Subscribe Us

Jumat, 21 Januari 2011

PENOLAKAN ANGGOTA DPRA TERHADAP PUTUSAN MK TENTANG PENGUJIAN UU NO. 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH TERKAIT KEBERADAAN CALON INDEPENDEN

Oleh:

Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.
(Ka. Litbang Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang-undangan)


A.    Pengantar

Ketentuan mengenai calon independen di Aceh diatur dalam Pasal 256 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh(UUPA). Calon independen untuk pertama kali maju dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh yaitu pada tahun 2007. Pasal 256 UUPA menyebutkan bahwa “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Kekisruhan politik pasca pelaksanaan Pemilukada Aceh pada tahun 2007 terkait keberadaan calon independen adalah pelaksanaannya hanya diberlakukan satu kali setelah UUPA diundangkan. Oleh karena itu, dinilai oleh sejumlah pihak bahwa pengaturan mengenai batas waktu keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh dinilai melanggar hak konstitusionalitas yang telah diatur dalam UUD 1945.
Dasar lainnya yang menjadi pertimbangan bahwa pemberlakuan calon independen hanya satu kali di Aceh bertentang dengan konstitusi, juga terkait dengan adanya amandemen UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah sebanyak dua kali dan terakhir yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004. Dalam ketentuan undang-undang tersebut pelaksanaan Pemilukada dengan keikutsertaan calon independen telah diakui secara nasional.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam putusan MK menyatakan Pasal 256 UUPA tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan meyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.[1] Berdasarkan putusan tersebut maka pintu demokrasi Aceh dalam pelaksanaan Pemilukada terbuka kembali untuk megikutsertakan calon independen.

B.     Pertimbangan Hukum Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010

Pasal 256 UU 11/2006 telah menghilangkan makna demokrasi yang sesungguhnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, karena dipilih secara “demokratis” dalam pasal tersebut bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara saja, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon. Oleh karenanya masyarakat harus mendapatkan akses yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam mengusung pasangan calon. Pembatasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 256 UU 11/2006 sama sekali tidak mencerminkan asas demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, karena Pasal 256 UU 11/2006 tersebut tidak memberikan peluang untuk calon perseorangan dalam Pemilukada di Provinsi Aceh setelah tahun 2006, dan dengan sendirinya akan menutup alternatif akan adanya pasangan calon yang lebih variatif dari berbagi sumber. Ketentuan Pasal a quo telah menghambat dan merugikan hak konstitusional bagi warga negara yang tidak mempunyai kendaraan politik atau yang tidak diusulkan oleh partai politik baik nasional ataupun lokal termasuk para Pemohon sebagai perseorangan warga negara.
Ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU 11/2006, menurut Mahkamah, membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan juga pemberian peluang dari pembentuk Undang-Undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Selain itu juga membuka peluang calon perseorangan dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga Aceh dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat daerah, serta mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa tidak memberikan kesempatan kepada calon perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan UUD 1945, padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007 calon perseorangan diakui dan diperbolehkan. Dalam putusan a quo, Mahkamah memberi pertimbangan bahwa Pasal 256 UU 11/2006 dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang justru dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan putusan a quo, pembentuk Undang-Undang kemudian mengakomodasi calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008). Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia;
Bahwa apabila memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan a quo dihubungkan dengan adanya perubahan hukum yang berlaku secara nasional mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada, maka keberlakuan norma Pasal 256 Undang-Undang a quo menjadi tidak relevan lagi. Apalagi jika pasal tersebut tetap dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu Komisi Independen Pemilihan (KIP Provinsi/Kabupaten/Kota) maka justru akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil kepada setiap orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang akan mencalonkan diri melalui calon perseorangan, karena hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945 menjadi terlanggar;
Bahwa Mahkamah tidak menafikan adanya otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, namun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Dari keseluruhan pertimbangan tersebut, MK memutuskan bahwa ketentuan Pasal 265 UUPA bertentangan dengan konstitusi. Pernyataan MK tersebut dibacakan didepan sidang terbuka untuk umum yang ditanda tangani oleh keseluruhan hakim MK.

C.    Realita Politik Aceh Pasca Putusan MK Terkait Calon Independen

Implikasi  putusan MK yang telah membatalkan Pasal 265 UUPA mengahdirkan suasana baru dalam politik Aceh menjelang Pemilukada. Refleksi hukum yang dapat dilihat adalah pergelaran akbar di Aceh untuk memperebutkan kursi Aceh satu, tidak hanya dilakukan oleh sejumlah kandidat dari partai politik, namun juga setiap orang yang mempunyai visi dan misi merubah Aceh lebih baik, dapat memajukan diri sebagai calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada.
Tanggapan sebagaimana disebutkan oleh elit politik DPRA, menolak putusan MK dengan penilaian bahwa pelaksanaan pemilukada dengan mengikutsertakan calon independen bertentangan dengan konstitusi. Selanjutnya juga disampaikan bahwa putusan tersebut mencederai nilai keistimewaan yang berlaku di Aceh. Dengan dikabulkannya uji materi pasal 256 UUPA yang mengatur calon perseorangan kepala daerah tentunya harus diterima oleh semua pihak, khususnya oleh mereka yang sebelumnya menyatakan sikap penolakan.[2]
Penolakan yang dilakukan oleh beberapa pihak DPRA, dapat dilihat sebagai langkah politik untuk menggagalkan keberadaan calon independen. Alasan bahwa calon independen dapat menghalangi status keistimewaan Aceh sebagaimana tertuang dalam UUPA dan juga UU No. 44 Tahun 1999, merupakan retorika politik yang dilakukan oleh sebagian pihak DPRA. Sebagaimana dipahami bahwa pernyataan penolakan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengann upaya hukum, dengan dasar putusan MK yang final dan mengikat,  maka tidak ada upaya hukum lainnya yang dapat dilakukan. Hal ini dapat ditindak- lanjuti dengan political will pemerintah Aceh dan juga pemerintah Indonesia dalam melaksanakan putusan MK.
Kepada kalangan di DPRA, Adli Abdullah menyatakan tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan penolakan terhadap putusan MK. Hal demikian karena putusan MK adalah the highest law in the land yaitu hukum tertinggi di negeri ini.[3] Fadjroel Rachman menyebutkan sebagai keberadaan calon independen pada pelaksanaan pemilukada merupakan kemenangan demokrasi, kemenangan kedaulatan rakyat di Indonesia. Dengan adanya keputusan tersebut, setidaknya, semua orang di Aceh memiliki hak yang sama di mata hukum untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin di Aceh. Aceh tidak akan lagi krisis pemimpin.[4]
Kehadiran calon independen merupakan corak khusus dari demokrasi di Aceh. Calon independen bisa memicu kebangkitkan dari gerakan masyarakat sipil di Aceh. Bentuk gerakan itu akan ditunjukkan dengan membangun social movement bersama seluruh rakyat Aceh yang berkeinginan melakukan restorasi terhadap sebuah keadaan menuju Aceh Baru yang gemilang. Dari kekhususan itulah, maka daerah lain mengikuti Aceh. Intinya Aceh telah menjadi episentrum perubahan sistem politik Indonesia.

D.    Kesimpulan

Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 merupakan sebuah pencapaian sukses dalam menegakkan demokrasi di Aceh. Pelaksanaan pemilukada tidak hanya dilakukan oleh calon dari partai politik nasional maupun partai politik lokal, namun juga dapat diikutsertakannya calon independen. Keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan pemilukada sebelumnya juga telah dapat dilakukan oleh daerah lainnya dengan adanya putusan MK sebelumnya tentang pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.
Penolakan yang terjadi yang disampaikan oleh sebagian pihak DPRA dapat dikatan sebagai manuver politik untuk menggagalkan keberadaan calon independen dalam pelaksanaan pemilukada. Hal tersebut dapat dilihat dengan jumlah keanggotaan yang dominan dari satu partai lokal. Urgensi tindak lanjut dari putusan MK hanyalah dengan adanya political will bagi pemerintah guna mengubah ketentuan Pasal 256 UUPA, dan juga bagi pemerintah Aceh dalam menindak lanjuti dengan menentukan ketentuan daerah yang baru tentang keberadaan calon independen.


E.     Saran

Kepada para politisi Partai Aceh (PA) juga seyogianya menerima keputusan ini. Semoga tidak ada gerakan-gerakan atau upaya-upaya menghalangi keputusan MK tersebut. Yakin dan percayalah, rakyat Aceh memiliki memori yang tidak pendek, dan bisa mengenali mana saja sosok yang layak memimpin Aceh. Biarlah soal siapa yang dipilih nanti menjadi keputusan final rakyat Aceh selaku pemilik kedaulatan (suara).
Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan juga Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh harus segera merumuskan hal-hal terkait keputusan MK, seperti Qanun soal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota. Jika waktu terlalu sempit, tak ada salahnya menggunakan kembali perangkat hukum (Qanun) lama saat Pilkada 2006 lalu.

F.     Referensi

UUD 1945
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda
Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010








[1] Lihat dalam Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010, hal. 18-19
[2] http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=20406
[3] Ibid.
[4] http://blog.harian-aceh.com/pilkada-aceh-bakal-semarak.jsp
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten