Subscribe Us

Rabu, 03 November 2010

PERSPEKTIF PERANAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA ISLAMI


A.    Keadaan Sektor Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banda Aceh
Pariwisata merupakan suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek, seperti: ekonomi, teknologi, politik, keagamaan, kebudayaan, ekologi, dan pertahanan dan keamanan. Melalui pariwisata berkembang keterbukaan dan komunikasi secara lintas budaya, melalui pariwisata juga berkembang komunikasi yang makin meluas antara komponen-komponen lain dalam kerangka hubungan yang bersifat saling mempengaruhi[1].
Kebudayaan sebagai salah satu aspek dalam pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata itu. Hal ini disebabkan, dalam pengembangan pariwisata pada suatu daerah sangat terkait dengan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut[2], misalnya Nanggroe Aceh Darussalam dengan bermodalkan kekayaan kebudayaan yang dilatari oleh keunikan berbagai kebudayaan daerah yang ada di wilayahnya, Nanggroe Aceh Darussalam bisa menggunakan kebudayaan sebagai salah satu daya tarik wisatawan.
Pengembangan kepariwisataan yang bertumpu pada kebudayaan lebih lanjut diistilahkan dengan pariwisata budaya. Dengan kata lain, pariwisata budaya adalah satu jenis kepariwisataan yang dikembangkan bertumpu pada kebudayaan[3]. Segala aspek yang berhubungan dengan pariwisata, seperti: promosi, atraksi, manajemen, makanan, cindera mata, hendaknya selalu mendayagunakan potensi-potensi kebudayaan yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian nantinya pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai ciri tersendiri yang dapat dibedakan dari pariwisata daerah lain yang bertumpu pada potensi yang lain.
Pariwisata adalah suatu gejala yang komplek, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiki berbagai aspek. Dari berbagai aspek yang ada, aspek yang mendapat perhatian yang paling besar adalah aspek ekonomisnya hal ini bisa dilihat dari pembahasan di atas. Dengan melihat aspek ekonomisnya, maka berkembanglah suatu konsep yaitu industri pariwisata yang merupakan suatu kegiatan pariwisata seutuhnya. Sebagai industri, pariwisata mengeluarkan produk yang akan dibeli oleh pembelinya, yakni wisatawan.
Bidang atraksi merupakan salah satu motif wisatawan memilih untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata tertentu. Jadi seorang wisatawan akan berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata untuk melihat atraksi wisata yang ada di daerah atau negara tersebut. Dengan demikian jika suatu daerah mempunyai niat untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya haruslah memperhatikan ketersediaan atraksi wisata yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Atraksi wisata dalam hal ini dapat berupa panorama alam, keanekaragaman Budaya, peninggalan sejarah, kehidupan masyarakat dan sebagainya.
Kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam banyak yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Siapa yang tidak mengenal tari Saman yang indah tersebut, siapa pula yang tidak mengenal rapa’I yang menghentak-hentak dengan harmonisasi yang cukup tinggi. Di bidang kuliner, orang mulai memburu dan membicarakan Mie Aceh, Kopi Aceh, Kare Kambing yang menurut mereka kaya akan bumbu dan memiliki sensasi tersendiri. Semua itu merupakan modal bagi pengembangan industri pariwisata di Aceh[4].
Pariwisata sebagai suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek tentu akan berpengaruh terhadap aspek-aspek tersebut, termasuk kebudayaan yang merupakan salah satu aspek pariwisata. Dampak yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan tidak terlepas dari pola interaksi di antaranya yang cenderung bersifat dinamika dan positif. Dinamika tersebut berkembang, karena kebudayaan memegang peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif dinamika tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan[5].
Selain kebudayaan yang telah dikenal luas oleh masyarakat luar, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam juga memiliki kebudayaan yang sangat menarik untuk dijadikan atraksi budaya dalam kegiatan pariwisata, seperti; Geudeue-geudeue, Peupok Leumo, Pacu Kude, gaseng, dan lain-lain.
Pembangunan pariwisata berkesinambungan dapat diartikan sebagai yang memenuhi keperluan wisatawan saat ini maupun wilayah setempat serta melindungi dan meningkatkan kesenmpatan untuk pencapaian dimasa depan. Hal ini mengarah pada manajemen semua sumber daya hingga keperluan ekonomis terpenuhi sementara tetap mempertahankan integritas budaya lokal[6].
Menurut Peter Salim, Pariwisata adalah tempat dimana orang berkumpul untuk menikmati keindahan dan kenyamanan alam bersama-sama[7]. Pendapat Peter Salim ini ditambahkan oleh Yenny Salim dalam bukunya bahwa kepariwisataan mencakup tempat yang indah dan mempunyai daya tarik untuk mengikat pengunjung untuk menikmati keindahan tersebut[8].
Pariwisata di kota Banda Aceh mempunyai daya tarik sendiri yang dapat memberikan daya minat tinggi bagi para pengunjung baik itu dari dalam maupun luar negeri yang berminat berekreasi alam. Panorama Aceh dari segi geografis mendapatkan perhatian khusus dari negara belahan dunia, sehingga menjadi objek wisata yang terkenal.
Pasca tsunami dan perjanjian damai Helsinki telah memberikan dampak positif bagi perkembangan infrastruktur kota Banda Aceh yang telah hancur dihantam tsunami. Negara donor dan lembaga asing datang untuk memberikan sumbangan pembangunan infra struktur bagi kota Banda aceh dan Aceh khususnya.
Banyak tempat di Aceh yang menjadi objek wisata. Selain karena keindahan alam juga didukung oleh keanekaragaman budaya. Hal ini menjadi perhatian khusus dari negara asing maupun nasional. Kota Banda Aceh yang sebelumnya dikenal dengan nama Kutaraja adalah daerah yang dikelilingi oleh perbukitan dan lautan. Oleh sebab itu, pelabuhan banyak ditemukan di kota Banda Aceh. Bagi pendatang pecinta alam dapat menikmati keindahan tersebut dengan menikmati area pegunungan.
Salah satu objek wisata kota Banda Aceh yang terkenal adalah mesjid raya Baiturrahman. Dimana mesjid raya tersebut terletak dipusat kota Banda Aceh. Penanggung jawab dari kelestarian objek wisata tersebut adalah pemerintah, dalam hal ini yaitu pemerintah kota Banda Aceh. Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat juga punya andil dalam menciptakan kelestarian lingkungan sekitar objek wisata tersebut.
Berdasarkan rencana strategis yang diusulkan oleh pemerintah kota Banda Aceh dapat dilihat bahwasanya tujuan ataupun visi dan misi pemerintah kota Banda Aceh adalah menciptakan kota Banda Aceh menjadi kota yang islami dan tamaddun. Menurut peter salim, tamaddun berasal dari kata bahasa arab yang berarti lestari. Jadi, Banda Aceh akan menjadi kota yang lestari berdasarkan syariat islam untuk mewujudkan masyarakat yang madani.
Azyumardi Azra menyebutkan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang pancasilaisme, dimana menjunjung tinggi konstitusi dan juga pancasila sebagai pandangan hidup bersama[9]. Sedangkan menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani adalah suatu system social yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan dan kestabilan masyarakat[10].
Untuk pendekatan dan konseptual dan partisipasi masyarakat maka dapat dibagi dalam beberapa macam yaitu pandangan masyarakat terhadap wisata, partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan, dan elemen-elemen masyarakat yang mendukung pengembangan pariwisata.
Selain itu juga dapat dilihat objektifitas kepentingan dari pemerintah dalam pengembangan pariwisata, dalam hal ini yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dimana pendalamannya dilakukan dengan menelaah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dilihat dari berbagai aspek untuk mencapai kepariwisataan yang berpotensial nasional dan internasional.
Salah satu kebijakan pemerintah untuk mengembangkan objek wisata di kota Banda Aceh adalah dengan membangun dan melestarikan sisa-sisa tsunami yang terjadi di Aceh. Kebijakan tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk mendapatkan penambahan pada pendapatan daerah kota Banda Aceh. Kadang kalanya, pemerintah mengeluarkan pemerintah dengan memperhatikan keadaan lingkungan sekitar, tetapi ada kalanya yang tidak menghiraukan keadaan sekitar. Sehingga masyarakat menuntut dan menantang keras proses pengembangan pariwisata tersebut.
Masyarakat yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), terutama yang bergerak dibidang lingkungan, seperti Walhi sangat menentang kebijakan pemerintah dalam pengembangan pariwisata yang sampai membuka lahan baru sehingga dapat merusak lingkungan sekitar. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kebijakan tersebut lebih pada kepentingan internal saja tanpa memikirkan kepentingan umum masyarakat luas.
Sebagaimana kebijakan pemerintah kota Banda Aceh yang hendak menerbitkan Qanun kota Banda Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2007 – 2027. Dimana dalam pertimbangan qanun tersebut menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan masyarakat perlu mengarahkan pembangunan di Kota Banda Aceh dengan memanfaatkan ruang secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, terpadu dan berkelanjutan[11].
Perumusan kebijaksanaan sangat dibutuhkan dalam proses pengambilan suatu kebijakan yang dilihat dari sudut pandang, cara berpikir hingga pengambilan keputusan oleh pemerintah[12]. Kebijaksanaan dalam hal ini adalah suatu pernyataan formal yang dikeluarkan oleh pemerintah yang digunakan oleh bawahannya untuk melaksanakan kewajiban-kwajiban yang telah ditentukan[13].
Sebelum pemerintah mengesahkan kebijaksanaan mengenai kepariwisataan, maka dibutuhkan sistem pengawasan dalam proses pelaksanaannya. Lebih lanjut menurut Sondang sistem pengawasan adalah mekanisme yang dilakukan oleh suatu badan untuk mengetahui program-program yang telah dilaksanakan[14]. Amri menyatakan bahwa sebuah perencanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus mendapatkan pengawasan. Sebuah pengawasan dilakukan setelah pelaksanaan dari suatu rencana[15].
Perencanaan pariwisata masyarakat merupakan suatu respon pada keperluan untuk mengembangkan garis-garis arah perluasan pariwisata secara sosial lebih dapat diterima. Pengembangan kepariwisataan dapat dilihat perangkat kondisi yang sesuai serta yang tidak sesuai untuk pengembangan pariwisata lokal.
Pariwisata berkelanjutan sangat berkaitan dengan manajemen aset, dimana pengembangan dan aktifitasnya menjamin integritas sumber daya yang mendasari pariwisata dan mempertahankan kelayakannya dalam bidang ekonomi. Suatu strategi berarti suatu rencana yang baik dalam mencapai tujuan tertentu[16]. Strategi nasional adalah suatu perencanaan yang digunakan dalam berbagai kekuatan nasional untuk mendukung pencapaian tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah nasional[17].
Sebagaimana rencana strategi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik itu Departemen Kebudayaan dan Pariwisata maupun pemerintah kota Banda Aceh, mencanangkan sektor pariwisata di Banda Aceh tidak boleh lepas dan menyimpang dari kebudayaan dan adat setempat. Hal ini dapat ditelusuri bahwa Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi NAD sebagai pusat kota yang mempunyai keanekaragaman budaya.
Perumusan perencanaan pengembangan sektor kepariwisataan oleh pemerintah kota Banda Aceh haruslah diseminarkan terlebih dahulu agar masyarakat luas mengetahui rencana yang dicanangkan oleh pemerintah. Penempatan rencana pengembangan tersebut dapat ditempatkan dalam Renstra dan juga dalam RPJP kota Banda Aceh.
Dengan berkembangnya sektor di kota Banda Aceh diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja dan sekaligus meningkatkan pendapatan daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan secara nasional. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka pengembangan sektor kepariwisataan di kota Banda Aceh masih memerlukan berbagai perangkat pengembangan yang memadai dan profesional, antara lain meliputi peraturan dan kebijakan serta pedoman-pedoman pengembangan yang seluruhnya dapat mendukung pencapaian keberhasilan pengembangan pariwisata kota Banda Aceh khususnya dan pariwisata secara nasional pada umumnya.
Selain adanya kepentingan pemerintah dalam pengembangan pariwisata, juga ada beberapa kalangan masyarakat yang setuju dengan rencana tersebut. Masyarakat sebagai elemen sentral dari suatu daerah yang mendukung perencanaan tersebut menilai bahwa pengembangan sektor pariwisata di kota Banda Aceh dapat memajukan kota Banda Aceh dari sektor ekonomi maupun sektor sumber daya.
Ada tanggapan terhadap pembangunan parawisata berkesinambungan yaitu kepedulian pada proses pembangunan berkelanjutan walaupun ada beberapa hambatan yang akan dilalui. Daerah di tuntut untuk selalu berupaya semaksimal mungkin dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini bisa di lakukan dengan memanfaatkan potensi potensi yang ada, salah satunya adalah potensi pariwisata. Dengan otonomi daerah tersebut Pemerintahan pusat memberikan wewenang kepada Pemerintah daerah secara penuh dalam mengelola dan memanfaatkan potensi pariwisata yang ada di daerahnya[18]. Serta menetapkan dan mengusahakan sendiri dalam melaksanakan pengembangannya. Wewenang diberikan kepada daerah karena Pemerintah daerah lebih mengerti dan memungkinkan untuk dapat mendayagunakan potensi pariwisata yang dimiliki dengan lebih berdayaguna dan berhasil guna[19].
Secara umum keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah alat yang berguna untuk memperoleh informasi mengenai keadaan, sikap, harapan, dan kebutuhan masyarakat karena tanpa kehadiran masyarakat maka program pengembangan pembangunan akan gagal[20].
Penilaian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kepariwisataan berbeda-beda. Pro dan kontra pendapat tersebut dilihat secara objektifitas dan tujuan pariwisata tersebut. Apa bila tujuan tersebut berdasarkan faktoe ekonomi semata-mata, maka pemerintah tidak mencanangkan pembangunan dari sektor lainnya. Dalam pengembangan pariwisata pada satu wilayah haruslah bermanfaat bagi semua kalangan, termasuk masyarakat[21].
Pengawasan pengembangan sektor pariwisata sangat bergantung pada masyarakat sendiri. Penolakan dan penerimaan suatu wilayah untuk dijadikan sebagai objek wisata dapat ditentukan dengan argumen dan penilaian masyarakat. Pengembangan sektor wisata dapat juga bermotif ekonomis dari pelestarian budaya setempat, sehingga dapat menimbulkan akibat kerusakan lingkungan[22]. Pengembangan wisata yang berkelanjutan biasanya lebih menfokuskan atas dampak terhadap komunitas setempat, pariwisata yang ideal dengan lingkungan fisik, sosial, dan budaya.
Program pengembangan pariwisata yang dicanangkan oleh pemerintah haruslah direncanakan dan diorganisasikan dengan baik sebelum dilakukannya pengawasan berkala. Pengawasan oleh masyarakat terhadap pengembangan kepariwisataan menentukan baik buruknya suatu wilayah pariwisata[23]. Keterlibatan masyarakat terhadap pengembangan pariwisata dapat dilibatkan.
Hal ini juga dikuatkan oleh masih terbatasnya sosialisasi ke masyarakat tantang industri pariwisata sumbar sehingga menyebabkan:
Pertama; Kurangnya kesadaran masyarakat tentang potensi daerahnya serta timbulnya ekses negatif atas keberadaan pariwisata dimata sebagian masyarakat. Tanpa sosialisasi masyarakat kita sesungguhnya tidak menyadari betapa besar potensi alam kita yang apabila dioptimalkan akan mendatangkan kesejahteraan. Malah muncul pendapat dikalangan masyarakat bahwa pariwisata akan menimbulkan akibat negatif bagi budaya dan adat istiadat;
Kedua; tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap dunia pariwisata khususnya dalam budaya pelayanan. Akibatnya buruknya pelayanan menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Hal ini juga disebabkan pemerintah hanya fokus kepada pembangunan fisik berupa infrastruktur sementara melupakan pembangunan budaya masyarakat terhadap dunia pelayanan pariwisata (hospitality).
Ketiga; Belum dimilikinya pedoman yang komprehensif dalam upaya pengembangan strategi/program pembangunan pariwisata berbasis masyarakat baik dilihat dari aspek kriteria, konsep model (karakteristik daerah) maupun pedoman, mencakup: produk, market, pedoman, pelatihan SDM dan perencanaan bisnis (statement operational procedure) menyebabkan tersendatnya upaya peningkatan peran serta masyarakat di bidang pariwisata[24].

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun[25].

B.     Perspektif Keikutsertaan Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah maka wajib ada keikut sertaan masyarakat baik itu dalam bentuk penetapan suatu aturan hukum atau kebijakan lainnya. Hal ini sesuai dengan prinsip kepentingan umum. Peran serta masyarakat dalam pengembangan sektor pariwisata sangat mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Penekanan yang diterapkan terhadap masyarakat adalah memberikan sumbangsi nyata terhadap kemajuan pariwisata dalam berbagai hal. Kemajuan yang dicapai dari pengembangan pariwisata adalah dalam sektor ekonomi, dimana tiap program pengembangan wisata yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung akan menciptakan lapangan kerja.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat mlihat pengembangan pariwisata akan membuat kesempatan bagi pencari kerja untuk mendapatkan kerja dan terlibat secara langsung dalam upaya melestarikan pariwisata yang akan dikembangkan. Terhadap kesan dari segi sosial mengindetifikasikan bahwa akan adanya kesadaran bahwa pariwisata akan meningkatkan kelangsungan kesenian budaya lokal.
Secara subjektif akan didapat bahwa pengembangan pariwisata juga akan meningkatkan kejahatan secara langsung maupun tidak langsung, dimana tiap program pengembangan parawisata akan merubah sistem nilai, sikap individu dan perbedaan status sosial[26]. Interaksi sosial juga akan menyebabkan perubahan prilaku masyarakat dengan adanya pergeseran tersebut.
Secara garis besarnya, peran aktif masyarakat untuk menjaga dan melestarikan pariwisata secara langsung berpengaruh akan kelangsungan kebudayaan. Hal ini dapat dilihat bahwa di kota Banda Aceh yang terkenal sebagai pusat ibu kota propinsi memiliki begitu banyak corak adat dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dikeluarkan haruslah sejalan dengan kebudayaan setempat.
Pengembangan kepariwisataan akan mempengaruhi berbagai sektor, salah satunya adalah faktor lingkungan. Dimana dengan perencanaan yang tidak baik maka akan menimbulkan akibat yang tidak baik pula[27]. Pengembangan kepariwisataan dapat juga berpengaruh pada lingkungan, misalkan dengan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk pembaharuan suatu tempat objek wisata maka dibutuhkan lahan baru, maka dengan pembukaan area baru untuk pengembangan pariwisata secara langsung dan tidak langsung dapat merusak ekosistem lingkungan bila tidak adanya planning yang baik.
Hubungan antara pemerintah dan masyarakat dapat terjalin bilamana pelaksanaan pengembangan kepariwisataan suatu daerah berasaskan gotong royong. Peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata dengan prinsip asas gotong royong mengindikasikan bahwa masyarakat punya andil besar dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pengembangan tersebut dari awal sampai dengan akhir.
Bentuk kepemimpinan pemerintah dalam sektor ini mendapatkan nilai dari masyarakat dengan melihat besar kecilnya peran serta masyarakat. Kegagalan maupun keberhasilan dari pengembangan tersebut menyebutkan bahwa menandakan adanya kekompakan antara pemerintah dan masyarakat.
Meskipun demikian, tidak semua program pemerintah mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Ada juga masyarakat yang menolak program pemerintah dengan wujud protes atau menggugat pemerintah. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat dapat berupa dalam wujud aksi class action, dimana masyarakat todak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Berdasarkan rencana strategis yang disusun oleh pemerintah kota Banda Aceh maka tujuan yang ingin dicapai diantaranya adalah:
1)      Terselenggaranya peningkatan sumber daya aparatur;
2)      Berkembangnya budaya Aceh;
3)      Terkelolanya kekayaan budaya Aceh;
4)      Adanya pengembangan pemasaran pariwisata;
5)      Pembangunan fasilitas pariwisata;
6)      Terlaksana expose dan pengenalan wilayah potensi objek wisata;
7)      Dan lainya[28].
Sejalan dengan hal tersebut maka untuk mampu menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan dan keberhasilan menjadikan Banda Aceh sebagai Bandar Wisata Islami sesuai dengan visi dan misi Walikota Banda Aceh maka hal-hal berikut ini kiranya patut dan pantas dipertimbangkan dala pelaksanaannya.
Adapun hal-hal yang perlu menjadi perhatian adalah pemda kota Banda Aceh perlu memperkuat lembaga yang mengurus pengembangan pariwisata dimana tugas pokok dan fungsinya harus nampak jelas unit atau lembaga mana yang menangani urusan pariwisata. Tugas pokok dan fungsi harus diarahkan pada upaya-upaya untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kontribusi sektor pariwisata tersebut pada perekonomian daerah dan pemberdayaan usaha pariwisata.
Pengisian dari lembaga/Dinas Kebudayaan dan pariwisata tersebut dengan pegawai yang memadai baik dalam jumlah maupun kompetensi untuk menangani urusan pengembangan pariwisata. Untuk maksud tersebut maka penentuan standard kompetensi merupakan salah satu pilar utama dalam rekrutmen pengawai pada Dinas kebudayaan dan Pariwisata. Penentuan standard kompetensi harus bersandar pada norma yang disepakati bersama. Norma disusun berdasarkan pendapat para ahli ataupun praktisi mengenai kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh pegawai yang bertugas pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sedapat mungkin dilakukan fit and proper test untuk menduduki jabatan-jabatan strategis yang ada pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Adanya anggaran yang memadai untuk mendukung kegiatan-kegiatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam mengembangkan Pariwisata. Kegiatan pemasaran pariwisata memerlukan dana yang cukup besar. Sekiranya Pemda ingin mendapatkan trickle down effect yang signifikan dari sektor pariwisata yang berdasarkan analisis akan mampu menjadi basis pengembangan perekonomian Kota Banda Aceh, maka jangan ragu-ragu untuk mendanai pengembangan sektor pariwisata.
Pendekatan Good Governance merupakan salah satu pilar utama untuk mengembangkan potensi pariwisata. Perlibatan pengelola usaha pariwisata dan masyarakat selaku salah satu stake holder dalam konsep Good Gevernance sangat esensial dalam pengembangan pariwisatan Kota Banda Aceh. Tumbuhnya kesadaran dan dukungan pengelola usaha pariwisata dan masyarakat merupakan syarat utama bagi pengembangan pariwisata dan masyarakat yang Islami di Kota Banda Aceh.
Tuanglan semua kegiatan dalam pengembangan pariwisata Kota Banda Aceh kedalam Rencana Strategis (Renstra) daerah untuk kemudian di Qanun kan sehingga mempunyai landasan hukum yang kuat dan menjadi salah satu agenda pembangunan Kota Banda Aceh. Setiap tahun Renstra tersebut dijabarkan kedalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pelaksanaannya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah perlunya kontinyuitas pembiayaan sehingga pola pendanaan pengembangan sektor pariwisata tidak terputus-putus.
Guna dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian daerah, sedapat mungkin Kota Banda Aceh harus mampu mengembangkan kerjasama antar daerah untuk menciptakan senerji bagi pengembangan pariwisata. Kota Banda Aceh dengan potensi pariwisata yang besar akan memerlukan dukungan dari daerah lain untuk menunjang pengembangan pariwisata. Pengembangan Pariwisata Banda Aceh, Sabang, Jantho (BASAJAN) merupakan salah satu kebijakan penting dalam upaya pengembangan pariwisata. Dari sini dapat dikembangkan senerji antar daerah guna mendukung pengembangan sektor pariwisata secara komprehensif dan berdaya guna yang saling menguntungkan.
Lakukan monitoring dan evaluasi secara priodik untuk melihat sejauhmana pengembangan pariwisata yang telah dilakukan dan mendapat feet back untuk penyempurnaannya. Kelemahan pengembangan pariwisata bisa berasal dari perencanaannya yang kurang tepat, bisa jadi implimentasi yang kurang efektif, bisa juga dari unsur pegawainya yang kurang profesional atau sebab-sebab lainnya. Kegiatan monitoring dan evaluasi akan mendeteksi kelemahan-kelemahan tersebut yang dapat menjadi input dalam penyempurnaannya.

C.    Bentuk-Bentuk Penolakan Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata
Sebagaimana pada umumnya bahwa dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah maka aka timbul pro dan kontra. Dalam perspektif tata pemerintahan hal ini disebabkan pada ada atau tidaknya keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan perencanaan pariwisata.
Interaksi dan hubungan tuan rumah ataupun tamu melalui suatu indeks gangguan yang mencakup empat tahap yaitu:
  1. Tahap evoria;
  2. Tahap apatis;
  3. Tahap iritasi;
  4. Tahap antagonisme[29]
Pariwisata merupakan suatu faktor yang menyebabkan tingginya angka kejahatan. Hal ini yang menjadikan penolakan terhadap kebijakan pemerintah bersifat antipati. Selain itu pariwisata juga merupakan faktor perubahan yang mengakibatkan komersialisme budaya dan juga yang dapat mengarah pada unsur-unsur negatif[30].
Dampak negatif dari pengembangan pariwisata adalah adanya penurunan nilai kebudayaan suatu daerah apa lagi dalam wilayah negara berkembang, sehingga dengan mudah menjadi ajang materialisme dan komersialisme. Penolakan masyarakat terhadap pengembangan parawisata dapat juga diihat dari aspek lainnya seperti kekhawatiran akan timbulya nilai negatif dalam hal ini yaitu prostitusi.
Masalah sosial yang timbul akibat adanya wisatawan internasional yang relatif lebih kaya yang masuk kedalam suatu komunitas masyarakat yang standar kehidupannya lebih rendah. Hal ini juga dapat menimbulkan kecemburuan sosial antara pihak masyarakat dan pihat wasatawan. Dengan demikian asumsinya adalah masyarakat yang tinggal dalam daerah pedalaman dari wilayah pariwisata dapat berpendapat negatif[31].
Konsekuensi antara wisatawan dan masyarakat dalam hal kontak wisata tergantung pada latar belakang budaya dan kondisi dimana keduanya berinteraksi. Hal ini sebagai wujud relevansi antara dua sunjek pendukung tersebut dalam hal pengembangan pariwisata.
Penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tersebut disebabkan akan hal yang disebutkan diatas. Wujud penolakan dari masyarakat berbagai macam. Indikator dalam penolakan tersebut juga dibagi dalam berbagai macam, seperti halnya Walhi, Mahasiswa, LSM, dan masyarakat setempat sendiri.
Kesinambungan masyarakat pedesaan tergantung pada kemampuan pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Banda Aceh  melakukan alokasi dan jalan keluar bagi permasalahan yang ditimbulkan dengan terbitnya kebijakan pengembangan tersebut.



[1] Geriya, Wayan. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Jakarta, 1996, hlm 6
[2] Yoeti, Oka A. Pengantar Ilmu Pariwisata. Angkasa, Bandung, 1996, hlm 66
[3] Geriya, Wayan, Pariwisata….Op,. Cit, hlm 49
[4] Koentjaraninggrat (Ed.).. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: 1985, hlm 23
[5] Ibid., hlm 25
[6] Spillane, James J, Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya. Cetakan II, : Kanisius. Yogyakarta. 1989, 69
[7] Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, 2002, hlm 1025
[8] Ibid,.
[9] Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Society) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta, 2008, hlm193
`               [10] ibid,.
[11] Lihat rancangan Qanun Kota Banda Aceh Tentang  Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2007 - 2027
[12] Sondang P. Siagian, Manajemen Stratejik, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm 38
[13] Ibid,.
[14] Ibid, hlm 40
[15] Amri, Strategik Planning, Bahan Ajar Mata Kuliah Azas-Azas Manajemen, Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala, 2007, hlm 21
[16] Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm 460
[17] Ibid., hlm 461
[18] Siti Munawaroh, Peranan Kebudayaan Daerah Dalam Perwujudan Masyarakat Industri Pariwisata Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, 1999, hlm 66
[19]http://malangraya.web.id/2008/03/24/prospek-pengembangan-wisata-di-kawasan-timur-kabupaten-malang-studi-di-dinas-pariwisata-kabupaten-malang/
[20] Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Rajawali Press, Jakarta, 2005, hlm 26
[21] Hikmat, R. Harry, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humoniora Utama Press, Bandung, 2001, hlm 41
[22] Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan dan Pemerataan, Pustaka Cisedindo, Jakarta, 1996, hlm 36
[23] Amri, Strategic,.. Op., Cit., hlm 26
[24]http://westsumatra.com/index.php?option=com_fireboard&Itemid=78&func=view&id=341&catid=47
[25] Lihat Pasal 1 Qanun Kota Banda Aceh No. 1 Tahun 2007 Tentang Pokok – Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
[26]  Hikmat, R. Harry, Strategi,... Op,. Cit., hlm 48
[27] Amri, Strategic,.. Op., Cit., hlm 67
[28] Rencana Strategis Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
[29]  Hikmat, R. Harry, Strategi,... Op,. Cit., hlm 67
[30] Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan,... Op., Cit., hlm 41
[31] Siti Munawaroh, Peranan Kebudayaan,.. Op,. Cit., hlm 29
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten