Ditulis Oleh:
Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.[1]
(Kadiv. Litbang Lembaga Analisis Qanun Hukum dan Perundang-Undangan)
A. Pendahuluan
Ketentuan mengenai calon independen di Aceh diatur dalam Pasal 256 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Calon independen untuk pertama kali maju dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh yaitu pada tahun 2007. Pasal 256 UUPA menyebutkan bahwa “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Kekisruhan politik pasca pelaksanaan Pemilukada Aceh pada tahun 2007 terkait keberadaan calon independen adalah pelaksanaannya hanya diberlakukan satu kali setelah UUPA diundangkan. Oleh karena itu, dinilai oleh sejumlah pihak, pengaturan mengenai batas waktu keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh dinilai melanggar hak konstitusionalitas yang telah diatur dalam UUD 1945.
Dasar lainnya yang menjadi pertimbangan yaitu terkait dengan adanya amandemen UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah sebanyak dua kali dan terakhir yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004. Dalam ketentuan undang-undang tersebut pelaksanaan Pemilukada dengan keikutsertaan calon independen telah diakui secara nasional.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam putusan MK menyatakan Pasal 256 UUPA tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan meyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.[2] Berdasarkan putusan tersebut maka pintu demokrasi Aceh dalam pelaksanaan Pemilukada terbuka kembali untuk megikutsertakan calon independen.
Permasalahan dalam politik kian memanas ketika sebagian anggota DPRA dinilai menolak Putusan MK tersebut dengan dasar melanggar keistimewaan yang ada di Aceh dan juga UUPA khususnya.[3] Pernyataan demikian dinilai menutup pintu demokrasi di Aceh, sehingga mengakibatkan ketidaksinambungan dalam program legislasi daerah kedepan terkait revisi qanun tentang penyelenggaraan pemilukada.
Tulisan kecil ini akan menelaah lebih lanjut terkait persiapan yang dilakukan oleh lembaga daerah terkait pasca Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, seperti Pemerintah Aceh, DPRA dan juga KIP Aceh tentunya sebagai lembaga penyelenggara pilkada.
B. Dampak Kekuatan Hukum Putusan MK dan Pengawalan Terhadap Calon Independen
Pasca keluarnya Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa lembaga yang terkait dan termuat dalam putusan tersebut “wajib” mengikuti dan menaati putusan tersebut. Keberadaan Pasal 256 UUPA sudah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi, sehingga pedoman pelaksanaan pilkada di Aceh kembali merujuk pada UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Taqwaddin mengungkapkan terkait putusan MK mempunyai sifat diantaranya:
1. Putusan final dan mengikat, akibatnya adalah putusan ini menjadi yurisprudensi. Sebagaimana diketahui, judicial review UU No. 32 Tahun 2004, yang pada awalnya merujuk pada UUPA mengenai calon idependen. Dimana penilaian MK saat itu calon independen merupakan jalan bagi setiap warga untuk ikut dipilih dalam pesta demokrasi (pilkada) dengan acuan UUPA. Sehingga lahirlah Putusan MK No. 5/PUU-V/2007. Kini pada saat judicial review Pasal 256 UUPA, MK kembali menjadikan Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 sebagai pertimbangan dalam judicial review UUPA.
2. Bersifat declatoir;
3. Tidak boleh retroaktif;
4. Bersifat erga omnes;
5. Pembatalan suatu UU, maka UU yang dibatalkan akan tidak berlaku sehingga UU yang lama berlaku kembali kembali.[4]
Implikasinya adalah Apabila suatu undang-undang yang diuji tidak ditindak lanjuti akan menjadikan aturan hukum tersebut tidak berjalan. Maka, secara yuridis formal, segala perundang-undangan dari undang-undang yang diuji (bersifat turunan) harus direvisi/ disesuaikan dengan putusan MK, khusus untuk ini maka diharuskan revisi qanun Pemilukada. Taqwaddin juga memaparkan bahwa Ada dua hal yang menjadikan putusan tentang calon independen tersebut jalan:
1. Dukungan publik terhadap putusan tersebut;
2. Kesadaran warga Negara akan ada kelalaian pembuat undang-undang sehingga perlu diberikan teguran
Atas dasar tersebut dan demi kelancaran berdemokrasi di Aceh, maka seluruh komponen masyarakat Aceh, dapat mengawal putusan MK tersebut guna menjaga kestabilan politik di Aceh.
C. Bentuk Persiapan Lembaga Daerah Pasca Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010
Pemerintah Aceh menanggapi putusan MK tersebut dengan mengajukan langsung pada pihak legislatif Aceh (DPRA) draft rancangan qanun pilkada yang baru. Sebagaimana diketahu aturan hukum pelaksanaan pilkada terdahulu diatur dalam Qanun No. 2 Tahun 2004, hingga qanun tersebut perlu dicabut. Namun, M. Jafar menyebutkan bahwa ketentuan calon perseorangan dalam Qanun No. 2 Tahun 2004 dapat diberlakukan dalam pilkada 2011 ini.[5]
Merujuk pada putusan MK, maka pasangan calon perseorangan dapat mengikuti pilkada 2011. Terkait dengan penolakan sebagian anggota DPRA, M. Jafar mengungkapkan bahwa tidak mengetahui secara pasti prihal tersebut. Namun, Pemerintah Aceh berdasarkan petunjuk yang dikeluarkan oleh Gubernur menyatakan bahwa setiap pihak termasuk Pemerintah Aceh wajib mengikuti putusan MK dan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun dalam draft baru tidak banyak perubahan, namun hal yang terlihat berubah hanyalah pada penyelesaian sengketa hasil pilkada yang mana pada ketentuan sebelumnya diselesaikan oleh MA , kini dialihkan kepada MK sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2008. Strategi-strategi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2011, dan dalam rangka menuju proses Pilkada yang berkualitas di Aceh harus terus dilanjutkan setiap pemerintahan kabupaten dan pemerintahan kota untuk bekerja sama dengan KIP untuk membahas masalah penyelenggaraan Pilkada 2011 secara berkesinambungan.
Selanjutnya, persiapan yang dilakukan oleh KIP Aceh yaitu mengeluarkan peraturan KIP terbaru guna menyongsong pelaksanaan Pilkada. Sementara itu, KIP masih terkendala dalam penyusunan aturan baru. Zainal Abidin mengungkapkan bahwa dalam pelaksanaan Pilkada memerlukan peraturan/keputusan KIP dan Qanun. Namun, Peraturan/keputusan KIP dibuat berdasarkan Qanun. Secara logika hukumnya, kendala yang dihadapi KIP adalah tidak mungkin membuat peraturan maupun keputusan tanpa adanya qanun, dan qanun sendiri belum dibahas hingga saat ini.[6]
Bila ditinjau dari perundang-undangan, Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Qanun No. 3 Tahun 2005 dan Qanun No. 7 Tahun 2006 terkait dengan tahapan masih sebagai hukum positif Pemilukada di Aceh. Ketiga qanun tersebut terlihat mulai tertinggal seiring Pilkada ditarik menjadi rezim Pemilu melalui UU No.22 Tahun 2007. Beberapa perubahan dalam perundang-undangan Pemilukada belum terlihat dalam Qanun.
Dalam penyusunan peraturan dan keputusan KIP menurut Peraturan KPU No.09/2010, harus sudah dilakukan paling lama 210 hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Pemilukada. Kalaulah pemungutan suara diasumsikan awal Oktober 2011, maka berbagai peraturan/keputusan KIP harus sudah selesai 210 sebelum oktober 2011. Artinya awal Maret peraturan dan keputusan KIP harus sudah selesai.[7]
Terkait kendala dalam masa persiapan penyelenggaraan pilkada, Zainal Abidin juga mengungkapkan bahwa singkronisasi dan harmonisasi Qanun dengan peraturan perundang undangan masih kurang hingga sekarang ini.[8]
D. Harapan Political Will Legislatif Aceh Dalam Pembahasan Prolegda Tentang Pilkada dan Keikutsertaan Calon Independen
Berdasarkan wacana yang berkembang, dengana adanya penolakan dari anggota DPRA terkait keberadaan calon independen pasca putusan MK No. 35/ PUU-VIII/2011, menjadikan kekhawatiran semua elemen dalam masyarakat Aceh. Kekhawatiran yang dimaksud paling utama adalah terkait pelaksanaan pembahasan revisi qanun yang telah disampaikan Pemerintah Aceh akan berlarut-larut.
Pembahasan aturan hukum daerah yang menjadi kewenangan legislatif daerah dinilai terlalu lama, sudah menjadi rahasia umum. Banyak pengamat hukum dan politik di Aceh yang menegur pihak legislatif karena terlalu lama dalam melakukan pembahasan, terutama pembahasan anggaran daerah. Oleh karena itu, kekhawatiran yang muncul prihal calon independen ini adalah pihak legislatif Aceh akan memperlambat pembahasan dan substansi qanun/ putusan MK tidak diakomodir dalam rancangan qanun baru.
Kepada para politisi di DPRA yang menolak putusan MK, seyogianya menerima keputusan ini. Semoga tidak ada gerakan-gerakan atau upaya-upaya menghalangi keputusan MK tersebut. Sangat diharapkan agar seluruh lembaga terkait, dalam hal ini yaitu Pemerintah Aceh, DPRA dan juga KIP Aceh agar dapat “duek pakat” agar dapat segera merumuskan aturan daerah yang baru serta mengakomodir nilai-nilai dari putusan MK. Jalan bagi calon independen di Aceh dapat terbuka dengan adanya political will dari elemen Pemerintahan Aceh, sehingga pada pelaksanaan Pilkada 2011 dapat terselenggara dengan langsung.
Proses demokrasi di Aceh akan terselenggara dengan baik, bila keikutsertaan calon independen terlaksana. Baik partai politik, partai politik lokal, dan juga calon independen dapat bersaing dengan bersih dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Sehingga pesta demokrasi 2011 nantinya, akan menjadi pendidikan politik bagi rakyat Aceh dalam berdemokrasi lebih baik lagi. []
Referensi:
UUD 1945
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004
Qanun No. 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Qanun No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Qanun No. 2 Tahun 2004
Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Qanun No. 2 Tahun 2004
Putusan MK No. 35/ PUU-VIII/ 2011
M. Jafar, Calon Perseorangan Dalam Pilkada Aceh Pasca Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
Taqwaddin, Kekuatan dan Sifat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
Zainal Abidin, Persiapan Dan Kendala Dalam Pemilukada 2011, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
Blog Harian Aceh, Pilkada Aceh Bakal Semarak, http://blog.harian-aceh.com/pilkada-aceh-bakal-semarak.jsp, diakses pada tanggal 29 Januari 2011
[1] Juga merupakan Tenaga Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan pada UPPT-MKU Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
[2] Lihat dalam putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010
[3] Blog Harian Aceh, Pilkada Aceh Bakal Semarak, http://blog.harian-aceh.com/pilkada-aceh-bakal-semarak.jsp, diakses pada tanggal 29 Januari 2011
[4] Taqwaddin, Kekuatan dan Sifat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
[5] M. Jafar, Calon Perseorangan Dalam Pilkada Aceh Pasca Putusan MK
No. 35/PUU-VIII/2010, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
No. 35/PUU-VIII/2010, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
[6] Zainal Abidin, Persiapan Dan Kendala Dalam Pemilukada 2011, disampaikan pada Diskusi Publik “Eksistensi Calon Independen Dalam Pilkada 2011 Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2011”, diselenggarakan oleh Lembaga Analisis-Qanun, Hukum dan Perundang-undangan bersama UKM-Forum Kajian Aneuk Hukum, di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, 27 Januari 2011
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.