Subscribe Us

Senin, 08 November 2010

TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL


A.     Pengertian Tanggung Jawab Negara dan Hukum Lingkungan Internasional
Berdasarkan teori tanggung jawab negara, yang dikatakan bahwa munculnya tanggung jawab negara setidaknya dikarenakan beberapa hal :
1.      Tindakan yang terdiri atas suatu perbuatan atau kelalaian dipersalahkan kepada negara berdasarkan hukum internasional;
2.      Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional;
3.      Setiap tindakan yang tidak sah secara internasional akan melahirkan suatu tanggung jawab negara.[1]
Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dalam negara yang disebabkan karena kelalaian yang dilakukan oleh individu, badan hukum dalam negara yang merugikan negara lainnya berdasarkan hukum internasional. Tindakan tersebut bersifat merugikan negara lainnya sehingga dapat dikatakan sebagai pelanggaran sehingga secara langsung negara tersebut harus bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
Pertanggung jawaban negara sebagai apa yang secara hukum internasional harus dipertanggung  jawabkan. Apa yang secara hukum harus dipertanggung jawabkan merupakan suatu kewajiban hukum yakni bahwa semua sikap yang dilakukan oleh negara harus taat dan tunduk kepada norma-norma hukum.  Faktanya adalah bahwa Hukum Internasional mengarahkan kewajiban yang dilaksanakan suatu negara memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan fakta bahwa suatu negara memiliki tanggung jawab secara hukum jika melakukan pelanggaran terhadap kewajiban tersebut. Memang pada dasarnya munculnya analisa mengenai tanggung jawab negara untuk mengarahkan suatu prosedural aturan yang diaplikasikan kepada arahan pertanggung jawaban tindakan pelanggaran dari berbagai macam kewajiban internasional.
Tindakan melanggar hukum secara internasional timbul dari pelanggaran suatu negara atas kewajiban internasional yang sangat esensial guna perlindungan terhadap kepentingan yang sangat fundamental bagi masyarakat internasional. Hal tersebut dapat timbul karena beberapa hal :
a)      Pelanggaran berat atas kewajiban internasional yang sangat penting untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
b)      Pelanggaran berat atas kewajiban internasional yang sangat penting untuk menjamin hak menentukan nasib sendiri suatu bangsa.
c)      Pelanggaran berat terhadap kewajiban internasional dalam skala luas, yakni perlindungan terhadap ummat manusia seperti kewajiban melarang perbudakan, pembunuhan masal dan apartheid.
d)     Pelanggaran berat atas kewajiban internasional untuk melindungi lingkungan ummat manusia.[2]

Pertanggung jawaban negara memang menyentuh banyak aspek, di dalamnya terdapat tindakan yang dipersalahkan menurut Hukum Internasional, pelanggaran terhadap kewajiban internasional, tindakan kekerasan dan agresi terhadap negara lain. Bahwa apa yang harus dipertanggung jawabkan oleh negara merupakan suatu kewajiban hukum yaitu bahwa suatu tingkah laku harus sesuai dengan apa yang diminta oleh hukum harus ditaati dan dilaksanakan.
Pertanggung jawaban negara lebih pada kesalahan yang dilakukan oleh negara yang kemudian menimbulkan dampak kerugian bagi negara lainnya. Sehingga negara yang melakukan kesalahan wajib bertanggung jawab akan kesalahannya tersebut.[3] Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan atas suatu perjanjian maupun hukum kebiasaan internasional.[4]
Pencemaran kabut asap lintas batas negara akibat kebakaran atau pembakaran hutan merupakan tindakan yang menyentuh kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan kasus pencemaran asap lintas batas negara ini, negara yang menjadi sumber pencemaran harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh negara lain.
Sebagaimana tercantum dalam prinsip Sic utere tuo ut alienum non laedas (segala aktivitas yang terjadi dalam suatu negara, tidak boleh menimbulkan kerugian pada negara lain). Prinsip ini juga tersirat dalam Deklarasi Stockholm 1972 yang menyatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Oleh karena itu, semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus mengakui dan menghormati hal tersebut, karena kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di dalam kedaulatan itu, terikat di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Sehingga jika suatu negara melanggar ketentuan-ketentuan internasional atau melakukan suatu tindakan yang tidak sah secara internasional maka terhadapnya dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian (injury).[5]
Intinya, berdasarkan ketentuan hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul apabila negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan ma'af secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.
Jur Andi Hamzah mengemukakan bahwa hukum lingkungan adalah kaidah yang terkandung dalam masyarakat yang menelaah tentang prilaku masyarakat terhadap lingkungan baik positif maupun negative, menyatakan apa yang boleh maupun yang dilarang terhadap lingkungan dan memberikan landasan bagi yang berwenang dalam hal ini pemerintah untuk memberikan kaidah pada masyarakat.[6]
Dengan demikian, terhadap masalah kabut asap ini masyarakat sebenarnya bisa membela sumber daya alam yang berada disekitarnya. Indonesian Centre For Environmental Law (ICEL) mengungkapkan bahwa ada hak masyarakat untuk mengajukan gugatan kepada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya berdampak buruk terhadap lingkungan. Adapun hak-hak yang dapat digunakan oleh seseorang tersebut antara lain : hak mengajukan gugatan, pertanggungjawaban (liability), beban pembuktian, dan penentuan ganti kerugian.[7]

B.       Peraturan Yang Berkaitan Dengan Tanggung Jawab Negara Dan Hukum Lingkungan Internasional
Negara adalah salah satu subjek hukum internasional. Peranan negara dalam membangun dan menciptakan perdamaian dalam dunia internasional mempunyai peranan penting. Sebagai subjek hukum, negara mempunyai hak dan kewajiban yang melekat. Oleh sebab itu, apabila sudah ada pelanggaran maka negara wajib bertanggung jawab.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Segala tindakan pemerintah meliputi kebijakan pemerintah diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sebagai wujud dari pertanggung jawaban pemerintah dalam menjaga ketertiban hukum.[8]
Pengaturan hukum sebagai bentuk tanggung jawab negara kemudian limpahkan kepada pemerintahan daerah dalam wilayah negara Indonesia sebagai bagian dari struktur pemerintahan. Pertanggung jawaban daerah dituangkan dalam bentuk UU No. 32 Tahun  2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan local accountability (akuntabilitas lokal) dalam rangka meningkatkan komitmen dan tanggung jawab daerah. Peran pemerintah pusat yang terlalu dominan telah membuat para pelaksana pemerintahan dan pembangunan di daerah menjadi kurang efektif, kurang bertanggung jawab, dan berlindung di balik superioritas pemerintah pusat. Otonomi daerah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah secara aktif dan kreatif serta penuh komitmen dan tanggung jawab.[9]
Dijelaskan pada Pasal 2 (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, bahwa pemerintahan daerah “menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”. Urusan pemerintahan dibagi sedemikian rupa antara pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 10 (1) undang-undang yang sama, bahwa “pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini (Nomor 32 Tahun 2004) ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dijelaskan pada ayat (2) pasal yang sama, bahwa “pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Pengaturan kebijakan pemerintah daerah sebagai wujud pertanggung jawaban pemerintah dapat ditinjau apa bila terjadinya segala sesuatu pelanggaran dalam daerah yang merugikan daerah ataupun wilayah lainnya maka daerah tersebut harus bertanggung jawab.[10]
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah yang berakibat langsung terhadap wilayah luar, maka pemerintah daerah tersebut harus bertanggung jawab. Secara umum negara-negara diharapkan mampu melindungi kepentingan warga negaranya dari kerugian yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan usaha daerah, namun beberapa ahli hukum internasional merasa bahwa ketergantungan pada hukum nasional sebuah negara untuk meminta pertanggungjawaban saat ini dirasa tidak cukup. Kekuatan ekonomi yang sangat besar, kemiskinan di negara-negara berkembang telah membuat pemerintah di negara-negara berkembang meringankan tanggungjawab hukum.[11]
Terkait masalah lingkungan, banyak kegiatan masyarakat disuatu daerah terhadap lingkungan berdampak buruk bagi daerah lainnya, termasuk negara tetangga, seperti pembakaran hutan yang berakibat polusi yang menyebar keberbagai daerah. Negara bertanggungjawab terhadap tindakan mereka. Negara menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap kebijakan. Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara.[12]
Pencemaran lingkungan yang dilakukan pemerintah daerah dan juga negara berakibatnya menyebarnya polusi pada negara tetangga juga terkait dengan tanggung jawab negara. Dalam aturan hukum nasional masalah lingkungan telah diatur lebih lanjut dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini dapat kita baca pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.[13] Hal yang sama dapat kita baca juga pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,[14] serta Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[15]
uraian pasal demi pasal diatas dapat kita terjemahkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dimiliki oleh setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga menurut ajaran Universalitas Hak Asasi Manusia, kewajiban untuk hal tersebut ada pada negara dalam hal ini pemerintah.[16]
Dalam Kovensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) secara eksplisit, tema “lingkungan hidup” secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 12 yang merupakan salah satu bagian dari “hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang paling tinggi yang dapat dicapai.” Dalam pasal ini, sejumlah upaya yang seharusnya dilakukan Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan, diantaranya “peningkatan semua aspek kebersihan (hygiene) industri dan lingkungan hidup”.[17] yang mencakup upaya pencegahan wabah dan kecelakaan kerja; pencegahan dan pengurangan CESCR menginterpretasikan hak atas kesehatan secara inklusif, tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kesehatan, tetapi juga faktor-faktor yang menopang kesehatan manusia, termasuk konsisi lingkungan dan pekerjaan yang sehat.[18]
Dalam UUD 1945, jaminan setiap orang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat secara eksplisit dimuat dalam pasal 28H ayat (1), sebagai berikut:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, secara spesifik, wewenang dan tanggungjawab Pemerintah dimuat dalam UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain:
a)      mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b)      mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
c)      mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;
d)     mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e)      mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f)       menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
g)      mengelola lingkungan hidup secara terpadu;
h)      mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
i)        mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;
j)        mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;(21)
k)      mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
l)        mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
m)    memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup;
n)      menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup;
o)      menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
p)      memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup;
q)      mengawasi penataan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dibidang lingkungan hidup;
r)       melakukan kegiatan pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan;
s)       melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
t)       mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup;
u)      membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak;
v)      bertindak untuk kepentingan masyarakat, jika diketahui masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
w)    melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang lingkungan hidup;[19]

