Subscribe Us

Selasa, 02 November 2010

SYARIAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN ACEH MADANI (Suatu Kajian Yuridis Penerapan Kebijakan Publik Tentang Syariat Islam Yang Implementatif)


A.    Pengantar
Aceh sering disebut dengan serambi mekkah. Sebutan tersebut mempunyai makna yang mendalam dan menandakan bahwa Aceh merupakan komunitas penduduk yang mayoritas beragama islam. Aceh merupakan salah satu daerah dalam negara Indonesia yang mendapatkan status istimewa, selain Yogyakarta. Konteks keistimewaan Aceh dituangkan dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, yang menyebutkan bahwa keistimewaan Aceh terdiri dari adat istiadat, agama/ syari’at islam, pendidikan dan peran ulama.
Pelaksanaan syari’at islam telah ada dan hidup dalam masyarakat Aceh jauh sebelum dikenal aturan hukum positif. Tataran kehidupan masyarakat Aceh berdasarkan adat istiadat dan syari’at islam. Sehingga penataan kehidupan masyarakat Aceh tidak lepas dari kedua sistem tersebut.
Aturan pelaksana UU No. 44 Tahun 1999 dituangkan dalam Perda Aceh No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk mengisi keistimewaan dalam peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah; Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari‘at Islam untuk mengisi keistimewaan dalam bidang agama; Perda No. 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan untuk mengisi keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan; dan Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat untuk mengisi keistimewaaan Aceh dalam kehidupan adat.
Selanjutnya, kedudukan Aceh sebagai daerah otonomi diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Fungsi utama UU ini adalah menyelaraskan penyelenggaraan keistimewaan Aceh dengan penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Provinsi NAD. Sistematika UU ini terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini sesuai dengan teori kebijakan publik bahwa setiap kebijakan publik seperti kebijakan pemerintah harus dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga yang merupakan perpanjangan kekuasaannya. UU No. 18 Tahun 2001 sendiri dihapuskan dan digantikan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Setiap pembentukan kebijakan pemerintah, diharuskan adanya penyertaan masyarakat sebagai unsur penting. Keikutsertaan masyarakat adalah membentuk sebuah kebijakan yang implementatif dan aspiratif, sehingga bila kebijakan publik tersebut disahkan tidak mencederai hak masyarakat.
Tujuan penulisan ini adalah hendak menjelaskan prospektif kebijakan publik dalam bidang syariat islam dalam mewujudkan tatanan komunitas masyarakat yang madani, sehingga adanya harapan deskriptif bahwa dalam mewujudkan masyarakat madani di Aceh dapat ditempuh dengan adanya peran serta masyarakat dalam pembahasan sampai dengan evaluasi suatu kebijakan publik terkait pelaksanaan syari’at islam.

B.     UUPA dan Syari’at Islam
UU No. 11 Tahun 2006 merupakan sebuah ikatan hukum yang mengikat juga merupakan representasi dari suara rakyat Aceh yag merindukan perdamaian. Dalam UU No. 11 Tahun 2006 mengatur banyak hal terkait penyelenggaraan pemerintahan Aceh, salah satunya adalah pelaksanaan syari’at islam. Walau ketentuan pelaksanaan syari’at islam telah diatur dalam undang-undan sebelumnya, namun pelaksanaan menurut UU No. 11 Tahun 2006 merupakan aturan hukum yang labih baik dari aturan hukum sebelumnya. Alyasa’ Abu Bakar menyebutkan sebagaimana dikutip oleh Dedy Sumardi dalam buku Aceh Madani menyebutkan bahwa penerapan syari’at islam dapat dilakukan apabila adanya penegakan supremasi hukum (kebijakan publik daerah/ Qanun) dan melembagakan peradilan syari’at islam yang berkompeten.[1]
Penerapan syari’at islam telah dalam Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006 tentang pelaksanaan syari’at islam di Aceh terdiri dari aqidah, syar’iyah dan akhlak.[2] Syar’at islam sebagaimana disebutkan sebelumya meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan
pembelaan Islam.[3] Selanjutnya, segala ketentuan syari’at islam tersebut diatur lebih lanjut dalam Qanun.
Sementara itu peranan peradilan syari’at islam (Mahkamah Syar’iyah) adalah meliputi dari berbagai kegiatan untuk melaksanakan hukum syari’at melalui peradila, penyiapan tenaga pelaksana yang berkualitas, dan penulisan qanun(taqnin syari’at) untuk mendukung berbagai kegiatan terutama penegakan syari’at islam.[4]

C.    Suara Rakyat (people voice) Dalam Kebijakan Publik Yang Implementatif
Riant Nugroho menyebutkan bahwa kebijakan publik yang ideal adalah kebijakan yang meliputi kepentingan rakyat. Hal ini bersifat kebijakan yang pragmatis strategis yang mencakup tiga hal pokok yang menjadi ukuran yaitu: (1) adanya tujuan, tujuannya yaitu menjadikan rakyat berdaya;, (2) mengacu pada tantangan saat ini dan kedepan; (3) sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.[5]
Pelaksanaan syari’at islam sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 11 Tahun 2006 diatur lebih lanjut dalam Qanun. Qanun merupakan kebijakan daerah yang mengatur kepentingan publik. Pemerintah dalam menetapkan kebijakan daerah, terutama dalam hal syari’at islam, haruslah sesuai dengan harapan masyakat dan tidak dapat mengganggu kestabilan norma yang telah hidup dalam masyarakat sendiri.
Masyarakat dalam kebijakan publik dapat berperan serta dari pembahasan sampai dengan evaluasi. Dengan adanya peran serta masyarakat tersebut maka tujuan yang hendak dicapai oleh aturan hukum dapat terlaksana. Sebagaimana diatur dalam Qanun No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembuatan Qanun, disebutkan dengan jelas bahwa masyarakat punya peran andil dalam menyukseskan program legislasi daerah yang disusun pemerintah dari tahap pembahasan sampai dengan evaluasi. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh wajib mengakomodir suara masyarakat dalam penuangan kebijakan publik.
Dengan adanya upaya pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat tersebut dalam sebuah kebijakan, baik kebijakan syari’at islam maupun kebijakan lainnya, maka kebijakan publik yang diterapkan tersebut dan bertujuan untuk kepentingan masyarakat luas merupakan kebijakan yang responsif serta implementatif.
Secara sosiologisnya, masyarakat memiliki respon yang beragam terkait pelaksanaan syari’at islam secara kaffah. Pelaksanaan syari’at islam dalam dimensi sosiologis juga telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena itu, setiap kebijakan publik yang hendak diterapkan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang hidup sendiri dalam masyarakat (living law).

D.    Peran Masyarakat Dalam Mewujudkan Komunitas Masyarakat Madani (civil society)
Azyumardi Azra meyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) merupakan suatu sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral dan menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat madani juga sebuah tatanan masyarakat sipil yang mandiri dan demokratis. Masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi, hubungan yang saling berkaitan satu sama lainnya.[6]
Dengan adanya peran serta masyarakat dalam proses kebijakan publik terkait pelaksanaan syari’at islam, maka masyarakat telah telah belajar untuk berpolitik dengan menyamakan persepsi pandangan dalam mencapai tujuan yang pasti. Adanya penyamaan pandangan dalam mengenyampingkan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan bersama, adanya rasa saling hormat menghormati dalam kebersamaan masyarakat, maka hak masyarakat dalam mengikuti jalur demokrasi berdasarkan syari’at islam dengan sendirinya terealisasi.
Perwujudan masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyakat madani diantaranya yaitu adanya wilayah publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralisme), dan keadilan sosial. Dengan adanya wilayah publik yang bebas maka masyarakat dapat memberikan dan menyalurkan aspirasinya dalam pembentukan kebijakan publik, terkait pelaksanaan syariat islam. Adanya toleransi dari penyelenggara pemerintahan (political will) dalam memberikan ruang bagi masyarakat dalam partisipasi publik. Setiap kebijakan publik harus mengakui dan menghormati nilai yang hidup dalam masyarakat bersifat majemuk dan heterogen dan kebijakan publik tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai keadilan. Dengan demikian penerapan dan pelaksanaan syari’at islam dapat mencapai tujuannya dalam menciptakan masyarakat yang madani. []


[1] Syaifuddin Bantasyam dan Muhammad Siddiq Armia (editor), Aceh Madani Dalam Wacana, Format Ideal Implementasi Syariat islam Di Aceh, Aceh Justice Resource Centre, Banda Aceh, 2009, hlm 48
[2] Lihat Pasal 125 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[3] Lihat Pasal 125 Ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[4] Al Yasa’ Abu Bakar, Peranan Program Pascasarjana Dalam Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah Disampaikan Pada PPS IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2006, hlm 4
[5] Riant Nugroho, Public Policy, Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan, PT Alex Media Komputindo, Gramedia Group, Jakarta, 2009, hlm 643
[6] Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta, 2008, hlm 193
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten