewenangannya Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran konstitusi, khususnya dalam perkara pengujian undang-undang (judicial review). Terkait Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak permintaan penafsiran konstitusi dan menggolongkannya dalam bentuk fatwa merupakan sebuah kesalahan. Dimana Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran walaupun dalam bentuk fatwa apabila diminta, dengan mencantumkan hasil penafsiran tersebut dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
2)      Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang menyebutkan permohonan pemohon ditolak sebagian maupun selebihnya, dapat menjadi yurisprudensi bagi perkara selanjutnya. Dimana timbul kekhawatiran akan ditolaknya permohonan melakukan penafsiran konstitusi ke depannya. Sehingga Mahkamah Konstitusi dinilai mengenyampingkan fungsinya sebagai penafsir konstitusi.


2.   Saran
1)      Disarankan kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat mengakomodir permohonan penafsiran konstitusi ke depannya, sungguhpun dalam bentuk fatwa dengan jalan menuangkan hasil penafsiran tersebut dalam pertimbangan hukum maupun pendapat mahkamah sendiri, atau dapat menuangkannya dalam bentuk terpisah dari muatan putusan.
2)      Disarankan kepada Mahkamah Konstitusi agar tidak mempedomani Putusan No. 108/PUU-XI/2013 yang muatan terkait permohonan penafsiran konstitusi di tolak sebagai yurisprudensi pada perkara selanjutnya, sehingga apa bila ada pemohon yang hendak meminta penafsiran dari Mahkamah Konstitusi, baik dalam bentuk fatwa, dapat terakomodir sebagaimana mestinya.



 DAFTAR PUSTAKA
1.      Buku
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. 2006
----------------------, Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan, PT. Sumber Agung, Jakarta, 2006
Loth M.A., Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi Kecil, dialih bahasakan oleh Linus Doludjawa, Direktorak Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007
Mahfud MD Moh., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998
Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara Perubahan UUD 1945, BPFE, Yogyakarta, 2005
Sri Soemantri M.R., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992
Taufiqurrahman Syahiri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011

2.      Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan No. 108/PUU-XI/2013

3.      Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990

4.      Makalah dan Jurnal
Anonimous, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, (Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini), Bahan Tayang, Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, tth
Anonimous, Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU Negara RI Tahun 1945, Jurnal Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007
Leli Tibaka, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tesis, Universitas Padjajaran, Bandung, 2013

5.      Internet
Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html, diakses pada tanggal 1 April 2014



[1] Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro,  Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, hal 109
[2] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. 2006, hal. 4
[3] Anonimous, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, (Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini), Bahan Tayang, Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, tth, hal. 2
[4] Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara Perubahan UUD 1945, BPFE, Yogyakarta, 2005, hal 21
[5] Anonimous, Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU Negara RI Tahun 1945, Jurnal Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007, hal 72
[6] Jimly mengungkapkan bahwa kewenangan MK dalam mengawal dan menafsirkan konstitusi dengan artian bahwa MK harus melaksanakan apa saja yang ada dan diatur dalam konstitusi dan menafsirkan hal-hal yang tidak jelas ketentuan dalam konstitusi. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan, PT. Sumber Agung, Jakarta, 2006, hal 37
[7]   Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hal 376
[8] R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal  29
[9] Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html, diakses pada tanggal 1 April 2014
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990, hal. 336.
[11] M.A. Loth, Bahasa dan Hukum, Sebuah Metodologi Kecil, dialih bahasakan oleh Linus Doludjawa, Direktorak Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007, hal. 81
[12] Ibid., hal. 84
[13] Jimly Asshiddiqie, Pengantar …, Op., Cit., hal. 308
[14] Ibid, hal. 279
[15] Taufiqurrahman Syahiri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, hal.109
[16] Ibid., hal. 109-110
[18] Lihat Putusan No. 108/PUU-XI/2013, hal. 21
[19] Ibid.
[20] Ibid.,hal. 32-34
[21] Leli Tibaka, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tesis, Universitas Padjajaran, Bandung, 2013, hal. i
[22] Ibid.
[23] Lihat Putusan MK No. 108/PUU-XI/2013, hal. 33
[24] Lihat Pasal 28 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[25] Lihat Pasal 45 Ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[26] Lihat Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[27] Lihat Konklusi angka 4.4 Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan No. 108/PUU-XI/2013, hal. 33
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten