Subscribe Us

Senin, 08 November 2010

TINJAUAN UMUM MENGENAI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 22-24/ PUU-VI/ 2008 DAN KETENTUAN YURIDIS PENETAPAN CALON LEGISLATIF TERPILIH BERDASARKAN SUARA TERBANYAK


A.      Ringkasan Putusan
Sebelum menelaah dan mengkaji lebih dalam mengenai pembatalan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPRD, dan DPD ada baiknya menelaah sedikit ringkasan putusan MK No. 22-24/ PUU-VI/ 2008 :
Dalam putusan No. 22-24/ PUU-VI/ 2008 mencantumkan pihak yang beperkara dalam uji materil Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Adapaun pihak yang menjadi pemohon dibagi dalam dua perkara yaitu pemohon perkara No. 22/ PUU-VI/ 2008 dan pemohon perkara No. 24/ PUU-VI/ 2008.
Pemohon perkara No. 22/ PUU-VI/ 2008 yaitu Muhammad Sholeh, Tempat/Tanggal Lahir di Sidoarjo, 2 Oktober 1976, Agama Islam, dengan alamat jalan Magersari Nomor 82 Krian, Sidoarjo, Jawa Timur yang selanjutnya disebut sebagai pemohon I.
Pemohon perkara No. 24/ PUU-VI/ 2008 terdiri atas tiga orang yaitu:
  1. Sutjipto, tempat dan tanggal lahir Magetan, 5 Oktober 1950, dengan alamat Gedung Menara Sudirman Lantai 18 Jalan Jenderal  Sudirman Kav. 60 Jakarta 12190;
  2. Septi Notariana, tempat dan tanggal lahir Teluk Betung, 24 September 1980, dengan alamat Jalan Zainal Abidin Pagar Alam 3                                                           Kedaton, Bandar Lampung 35142;
  3. Jose Dima Satria, tempat dan tanggal lahir Semarang, 14 April 1980, dengan alamat Srondol Bumi Indah J-15, Sumurbroto Banyumanik, Semarang.
Masing-masing memilih domisili hukum pada Kantor Notaris Sutjipto, S.H., Gedung Menara Sudirman Lantai 18, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 60 Jakarta Selatan, dan selanjutnya disebut dengan pemohon II.
Pemohon I mengajukan surat permohonan bertanggal 1 September 2008 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan MK (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 3 September 2008 dengan registrasi Nomor 22/PUU-VI/2008, dan Pemohon II mengajukan surat permohonan bertanggal 1 September 2008 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 5 September 2008 dengan registrasi Nomor 24/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 24 September 2008 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2008. Permohonan dimaksud oleh para Pemohon diperbaiki kembali dengan perbaikan permohonan bertanggal 16 Oktober 2008 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 16 Oktober 2008.
Pada awalnya pemohon I mengajukan uji materil atas Pasal Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10 Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam hal lain pihak pemohon merasa mempunyai legal standing dan hak konstitusional yang diakui dan dilindungi oleh UUD 1945. 
Pasal 55 Ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 dinilai merugikan perempuan. Dimana dalam pencantuman nomor urut tersebut sangatlah tidak mudah dan diharuskan mengabdi bertahun-tahun dalam partai. Sehingga Pasal 55 Ayat (2) dinilai arogansi dan diskriminasi terhadap hak perempuan.
Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10 Tahun 2008 tersebut tidak memberikan perlakuan yang sama di depan hukum antara Pemohon dengan calon legislatif yang berada di nomor urut terkecil. Sebab antara Pemohon yang apabila berada di nomor urut 7 harus bekerja keras untuk bisa mencapai 30% suara dari BPP, sedangkan nomor urut 1 (satu) tidak harus bekerja keras (cukup duduk-duduk santai), apabila tidak ada Caleg yang mencapai 30% suara dari BPP karena penentuan akan dikembalikan kepada nomor urut sesuai usulan dari partai politik.
Menurut pemohon Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10 Tahun 2008 mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum (legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif terhadap Pemohon.
Pembuktian yang dilakukan oleh pemohon adalah dengan melampirkan alat bukti yang berupa foto copi UUD 1945, foto copi UU No. 10 Tahun 2008, foto copi Suara Karya online tanggal 31 Agustus 2008, foto copi Suara Merdeka Online tanggal 14 Agustus 2008, foto copi klipping Suara Indonesia tanggal 29 Agustus 2008.
Sedangkan dalam permohonan perkara No. 24/ PUU_VI/ 2008 yang diajukan oleh pemohon II menyatakan bahwa pemohon mempunyai kedudukan hukum sehingga dapat terlibat sebagai pemohon yang disyaratkan dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Permohonan dilakukan dengan alasan bahwa Pasal 205 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Ayat (7) UU No. 10 Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 22E, Pasal 28D UUD 1945. alasan lain yang dikemukakan oleh pemohon bahwa Pasal tersebut tidak mampu menyerap aspirasi rakyat dan menggambarkan hubungan antara pemohon sebagai calon legislatif dengan rakyat hanya sebatas pemilu saja.
Pemohon merasakan bahwa dengan diberlakukannya Pasal tersebut maka dalam penghitungan suara yang ditentukan sebelumnya berjumlah 50% dari BPP yang selanjutnya dibawa ke provinsi sehingga pemohon merasakan tidak ada jaminan dalam mendapatkan kursi parlemen.
Sementara itu berdasarkan Pasal  214 UU No. 10 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dalam Pasal  6A Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) dan menyatakan pada dasarnya pemilihan anggota legislatif menurut suara terbanyak bukan pada nomor urut.
Alat bukti yang digunakan oleh pemohon II yang terdiri dari foto copi UU No. 10 Tahun 2008, foto copi UUD 1945, foto copi rancangan UU pemilu legislatif, foto copi daftar calon sementara anggota DPR RI pemilu 2009. Berdasarkan argumen diatas maka pemohon mengharapkan MK mengabulkan permohonan pemohon dan membatalkan pasal terkait UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.   
MK sebagai lembaga yang berwenang menguji UU terhadap UUD 1945 berkesimpulan dalam amar putusan MK yaitu mengabulkan sebagian permohonan pemohon I dan pemohon II, menyatakan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menolak permohonan pemohon untuk sebagian.[1]

B.       Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pelakasanaan pemilu diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Legislatif dan UU No. 42 Tahun  2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 menentukan mengenai penentuan calon terpilih anggota legislatif berdasarkan nomor urut dan juga suara terbanyak.
Pola dengan menggunakan sistem multi partai umumnya diperbuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai baru dan juga golongan baru.[2] Hal ini dapat menimbulkan potensi konflik yang dapat terjadi disetiap masyarakat yang bersifat heterogen. Apakah dari segi etnis, sosial-ekonomi, maupun agama.[3]
Penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut dan suara terbanyak dianggap kalangan ahli tata negara sebagai bentuk diskriminasi hak politik bagi peserta pemilu. Dimana dalam pemilihan, bila hak suara  tidak mencukupi kuota yang ditentukan maka penentuan calon terpilih  berdasarkan nomor urut.[4]
Kewenangan MK dalam hal pengujian UU diatur secara lengkap rinci dalam Pasal 24C UUD 1945 dan juga UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK merupakan lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia hasil perubahan UUD 1945. sebagai organ konstitusi dan juga pengawal konstitusi, lembaga ini didesain untuk menafsir UUD 1945 melalui putusan-putusannya.[5]
Dalam hal pengujian UU, pemohon yang dapat memohon adalah pemohon yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu kebijakan negara, yaitu UU. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 23 Tahun 2004 menyebutkan bahwa UU yang dapat diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945.
Pemohon dalam perkara pengujian UU adalah perorangan, badan hukum publik maupun privat, kesatuan masyarakat hukum adat, dan juga lembaga negara.[6] Sementara dalam hal pemilu dan keterkaitannya dengan pelaksanaan pemilu, maka kewenangan MK adalah penyelesaian hasil sengketa hasil pemilu.
Perkara dalam putusan MK No. 22-24/ PUU-VI/ 2008 terkait uji materil UU No. 10 Tahun 2008, Pasal 214 adalah murni merupakan pengujian UU (yudicial review), bukan perselisihan hasil pemilu. Oleh karena itu, pemohon mempunyai legal standing sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003. Permohonan yang diajukan oleh pemohon adalah berkenaan dengan penetapan calon legislatif terpilih yang dipilih berdasarkan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2004 melalui mekanisme penentuan calon legislatif berdasarkan nomor urut.
UU yang dapat diuji adalah UU yang mengikat umum terhadap segenap warga negara. Oleh karena itu perkara yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan melainkan dalam bentuk permohonan dan orang/ pihak yang mngajukan perkara disebut dengan pemohon, bukan penggugat. Pemenuhan syarat-syarat dalam pengajuan permohonan dapat menentukan legal standing subjek hukum yang sah dalam perkara pengujian UU.
Menurut UU No. 10 Tahun 2008 tersebut menentukan bahwa penentuan calon berdasarkan perolehan suara sebesar 30% suara dan ketentuan tersebut mengikat bagi para caleg. Akan tetapi karena pasal tersebut dinilai merugikan hak konstitusional para caleg, maka pasal tersebut diuji materil di MK.
Dalam praktek, ada dikenal 3 macam bentuk norma hukum yang dapat diuji materil ataupun yang disebut dengan norm control mechanism. Norma hukum tersebut diantaranya adalah lex specialis derogate lex generalis (hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum), lex superiori derogate lex apriori (hukum yang kuat mengalahkan hukum yang lemah), dan lex posteriori derogate lex periori (hukum yang baru menggantikan hukum yang lama). Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasi dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu:
(i)                 keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling),
(ii)               keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan (beschikking), (iii) keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgenent).[7]

Dalam teori pengujian UU (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formele toetsing. Perbedaan tersebut dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (UU dalam arti materil) dan wet in formele zin (UU dalam arti formil).[8]
Menurut Sri Soemantri menyatakan bahwa pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.[9]  Maruarar Siahaan dalam bukunya menyatakan bahwa Pengujian formil adalah pengujian undang-undang berkenaan dengan bentuk dan pembentukan UUD 1945 yang meliputi pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan pemberlakuan. Pada dasarnya pengujian ini berarti melakukan evaluasi atas dasar Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, dan Pasal 22A UUD 1945.[10]
Hal ini menjelaskan bahwasanya hak uji materil yang ada pada MK merupakan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945, artinya segala sesuatu yang diuji terhadap suatu undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, baik itu ayat-ayat, pasal-pasal yang dianggap merugikan salah satu pihak.
Oleh sebab itu suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD, untuk mengetahui suatu undang-undang bertentangan dengan UUD maka dilakukan uji materil atau juaga disebut dengan Judicial review. Tanpa juidicial review maka untuk menegakkan negara hukum dan UUD 1945 akan terasa sangat sulit.[11]



C.    Tinjauan Yuridis Mengenai Pemilu Lagislatif
Mengenai pelaksanaan pemilu diatur dalam beberapa ketentuan dasar hukum yang berlaku, diantaranya adalah:
1.        UUD 1945
Pelaksanaan pemilu dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22E UUD 1945 yang meyebutkan bahwa pelaskanaan pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia. Pelaksanaan pemilu dilakukan oleh sebuah lembaga komisi yaitu KPU. Pemilu pasca perubahan UUD 1945 dilakukan untuk memilih anggota legislatif baik itu DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilu.dan berdasarkan Pasal 22C UUD 1945, anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui mekanisme pemilu. Keanggotaan DPD tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) anggota DPR.[12]
Dalam hal penggabungan keduanya, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945, anggota DPD dan DPR adalah sama-sama anggota MPR yang bersidang dalam waktu 5 tahun sekali. Susunan keanggotan lembaga perwakilan tersebut diatur dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Pelaksanaan pemilu adalah sebuah pergelaran akbar dalam menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga perwakilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU sebagai lembaga independen dan mandiri. KPU secara harfiahnya adalah lembaga negara yang kewenangannya diatur lebih lanjut dalam UU.
Berdasarkan Pasal 25 UU No. 10 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Tugas dan wewenang KPU adalah:
a)      Merencanakan penyelenggaraan Pemilu;
b)      Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
c)      Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
d)     Menetapkan peserta Pemilu;
e)      Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota;
f)       Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
g)      Menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota;
h)      Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu;
i)        Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.


Ketentuan diatas menyebutkan bahwa KPU sebagai lembaga negara yang berwenang dalam menyelenggarakan pemilu mempunyai kewenangan dan tugas untuk menyukseskan pemilu. Berdasarkan pendapat Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa lembaga negara dibagi dalam tiga kategori yaitu lembaga negara primer, lembaga negara skunder dan lembaga negara tersier. KPU merupakan lembaga skunder yang kedudukannya disebutkan dalam UUD 1945 dan kewenangannya diatur lebih lanjut dalam UU.[13]
Dalam pelaksanaan pemilu pemilihan  Presiden dan Wakil Presiden, KPU bertugas sebagai lembaga penyelenggara pemilu dapat melihat kategori dan persyaratan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 6A UUD 1945. Calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik maupun partai politik untuk berkopetensi dalam pelaksanaan pemilu pemilihan presiden.

2.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Kewenangan MK sebagai lembaga penjaga dan penafsir konstitusi diatur lebih lanjut dalam UUD 1945 Pasal 24C dalam bab kekuasaan kehakiman. Kedudukan MK adalah sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dalam kehidupan politik,  di negara demokrasi yang kontroversi atas hasil akhir proses politik diselesaikan melalui beberapa cara tergantung dari materi yang dipermasalahkan. Kontroversi atas Rancangan Undang-Undang atau ketidakpuasan hasil pemilu misalnya bisa ditempuh melalui referemdum atau bisa juga melalui pemilu ulang dan melalui judicial review, artinya keputusan final dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan rakyat sekaligus sebagai pihak yang dirugikan oleh undang-undang tersebut.[14]
Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.
Dalam praktek, dikenal ada 3 macam norma hukum yang dapat diuji atau yang bisa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu  :
  • Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling),
  • Keputusan normatif yang berisi yang bersifat penetapan administratif (beschikking), dan
  • Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgenent) yang biasa disebut vonis.[15]
Pengujian UU dalam UU No. 24 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 51. UU yang dapat diuji hanyalah UU yang merupakan hasil perubahan pertama UUD 1945. Artinya UU yang dapat diuji oleh MK secara langsung ditentukan adalah UU yang berlaku dari tahun 2001. Dasar hukum mahkamah konstitusi untuk pelaksanaan keputusan adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang berbunyi : “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai di ucapkan dalam sidang plone terbuka untuk umum”.
Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap keberlakuan undang-undang, Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu kaidah undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, bermakna undang-undang dimaksud not legally binding. Mahmakah Konstitusi tidak membatalkan kaidah-kaidah undang- undang tetapi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap suatu Ayat, Pasal, dan/atau bagian undang-undang maka undang-undang tersebut kehilangan kekuatan hukum yang mengikat selaku kaidah (rechtnorm). Undang-undang tersebut berubah secara mutais mutandis, sehingga penyebutan undang-undang dimaksud selaku acuan dasar hukum berubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi.[16]  

3.        Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Prinsipnya pemilu adalah mekanisme demokrasi untuk memutuskan pergantian pemerintah dimana rakyat dapat menyalurkan hak politiknya secara bebas dan aman. Melalui pemilu rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan dalam struktur pemerintahan.[17]
Pelaksanaan pemilu legislatif dilakukan dengan dasar hukum yaitu UU No. 10 Tahun 2008. UU No. 10 Tahun 2008 disebut juga dengan pemilu legislatif, dikarenakan UU tersebut mengatur lebih lanjut pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Mekanisme pelaksanaan pemilu dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan menggunakan sistem proporsional dan juga sistem distrik.[18] Sementara itu metode pelaksanaan pemilu legislatif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penghitungan suara dengan cara nomor urut dan juga penghitungan suara berdasarkan suara terbanyak, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 214 dan 215 UU No. 10 Tahun 2008.
Metode perhitungan suara dengan menggunakan nomor urut sebagaimana tertuang dalam Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 sangat dirasakan merugikan yang kedudukan calon legislatif berada di nomor urut terakhir. calon legislatif yang sangat dirugikan terkait penghitungan suara model ini adalah terkait suara calon legislatif perempuan.[19]
Kedudukan calon legislatif perempuan dalam parlemen haruslah mencakupi suara 30% serta kursi di parlemen. hal ini sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1 angka 27 menyebutkan bahwa bilangan pembagi bagi kursi DPR yang selanjutnya disebut dengan BPP DPR adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh partai politik peserta pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5 % dari suara sah secara nasional disatu daerah pemilihan dengan jumlah kursi disatu daerah pemilihan dengan jumlah kursi disatu daerah.[20]


[1] Ringkasan Putusan ini keseluruhan diambil dari putusan MK No. 22-24/ PUU-VI/ 2008
[2] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,edisi revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm 419-420
[3] Ibid., hlm 409
[4] Maswadi Rauf, Perkembangan UU Politik Pasca Amandemen UUD 1945, http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Pengembangan%20UU%20Bidang%20Politik%20-%20Maswadi%20Rauf.pdf, diakses pada tanggal 12 April 2009
[5] Endang Komara, Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi, volume 4 nomor 4, Desember 2007, hlm 74
[6] Lihat ketentuan dalam Pasal 51 UU No. 23 Tahun 2004
[7] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm 10
[8] Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm 12  
[9]  Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1997, hlm 8
[10] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, KON Press, Jakarta, 2005, hlm 20
[11] Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm 26
[12] Lihat ketentuan dalam Pasal 22C Ayat (2) UUD 1945
[13] Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm 16
[14] Hendramin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007, hlm 229
[15] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara,.. Op,. Cit., hlm 1
[16] Ibid,. hlm 8
[17] Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta, 2008, hlm 53
[18] Miriam Budiardjo, Op., Cit. hlm 69
[19] Suharizal dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1998-2002 (Beberapa Gagasan Amandemen Kelima UUD 1945), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2007, hlm 214
[20] Lihat ketentuan Pasal 1 angka 27 UU No. 10 Tahun 2008, berdasarkan ketentuan dalam Pasal tersebut system perolehan suara dikenal dengan nama sistem electoral threshold.
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten