Subscribe Us

Senin, 08 November 2010

TINJAUAN UMUM MENGENAI KONSEP OTONOMI DAERAH


A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Otonomi Daerah
            Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.[1]
Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.[2]
Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumknya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979 No.3153), dan UU No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 1956 No.77 dan TLN Tahun 1956 No.1442).[3]
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah.[4]
Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya.
Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
 Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.[5]
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan (unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme.[6]
Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7 UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya) justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
Sistem otonomi Indonesia saat ini mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,[7] dimana menjelaskan bahwa entuk negara kesatuan bagi negara RI merupakan amanat konstitusi. Dan salah satu ciri dari negara kesatuan adalah kekuasaan (power) yang sangat besar ditangan pemerintah pusat. Lewat kekuasaan yang bertumpuk di pusat tersebut, denyut kehidupan dalam berbagai aspek bernegara dipompakan dari pusat dengan segala kelengkapan aparaturnya. Pemerintahan di daerah karena itu, praktis hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat belaka.[8]
Sebagaimana dengan pernyataan menimbang huruf a UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan “bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”.[9]
Menurut Pasal 2 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “Pemerintahan daerah dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi  urusan  Pemerintah,  dengan  tujuan   meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan pemerintah daerah sebagai daerah otonom dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan tertentu untuk pengembangan daerah.[10]
Secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur daerah sendiri dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat berdasarkan perundang-undangan. Dengan catatan lainnya bahwa otonomi daerah adalah sisi acuan pemerintah yang ingin melaksankan Pasal 18 UUD 1945 yaitu dengan melaksanakan otonomi yang luas dan bertanggung jawab. Dalam pengertian dan asas otonomi terdapat tiga hal yang substantif yaitu menyangkut pembagian kewenangan, legislasi, dan keuangan daerah.[11]
Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam konsep  daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan daerah otonom. Yang perlu kejelasan lebih lanjut adalah materi wewenang yang tercakup dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, disamping pembentukan daerah otonom tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang atau disebut oleh perubahan Pasal 18 UUD 1945 urusan pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.[12]
Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan sesuai  dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya daerah.[13]

B.     Sejarah Otonomi Daerah
Secara histories , asal-usul kata pemerintah daerah berasal dari bahasa yunani dan latin kuno seperti koinotes (komunitas) dan demos (rakyat atau distrik),  commune (dari bahasa perancis) yaitu suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk suatu wilayah . ide dasar tentang  commune adalah suatu pengelompokan alamiah dari penduduk yang tinggal pada suatu wilayah tertentu dengan kehidupan kolektif yang dekat dan memiliki minat dan perhatian yang bermacam-macam.[14]
Jika merunut sejarah pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pelaksanaan Pemerintahan Daerah sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana pada waktu itu sistem yang di bangun sangat dipengaruhi oleh politik pendudukan dari  Negara penjajah.
Politik pemerintahan penjajah Hindia Belanda menerapkan sistem sentralisasi yang menekankan kemudahan kontrol atas daerah jajahan. Sistem sentralisasi diwujudkan dalam ketentuan  Reglement Het Beleid Der Regeling Van Nederlandsch Indie yang sering disingkat “RR”. Aturan ini mematikan peran Pemerintahan Daerah jajahan dalam melakukan improvisasi pelaksanaan pemerintahan karena semua kebijakan harus sepengetahuan (melalui pengesahan dari pemeintah pusat yang berada di Nederland (pusat pemerintahan Negara Belanda).[15]
Kepala wilayah sebagai wakil dari pemerintah penjajah ini dijabat oleh pejabat-pejabat yang sifatnya hierarkis pula, yatu resident, asistent resident, atau kepala afdeling, kepala district (wedana), dan kepala onderdistrict (camat). Pada saat itu belum dikenal yang namanya desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah sehingga istilah kepala daerah belum dikenal. Dinamika perjalanan pemerintahan penjajahan di Hindia Belanda mengalami perubahan pada permulaan abad XX.
Pemerintahan Daerah akan sangat bergantung pada kebijakan yang lebih tinggi tingkatannya dalam hal ini kebijakan yang menjadi dasar penentu munculnya konsep Pemerintahan Daerah, mengingat bahwa diatas kebijakan yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah (Undang-Undang), terdapat kebijakan yang lebih tinggi tingkatannya, yakni UUD atau Konstitusi.
Sebagaimana dimaklumi, Konstitusi yang berlaku di Indonesia pun dapat dikategorisasikan menjadi beberapa periodisasi, sebagai berikut :
-          Periode I : UUD 1945, yang berlaku sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 hingga berubahnya Negara RI menjadi RIS tanggal 27 Desember 1949.
-          Periode II : Konstitusi RIS, yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949 hingga berubahnya kembali bentuk Negara RIS menjadi Negara Kesatuan RI tanggal 17 Agustus 1950;
-          Periode III : UUD Sementara 1950, yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;
-          Periode IV : UUD 1945, yang berlaku mulai tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang;
-          Periode V : UUD 1945 yang diamandemen, berlaku mulai Tahun 1999.
Adapun aspek formal dari kebijakan tentang Pemerintahan Daerah sepanjang sejarah bangsa Indonesia, sebagai berikut:
a.       UU Nomor. 1 Tahun 1945  
b.      UU Nomor 22 Tahun 1948 
c.       UU Nomor 1 Tahun 1957 
d.      UU Nomor 18 Tahun 1965 
e.       UU Nomor 5 Tahun 1974                                               
f.       UU Nomor 22 Tahun 1999 
g.      UU No. 32 Tahun 2004
h.      UU No.  12 Tahun 2008
Hal ini yang membedakan antara UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 Tahun 1999. Bukti bahwa otonomi daerah dalam maknanya yang substantif itu tidak mendapatkan  komitmen politik yang kuat ditingkat konseptual dan pelaksanaannya, dapat dibaca dari tafsir yang diberikan melalui Penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Hakekat otonomi itu lebih merupakan kewajiban daripada hak”.[16] Pandangan demikian yang menyebabkan posisi pemerintah daerah sama sekali tidak berdaya untuk mengambil inisiatif  demi pembangunan daerahnya.
Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan: “Pemberian kewenangan otonomi daerah didasarkan asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab”,[17] dan juga penjelasannya yang mengemukakan bahwa dengan dibentukannya UU No. 22 Tahun 1999 pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupatan dan Daerah Kota sebagai daerah otonom, berarti penyerahan kewenangan bukan hal yang mutlak harus dilakukan secara aktif oleh pusat tetapi cukup pula dengan pengakuan.
Pada era sekarang hubungan Pemerintahan Daerah dan pusat bisa dilihat dalam UU No. 32 Tahun 2004. dari segala jenis hubungan yang dipaparkan dalam undang-undang tersebut yang meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. terdapat dua jenis hubungan yaitu hubungan administrasi dan hubungan kewilayahan.[18] Sedangkan hubungan kewilayahan adalah hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,wilayah daerah merupakan satu Kesatuan wilayah Negara yang utuh dan bulat.

C.    Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Dalam konteks Negara Kesatuan, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah di Indonesia mendasarkan diri pada tiga pola, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan).[19] Otonomi daerah sebagai realisasi dari sistem desentralisasi bukan hanya merupakan pemencaran wewenang atau penyerahan urusan pemerintahan, namun juga berarti pembagian kekuasaan (division of power) untuk mengatur penyelenggaran pemerintahan Negara dalam hubungan pusat daerah.[20] Dengan demikian dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat daerah dalam menentukan kepentingannya sendiri, dan pemerintah daerah dengan proaktif dapat mengambil prakarsa yang kreatif dalam penyelenggaraan pemerintahannya sendiri. Hanya dengan itu, maka otonomi daerah dapat diciptakan tanpa rekayasa yang menipu dari pemerintah pusat.
Otonomi daerah merupakan pancaran diterapkanaya asas desentalisasi. maka pada hakekatnya asas desentralisai inilah yang mendasari terwujudnya demokrasi. Dalam aspek hubungaanya dengan demokrasi, Yamin meletakkan desentralisasi sebagai syarat demokrasi karena Konstitusi disusun dalam kerangka Negara Kesatuan harus tercermin kepentingan daerah, melalui aturan pembagian kekuasaan antara badan-badan pusat dan badan-badan daerah secara adil dan bijaksana sehingga daerah memelihara kepentingannya dalam kerangka Negara Kesatuan. Susunan yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan di tingkat pusat dan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Di sinilah diketengahkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi yang dapat membendung arus sentralisasi.[21]
keberadaan otonomi daerah di Indonesia merupakan proses menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, sesuai dengan amanat Konstitusi. Adanya otonomi daerah merupakan sebuah toleransi pemerintah pusat terhadap daerah dalam rangka mengurus rumah tangganya. Aspek demokrasi yang dimaksud disini adalah adanya optimalisasi peran serta masyarakat di daerah dalam membangun atau mengurus daerahnya sesuai dengan prakarsa dan kreativitas masyarakat tanpa semuanya harus di urus oleh pusat.


[1] Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah Dan Parlemen Di Daerah, Disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000. hal 2
[2] Loc., Cit.
[3] Ibid, hal 4
[4] Asshiddiqie, Jimly, Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal 51
[5] Loc., Cit.
[6] Jimly Asshiddiqie, Otonomi,… Op., Cit., hal 5
[7] UU No. 32 Tahun 2004 telah diubah sebanyak 2 (dua) kali dan terakhir yaitu UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004
[8] Pada Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

[9] Republik Indonesia, Naskah Perubahan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2000. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah Perubahan UUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-daerah”.
[10] Menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[11] Harsasi dan Muh. Dawam, Faktor Yang Mempegaruhi Keberhasilan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Analisis Sosio-Ekonomi-Budaya), Lembaga Penelitian Universitas Terbuka, 2002, hal 18
[12] Bhenyamin Hoessein, Makalah: Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Disampaikan pada Diskusi  Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Jangka Panjang,  yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengernbangan Otonomi Daerah, BAPPENAS, tanggal 27 November 2002, hal 4
[13] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta:PSH FH-UII, 2001 hal. 174
[14] Loc., Cit.
[15]  Agus Salim Andi Gadjong.  Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia. 2007, hal 114
[16] Lihat Pasal 1 huruf f UU No. 5 Tahun 1974
[17] Lihat Penjelasan UU No. 22/1999, dasar Pemikiran, huruf  h
[18] Penjelasan Pasal 2 ayat 7 UU Nomor 32 Tahun 2004
[19] Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati,…op.cit Hal. 11
[20] Bagir Manan,. “Politik Hukum,…op.cit , Hal. 140-154
[21] Loc., Cit
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Technology/hot-posts

Subscribe Us

header ads

BTemplates.com

Business/feat-big
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
PerJuanGan SeoRang MukmIn SejAti Takkan Pernah Berhenti KecuAli KetikA TapAk KakiNyA TeLah Menyentuh PinTu SyurGa... ( Ahmad Syauqie)

Your Name


Your Message*

Pengikut

Food

3/Food/feat-list

Music

4/Music/grid-big

Nature

3/Nature/grid-small

Fashion

3/Fashion/grid-small

Sports

3/Sports/col-left

Technology

3/Technology/post-list

Technology

3/Technology/col-right
Master de Rechten