Pemerintah sebagai pelayan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dimilikinya secara mutlak harus bertanggung jawab penuh atas pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Pertanggungjawaban Negara ini dapat dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain, pemerintah harus secara terus menerus melakukan kajian dan penelitian terhadap lingkungan hidup baik yang telah tercemar maupun yang belum tercemar dengan metoda AMDAL yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Pengelolan Lingkungan Hidup agar dapat dilakukan pengendalian terjadinya kerusakan yang lebih lanjut.

C.      Bentuk Tanggung Jawab Negara Dan Mekanismenya
Bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh pemerintah mencakupi beberapa macam. Salah satunya adalah pernyataan resmi pemerintah terkait keadaan pencemaran kabut asap lintas batas sebagai bencana nasional.[20]
Pernyataan tersebut disampaikan oleh pemerintah sebagai bentuk tanggap darurat pemerintah terhadap keadaan lingkungan dalam suatu negara. Kewajiban Pemerintah adalah pemberdayaan sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah, yakni mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan lingkungan hidup; mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumberdaya alam, teremasuk sumber genetika; mengatur perbuatan hukum lainnnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, termasuk sumberdaya genetika; mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial; mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.[21]
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.[22]
Respons atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa lingkungan melalui “proses litigasi” yang “konfrontatif” dan “zwaarwichtig” – (njelimet) adalah “extrajudicial settlement of disputes” atau populer disebut “alternativedispute resolution” (ADR), yaitu penyelesaian konflik lingkungan secara komprehensif di luar pengadilan. ADR merupakan pengertian konseptual yang mengaksentuasikan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan melalui: “negotiation”, “conciliation”, “mediation”, “fact finding”, dan “arbitration”.[23]
Terdapat juga bentuk-bentuk kombinasi yang dalam kepustakaan dinamakan “hybrid” semisal mediasi dengan arbitrasi yang disingkat “med-arb”.[24] Penyelesaian sengketa lingkungan alternatif ini menurut UUPLH dinamakan “penyelesaian ssengketa lingkungan hidup di luar pengadilan”. Berdasarkan Pasal 31 UUPLH, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan.
Pola penyelesaian sengketa lingkungan dalam ketentuan UUPLH tersebut tampak sebagai koreksi atas kekeliruan sistem Tim Tripihak menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH} yang dirasa tidak sesuai dengan ketentuan hukum lingkungan yang dikenal di negara maju seperti: Jepang, Amerika Serikat dan Kanada, yaitu ADR. Namun sayangnya, penyelesaian “model” UULH tampaknya masih melekat dalam Penjelasan Pasal 31 UUPLH. Para pihak yang berkepentingan meliputi: ko-rban, pelaku dan instansi pemerintah terkait yang populer disebut “Tim Tripihakala.


[1] J.G. Starke, Op., Cit., hlm 112
[2] Chalid Muhammad, Beberapa Pokok Pikiran tentang Kejahatan Terhadap Aset-Aset Alam, Upaya Penanggulangan dan Dampak yang di Timbulkanya, yang dipresentasikan dalam Seminar Sekolah “Penanggulangan Kejahatan Terhadap Kekayaan Alam: Harapan dan Kenyataan” Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), 12 Desember 2006, hlm 22
[3] Abu Daud Busro, Ilmu Negara, cet. III, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm 34
[4] Anonimous, Mencari Legalitas Internasional atas Agresi Amerika ke Irak, http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/26777, diakses pada tanggal 3 Agustus 2009
[5] J.G. Starke, op.cit., hlm. 293-294.
[6] Jur andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.12.; dapat dilihat pula buku Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional, Refika, Jakarta, 2005, hlm. 22.
[7] Rino Subagyo, Hukum Lingkungan: Aspek Pidana, Indonesia Centre For Environmental Law (ICEL), 2005, hlm 14
[8] Maria Farida Indra Suprapti, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar Dan Pembentukannya, Konisius, Jakarta, 1998, hlm 23
[9] Henry Marijes Sopacua, Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Dalam Pemenuhan Hak Atas  Pendidikan, Jurnal Hukum, 2005, hlm 8
[10] ibid
[11] Iman Prihandono, Status dan Tanggung Jawab Multi National Companies (MNCs) Dalam Hukum Internasional, http://imanprihandono.files.wordpress.com/2008/09/artikel_mnc.pdf, diakses pada tanggal 4 Agustus 2008
[12] Anonimous, Tanggung Jawab, http://www.kedai-kebebasan.org/publikasi/newsletter/article.php?id=14, Diakses Pada Tanggal 2 Agustus 2009
[13] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 50.
[14] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ketujuh, Cet. Ketujuh belas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Lampiran II
[15] Lembar Fakta HAM, Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, Edisi II, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002
                [16] Ibid
[17] Patra M Zen, Hak atas Lingkungan yang Sehat: Prinsip dan Tanggungjawab Pemerintah, http://apatra.blogspot.com/2008/11/hak-atas-lingkungan-yang-sehat-prinsip.html, diakses pada tanggal 2 Agustus 2009
[18] Loc., Cit
[19] Loc,. Cit.
[20] Hariansyah Usman, Kabut Asap Di Riau, Harian Serambi Indonesia, tanggal 6 Agustus 2009
[21] ibid
[22] TM. Lutfi Yazid, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmetal Dispute Resolution), Airlangga University Press – Yayasan Adikarya IKAPI – Ford Foundation, Surabaya, 1999, hlm 9
[23] Anonimous, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Secara Litigasi Maupun Non Ligasi Serta Tinjauan Gugatan Class Action Dan Legal Standing Di Peradilan Indonesia, http://albatrozz.wordpress.com/2008/09/09/mekanisme-penyelesaian-sengketa-lingkungan-hidup-secara-litigasi-maupun-non-ligasi-serta-tinjauan-gugatan-class-action-dan-legal-standing-di-peradilan-indonesia/, diakses pada tanggal 5 Agustus 2009
[24] Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum Lingkungan: Dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum, Pidato Pengukuhan, Airlangga University Press, Surabaya, 1991, hlm 16
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten